Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Universitas Paramadina Bedah Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024

Universitas Paramadina Bedah Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024



Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina Jakarta menggelar Seminar dan Peluncuran Buku ‘Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024 (Perbandingan Amerika dan Indonesia)’ karya Erik Ardiyanto, Dosen Program Studi IlmuKomunikasi di Universitas setempat. 

Bertempat di Auditorium Nurcholish Majid, acara tersebut digelar pada 21 Juni 2023 kemarin dengan menghadirkan langsung sang penulis, Erik Ardiyanto. Selain itu juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Abdul Malik Gismar, dan Psikolog, Dosen Prodi Psikologi Universitas Paramadina & Aktivis Perempuan Tia Rahmania sebagai pembicara.

Dalam kesempatan itu, Erik Ardiyanto menyampaikan disiplin ilmu komunikasi politik dapat mengambil referensi pada seorang strategi komunikasi politik Bernie Sanders, politisi Amerika Serikat yang memposisikan dirinya sebagai seorang politisi pembaharu.

“Menolak keterlibatan dana oligarki pada kampanyenya, selalu berpihak pada isu-isu lingkungan, kesehatan, kesejahteraan buruh, isu-isu perempuan dan anak muda, dan isu-isu egaliter lainnya,” katanya.

Dijelaskan Erik Ardiyanto Bernie Sanders, adalah seorang keturunan Yahudi Polandia yang pada usia 39 tahun maju sebagai calon walikota Burlington lewat jalur independen melawan Gordon Paquette dari partai Demokrat. 

“Sanders berhasil dalam kampanye politiknya dengan memposisikan diri sebagai kelas menengah dan berpihak pada kelas pekerja, apalagi slogan politiknya Burlington is not for sale,” ujarnya.

Politik kelas digunakan Sanders dalam menganalisis realitas politik yang ada di masyarakat. Bernie Sanders juga membawa kelompok minoritas ke dalam pemerintahannya dengan membentuk Dewan Pemuda, Dewan Perempuan, Dewan Kesenian dan Majelis Perencanaan Lingkungan. 

“Di saat itu Sanders dianggap sebagai politisi pembaharu yang menawarkan perubahan dan kebaruan,” tegas Erik Ardiyanto.

Kepiawaian Sanders dalam komunikasi politik, lanjutnya, ditunjukkannya ketika menjadi anggota DPR dari jalur independen di Vermont pada 1990. Dia membentuk kaukus progresif di kongres dengan mendorong UU Violent Crime Control dan law Enforcement Act. 

“Dia juga menolak invasi AS ke Iraq sewaktu George Bush dan terpilih sebagai anggota Senat dari Vermont dengan jalur independen,” ujarnya kemudia.

Disebutkan Erik Ardiyanto, pada 2010 Sanders menolak Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPP) dengan berpidato delapan setengah jam di Senat dan menjadi trending topik media-media popular. Dia juga memperjuangkan isu kelas berbasis minoritas, imigrasi, veteran dan rasisme. 

“Meloloskan UU Kesehatan 11 miliar USD untuk kelas bawah dan mendapatkan perawatn kesehatan sejenis BPJS. Mendukung UU Imigrasi ‘Dream Act’ yang mendukung kewarganegaraan imigran di bawah umur. Sanders juga mengajukan rancangan UU Upah Minimum sebesar 15 USD per jam melampaui upah minimum federal Trump yang 7,35 USD per jam,” tegasnya.

Bernie Sanders, kata Erik Ardiyanto, popular dengan strategi Urun dana Crowdfunding Politics ketika pada 2016 maju sebagai capres dari partai Demokrat. Dia menolak komite politik atau sumbangan dana dari korporasi/oligarki. 

“Sanders memecahkan rekor dengan strategi crowdfundingnya berhasil mengumpulkan dana 6,3 juta dollar USD dalam waktu 23 jam,” katanya.

Lebih lanjut, Erik Ardiyanto melihat, strategi crowdfunding/dana akar rumput Sanders sukses dalam edukasi politik dan menghindari politik praktis pembagian uang dan barang. “Komunikasi politiknya dapat memberi pengaruh psikologi dengan mott, berkontribusi berarti ikut dalam membantu melakukan perubahan politik,” katanya.

Sementara itu, Abdul Malik Gismar, menerangkan Bernie Sanders, Alexandria Ocasio Cortez, Jeremy Corbyn merupakan 3 tokoh penting hari ini dalam konteks membangun politik alternatif terhadap tradisi politik lama yakni Liberal Democracy atau liberal democratic politics yang sebetulnya hari ini mandeg/buntu. 

Symtomp dari mandegnya politik liberal democracy banyak ditemui misalnya di Inggris dengan fenomena Brexit yang adalah ‘kecelakaan’ luarbiasa di mana ketika dalam referendum, ide Brexit itu didukung oleh partai yang sangat populis dan agak rasis dan setelah menang bingung mau berbuat apa. 

“Tidak ada deliberasi dalam referendum itu dan tidak pula ada agreement di parlemen tentang apa yang harus dilakukan,” katanya.

Di Amerika juga, kata Abdul Malik Gismar, kongres negara federal USA dan di banyak negara bagian USA juga acapkali mandeg. Salah satu contoh kasus mandegnya kongres diambil dari banyaknya mass shooting di USA sekarang dan mereka tidak pernah berhasil membuat Undang-undang (Comprehensive Gun Law). Padahal korban penembakan massal di USA saat ini lebih banyak dari korban terorisme jika dikumpulkan sepanjang tahun. 

“Mandegnya pembuatan UU Gun Law terjadi ketika deadlock di kongres, deadlock di garis partisan, dan Partai Republik yang anti Gun Law. Di samping juga ada lobby-lobby ‘pro Gun’ yang sangat kuat,” sebutnya.

Ia pun melihat, landscape politik di negara-negara liberal democracy khususnya di USA, Inggris, dan juga Perancis serta lain-lain hari ini amat bermasalah. Salah satu contohnya Gun Law di atas. Pemikir politikpun sudah memikirkan untuk mengganti model sistem politik yang nyata-nyata sudah tidak efektif, mandeg di mana-mana, wakilnya tidak pro publik dan para wakilnya tidak representative. 

“Hampir 90% publik USA menginginkan Gun Law efektif tapi Gun Law nya tidak pernah bisa disusun,” ujarnya.

Di sisi lain, ada model sistem politik seperti China dan Singapura yang diberi julukan oleh Navan Gardell penulis buku ‘Smart Government’ sebagai ‘The Mandarinite Government/system’. Mandarinite System berciri luarbiasa kuat dalam prinsip seperti integrity, anti corruption yang menjadi prinsip pemerintahan. 

Beurocratic Meritokracy benar-benar digunakan secara kuat oleh government dalam rangka mengurus rakyatnya. Namun kata ‘partisipasi dan fairness’ menjadi tidak dikenal. 

“Apakah Indonesia perlu meniru model tersebut? baiknya memang dipikirkan bersama sama. Namun kelemahan Indonesia bisa dibilang selama ini tidak sungguh-sungguh mengurus birokrasi agar efektif, berintegritas dan pro publik,” pungkasnya.