Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Wajah Politik Transaksional dalam Kabinet Terpilih

Wajah Politik Transaksional dalam Kabinet Terpilih



Berita Baru, Opini – Pada 23 Oktober 2019 tahun lalu, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengumumkan kabinet mereka. Sejumlah nama-nama baru masuk sebagai pembantu presiden untuk lima tahun mendatang.

Meski baru sebagai pembantu presiden, sebenarnya mereka adalah nama-nama lama yang malang melintang di dunia persilatan politik Indonesia. Pemilihan nama-nama tersebut tentu sudah melalui pembahasan yang panjang nan berliku-liku, membutuhkan kepala jernih dan barangkali istiqoroh meminta kepada-Nya untuk memunculkan nama-nama yang terbaik.

Sejatinya mereka-meraka itu adalah wujud dari banalitas politik elite, yang mana proses pemilihan kabinet baru tersebut tak lebih dari transaksi politik. Berbagi kekuasaan sebagai balas budi atas usaha dan upaya yang telah dilakukan selama pemilu. Tentu, itu bukan hal baru lagi jika kita membahas soal itu, karena tidak ada kekuasaan tanpa mengorbankan kepentingan publik.

Kekuasaan transaksional ini sifatnya disruptif, mengeliminir segala sesuatu yang menurutnya merugikan. Tujuannya adalah satu yakni menegaskan dominasi kuasa dan memperat relasi kuasa. Demi menjaga status quo yang berguna bagi melestarikan dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri.

Maka tidak heran bau-bau politik transaksional sangat kental pasca-reformasi. Yang paling tampak sebenarnya dari konteks tersebut ialah politik uang, di mana setiap lima tahun sekali kita disuguhi uang pemilu oleh tim sukses salah satu kontestan pemilu. Mereka berlomba-lomba memberikan uang pemilu demi mendapatkan kekuasaan.

Politik Balas Jasa

Politik uang dalam pemilu dengan gamblang dituliskan oleh Burhanudin Muhtadi dalam jurnalnya, baik yang berjudul “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia” terbitan LIPI ataupun dalam jurnal KPK yang berjudul “Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Pasca Orde Baru.” Ia menyebutkan politik uang itu ada karena faktor demand dan supply atau permintaan dan penawaran.

Kala politisi terjun dalam sebuat kontes pemilu elektoral, mereka membutuhkan suara pemilih yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Di situlah agen muncul, memberikan penawaran berupa jumlah suara yang dibutuhkan. Pada konteks inilah uang dibutuhkan untuk menaikan suara, sehingga mereka yang menggunakan uang dapat merebut kekuasaan yang sedang dipertarungkan.

Dampaknya tak main-main, politik uang ini memiliki relasi yang kuat dan erat, antara mereka yang menggunakan uang dan yang memberikan uang. Ada kesepakatan-kesepakatan yang tak bisa dikesampingkan. Hal tersebut relevan dengan situasi di mana kebijakan, penerbitan aturan hingga masalah jabatan dijadikan medium untuk melunasi ‘utang’ atau kita kenal dengan balas budi.

Selanjutnya politik transaksional ini juga tidak melulu berbasis uang, bisa juga berbasis komitmen atau kesepakatan kerja. Di mana beberapa agen bekerja untuk seseorang yang akan berkuasa. Mereka menawarkan massa, ide, dan bahkan hal-hal terkait yang relevan dengan pemenangan sang calon.

Kondisi tersebut merupakan langgam demokrasi di Indonesia yang lama-kelamaan mengalami dekadensi. Pasca-reformasi, transisi kekuasaan dari demokrasi otoriter ke demokrasi liberal terpotong oleh konsolidasi kekuasaan elite. Pasca orde baru tumbang, mereka hanya berhenti sejenak sembari menghimpun kekuatan, lalu muncul lagi untuk mengambil lagi kekuasaan itu.

Baik dalam Vedi Hadiz dan Richard Robinson juga telah menjabarkan secara kompleks mengenai desentralisasi kekuasaan pasca orde baru, dalam bukunya yang berjudul “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.” Yang mana salah satu agenda reformasi ialah demokratisasi yang menjurus pada desentralisasi kekuasaan.

