Sastra Tetap Perlu Bicara: Ihwal Orang-Orang Oetimu
Sastra Tetap Perlu Bicara: Ihwal Orang-Orang Oetimu
Oleh : Lukman Solihin
(Alumnus S2 Antropologi UGM, bekerja sebagai peneliti kebijakan pendidikan dan kebudayaan, Balitbang Kemendikbud RI)
Langgar.co – Entitas politik seperti negara, lahir dan kukuh tidak dengan jalan yang lurus. Dalam upaya membangun dirinya, ada yang disingkirkan, dihapus, dicaplok, juga dibentuk.
Dilihat dari satu sisi, Majapahit adalah imperium besar. Tetapi dari tepi barat Jawa, di mata Dyah Pitaloka, ia tak hanya mengancam, tetapi juga memusnahkan. Begitu pula kebesaran Gowa, bila dilihat dari kacamata Arung Palakka, adalah penjajahan belaka.
Begitu pun Indonesia, berdiri tidak hanya melalui serangkaian aksi heroik melawan kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, maupun perang kemerdekaan, melainkan pula penumpasan mereka yang dianggap kelompok separatis, pendudukan Papua Barat, aneksasi Timor Timur, juga operasi militer di sejumlah daerah.
Kehendak berdaulat, kerap dibersamai oleh hasrat berkuasa. Sayangnya, seperti cerita klasik di berbagai belahan dunia dan masa, kuasa sering kali jadi pangkal malapetaka. Dan di belakang hari, ia menjelma sebagai sumber rasa malu.
Seorang kawan yang pernah bermastautin di Jerman bercerita, tak banyak orang di sana yang nyaman membahas masa lalu mereka terkait NAZI dan Holocaust. Pemerintah Jepang juga sering kali tak enak hati ketika diungkit dosa-dosanya di seputar Perang Pasifik: ihwal kamp kerja paksa, perempuan penghibur, juga tragedi Nanking/Nanjing.
Sementara kita punya peristiwa ’65, Timor Timur, Papua, dan sederet memori “perang saudara” lainnya. Kita mungkin dapat membaca Amba, atau Pulang, atau bahkan Ronggeng Dukuh Paruk untuk sedikit tahu soal cerita hilir pasca-tragedi ’65.
Tetapi, di seputar tragedi Timor-Timur, kecuali pandangan dan pengisahan dari Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata dan Jazz, Parfum, dan Insiden yang seolah telah menjadi klasik, tak banyak yang bisa kita pelajari. Untungnya, Felix K. Nesi menulis Orang-orang Oetimu dengan sepenuh hati dan menyajikannya pada kita, generasi Indonesia pasca’98.
Terus terang, saya merasa risi dan tak enak hati ketika membaca Orang-Orang Oetimu. Kisah di dalamnya seperti dari negeri antah berantah yang jauh, tetapi ada pantulan “kita” di dalamnya—kita sebagai sebagai bagian dari sebuah negara bernama Indonesia.
Bagi sementara kalangan, kisah Timor-Timur adalah bentuk kegagalan mewujudkan “NKRI harga mati” lantaran lepas dari Indonesia. Tetapi bagi kalangan yang lain, kemerdekaan Timor-Leste adalah harga yang pantas untuk menebus kesalahan di masa lalu.
Pada masa yang kemudian, kita dapat menimbang keputusan-keputusan politik di masa silam melalui pendar perenungan sastra. Dan, Orang-orang Oetimu menyajikan itu. Kisah tentang para korban yang dinistakan, juga pelaku yang dihela oleh ambisi, dendam, juga semangat menjadi “patriot bangsa”.
Paruh pertama kisah dalam Orang-orang Oetimu berpusat pada penderitaan Laura, gadis muda periang berdarah Portugis yang nasib baiknya direnggut Operasi Seroja. Tentara tak hanya merudapaksa kemudaannya, tetapi merampas segala apa yang dimilikinya (orang tua dan kebahagiaan) sembari menitipkan benih dalam rahimnya.
Setelah mendapatkan kesempatan lepas dari kamp laknat yang menyiksanya, berhari-hari Laura berjalan ke barat, menyusuri hutan, lembah, sungai dan berakhir di Oetimu. Di kampung itu, dia berjumpa Am Siki, kakek tua yang kisah hidupnya telah melegenda di antero negeri.
Am Siki adalah pedagang cendana dan pengolah nira. Di zaman sebelumnya, dia memilih berdagang dengan Portugis ketimbang Belanda karena yakin orang Belanda selalu berlaku culas. Ketika Jepang menduduki pulau-pulau di Nusa Tenggara, dia ditangkap dan memulai ritme kerja paksa.
Am Siki yakin leluhurnya adalah pohon lontar. Ketika pada suatu malam buta dia menebang pohon lontar, satu tandan buah lontar jatuh di kepalanya. Dia rebah. Dalam kondisi berkunang-kunang itu, dia seperti mendengarkan pohon itu membacakan syair yang menguatkan batinnya. Sekonyong-konyong terbit keberanian dan kekuatan dalam dirinya. Dia mengamuk. Semua tentara Jepang di kamp itu dihabisinya.