Hadiz mengungkapkan, akan segera menjadi jelas bahwa demokratisasi Indonesia telah memberikan jalur kehidupan bagi para oligarki, yakni mereka yang diinkubasi dan dipelihara dalam sistem otoriter dan patronase terpusat saat orde baru. Mereka memanfaatkan proses demokratisasi untuk memperkaya dan menguasai pemerintahan, khususnya melalui pemilu demokratis.

Kita tahu ada suatu kondisi di mana pasca reformasi telah memunculkan demokrasi yang didorong oleh politik uang. Hal ini memunculkan persaingan antara sederet kepentingan predatori atas rampasan kekuasaan negara, institusi dan sumber daya, kelak akan mengambil bentuk yang lebih kacau daripada di bawah Orde Baru.

Di sisi lain, akibat dari politik transaksional, partai politik dan parlemen sebagian besar tidak terbebani oleh program ataupun ideologi yang diusung. Dan tentu saja mereka terbebas dari kebijakan liberal, dan hanya sesekali tunduk pada tuntutan kepentingan sosial yang lebih luas yang sebagian besar tetap tidak terorganisasi.

Kondisi tersebut telah melahirkan kekuasaan baru yang tak lebih dari sisa-sisa orde baru. Mereka yang berpatron pada Suharto memanfaatkan situasi reformasi untuk menghimpun kekuatan dan kekuasaannya lagi. Mereka kemudian menjelma menjadi kelompok yang dominan dan determinan pada setiap poros pengambilan kebijakan.

Dari penjabaran teoretik mengenai politik transaksional, hingga rekonsolidasi kekuasaan sisa orde baru, telah memunculkan situasi yang benar-benar menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.

Diskursus Transaksi Politik

Para menteri dan aneka pembantu tugas presiden yang dipilih oleh Jokowi secara garis besar menimbulkan sebuah praduga skema transaksi politik, di mana sebagian besar dari mereka merupakan sisa-sisa orde baru, para elite pengusaha, hingga akademisi konservatif pro status quo. Mereka semua relasional dengan kemenangan Jokowi di satu sisi, sementara di sisi lainnya mereka adalah jaringan bisnis yang cukup mesra.

Pertama kita lihat adanya Luhut Binsar, Wiranto hingga wajah-wajah staf khusus yang erat dalam lingkaran jaringan bisnis besar, khususnya yang menyokong Jokowi-Ma’ruf dengan menjadi tim pemenang. Selain itu muka-muka lama seperti Yasona Laoly hingga Edi Prabowo yang menggantikan Susi Pudjiastuti, tak lebih bentuk nyata dari politik transaksional. Mengapa, mereka adalah orang-orang lama yang punya kuasa di partai, sebagai balas jasa maka posisi strategis akan diberikan. Maka tak mengherankan jika abuse of power jamak kita temui, bahkan jauh dari tata kelola birokrasi ideal yang berkapasitas.

Pada konteks inilah diskursus “The Turn of Authoritarianism” hadir, menjadi salah satu landasan kala melihat situasi seperti ini. Demokrasi terancam dipukul balik dan digantikan oleh demokrasi otoriter atau demokrasi yang tak demokratis ‘illiberal democracy.’ Menjadi tak hanya sekadar kasak kusuk khalayak ramai, namun kini menjelma nyata di pelupuk mata.

Wajah perpolitikan negeri ini menuju fase-fase demokrasi yang terkekang, satu langkah menuju otoritarianisme. Dengan dipilihnya para pembantu presiden tersebut, ditambah dengan mayoritas legislatif yang dikuasai oleh kelompok pengusaha.

Maka mengherankan jika aneka UU anti demokrasi dan rakyat, seperti RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA), akan kembali dibahas lalu disahkan. Agenda-agenda dikorupsinya reformasi akan semakin masif, menjadi sinyal bahaya bagi demokrasi Indonesia. [*]