Am Siki-lah yang merawat Laura di Oetimu sampai kelahiran anaknya. Agaknya, usia perempuan muda ini hanya dicukupkan sampai tugasnya sebagai ibu tuntas. Empat hari setelah Siprianus Portakes Oetimu lahir, Laura meninggal. Anaknya inilah yang kemudian memainkan peran di Oetimu sebagai Sersan Ipi.
Sersan Ipi sepertinya mewarisi perangai bapaknya yang merupakan anggota pasukan penyerbu dalam Operasi Seroja yang entah siapa. Dia temperamental, suka menggampar, dan mencari kesalahan apa pun bahkan ketika tidak ada alasan kecuali suasana hati dan perutnya sedang tidak berkenan.
Perangainya sedikit mendingan setelah berjumpa Silvy Hakuak Namepan, perempuan muda yang pindah dari SMA Santa Maria Helena ke Oetimu karena baru saja mengandung. Perempuan ini bunting bukan lantaran kelakuan Romo Yosef yang mengepalai sekolah favorit itu. Melainkan hasil perbuatan Linus Atoin Maloket, guru muda yang sejak kanak ingin menjadi pelayan negara seperti para tentara yang dijumpainya, namun berakhir menjadi guru sejarah yang tak becus di SMA Santa Maria Helena.
Felix secara lihai memasukkan banyak kisah lain dalam jalinan benang merah yang sama dalam Orang-orang Oetimu. Misalnya sosok Romo Yosef yang memendam “cinta terlarang” dengan Maria, seorang aktivis mahasiswa yang selalu mendebat khotbah-khotbahnya. Maria kemudian meninggalkan Frater Yosef karena khawatir cintanya membuat bimbang calon pastor itu. Peristiwa ini terjadi setelah kelompok-kelompok mahasiswa banyak diringkus karena ada “orang dalam” yang menjadi mata-mata—tak lain adalah Linus Atoin Maloket ketika masih berstatus sebagai mahasiswa.
Tetapi kisah Yosef dan Maria tak berhenti di situ. Setelah Maria berkeluarga, memiliki seorang anak, Yosef berjumpa lagi dengan Maria. Kedekatan mereka kian rapat setelah suami Maria dan anaknya dilindas iring-iringan unimog, ketika tentara kembali melancarkan operasi militer di Timor Timur.
Di hari pemakaman suami dan anaknya itu, Maria berang ketika seorang perwira muda menyampaikan pidato penyesalan sekaligus pembenaran bahwa peristiwa yang terjadi tak lain karena usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Dengan murka, Maria menjerit:
“Bahkan dalam perjalanan membunuh orang tak bersalah, kalian masih sempat membunuh orang tak bersalah? Anjing keparat!” (hlm. 175).
Maria akhirnya memilih bunuh diri setelah tak mampu menanggungkan penderitaannya.
Sementara Sersan Ipi, di akhir cerita, tak jadi menikahi Silvy. Bukan lantaran perempuan ini meninggalkannya, tetapi karena Sersan Ipi keburu mati di rumah Martin Kabiti, mantan tokoh laskar yang pernah berperang untuk republik.
Membaca Orang-orang Oetimu, mau tak mau menuntut kita mengumpulkan informasi seputar tragedi yang pernah belangsung di Timor-Timur, mulai dari Operasi Seroja, Pembantaian Kraras yang dikenal sebagai “Kampung Janda”, dan tentu saja Pembantaian Santa Cruz.
Memikirkan kisah dalam Orang-orang Oetimu membawa saya pada diskursus mengenai “banalitas kejahatan” seperti diutarakan Hannah Arendt, filosof keturunan Yahudi yang banyak merekam dan mengalami kekejaman NAZI.
Melalui konsep itu, Arendt berupaya mendedah bagaimana Holocaust berlangsung sedemikian brutal dan dianggap sebagai “kewajaran” oleh para pelakunya. Banalitas sendiri dapat kita maknai sebagai suatu kondisi yang dianggap wajar, dapat dimaklumi.
Sederhananya, sebuah tindakan jahat alih-alih dipandang salah, justru dinilai sebagai sebuah kewajaran, bahkan keharusan bukan karena ia dilakukan berulang-ulang, melainkan lantaran ada pembenaran di baliknya. Pendek kata, saya melakukannya karena benar, karena memang seharusnya begitu!
Sayangnya, untuk kasus Timor-Timur, pembenarannya adalah “NKRI harga mati!”.
Hatta, mengutip secara serampangan esai Seno Gumira Ajidarma, meski jurnalisme tak lagi (begitu) dibungkam, sastra tetap perlu bicara. Lantaran kita tak cukup hanya memamah informasi melalui beragam kanal berita, akan tetapi tetap memerlukan pendaran kebenaran dalam dunia sastra. Seperti kisah Felix dalam Orang-orang Oetimu ini.