Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dongeng dan Kearifan yang Pudar
sumber: istimewa

Dongeng dan Kearifan yang Pudar



Al Muiz Liddinillah


Sebagai pengantar tidur anak, beberapa orang tua menceritakan kisah atau cerita rakyat, dongeng, atau fabel. Tapi, itu bukanlah pengalaman penulis secara langsung. Penulis, hanya sekedar mengamati di televisi, pada sebuah adegan di sinetron atau sinema.

Mengapa demikian? Dahulu, dongeng menjadi aktivitas bagi keluarga yang punya duit. Keluarga dengan ekonomi yang lebih baik, akan memperoleh pendidikan anak dengan variatif dan maju pastinya. Seperti halnya membeli buku dongeng, lalu kemudian menceritakan itu kepada anaknya.

Dongeng, tidak hanya menjadi ritual untuk menidurkan anak semata, jika orang tua ingin mengedukasi anaknya yang masih kecil entah di pagi hari atau di siang bolong, maka dengan mendongeng itu. Orang tua dengan ekonomi yang baik menjadikan kebiasaan mendengarkan, membaca, dan berkerajinan sebagai bagian dari menghidupi keluarganya.

Tapi, bagaimana dengan keluarga dengan ekonomi kembang kemphis, tentu lain dari pada itu. Dahulu, dalam mendapatkan buku atau menemui perpustakaan sangatlah sulit. Keluarga dengan kondisi ekonomi biasa saja tentu sangatlah kesulitan dalam mendapatkan infrastruktur perbukuan atau literasi yang memadai.

Maka, tidaklah heran, mendongeng menjadi aktivitas segelintir orang yang mempunyai banyak duit. Lalu, apakah semua yang berduit peka atau peduli akan literasi anak dan keluarganya? Tidak, tidak semua. Ada Sebagian pula yang eman-eman jika duit dibuat membeli buku atau mainan anaknya.

Pada keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi tidak lantas mereka menjadi kurang cakap literasi. Sebagian dari mereka juga memenuhi hasrat literasinya dengan bersekolah dengan baik dan gemar mengunjungi perpustakaan sekolah, lalu meminjam beberapa buku yang ada.

Meski, dalam hal ini, kecenderungan kondisi ekonomi berbanding lurus dengan pendidikan yang ada dan masih banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Terbukti, masih ada anak yang putus sekolah karena ekonomi yang kurang baik, ada anak yang terlantar karena ekonomi yang kurang baik, atau lainnya. 

Fenomena tersebut mengingatkan penulis pada sebuah nasib, pada sebuah dongeng, dan pada sebuah masa depan. Di manakah dongeng menggaung di negeri ini? Apakah sekedar kisah klasik bahwa dongeng pernah ada dan “Si Kancil Masih Saja Mencuri Timun?”.

Penulis ragu, generasi anak saat ini mengetahui cerita rakyat seperti yang generasi penulis alami. Misal saja, kisah Sangkuriang, Malin Kundang, Timun Mas, Bawang Merah Bawang Putih, Ande-ande Lumut, dan lainnya. Meskipun dari generasi anak atau remaja saat ini juga memiliki kelebihan sendiri di zamannya. Tapi, kelisanan ini atau bahkan dongeng ini patut dirawat.

Dongeng pada era ini seakan mengalami pergeseran sebagai karya sastra pinggiran. Anggap saja yang dipinggirkan atau mungkin terpinggirkan. Dongeng bagi sebagian orang adalah kisah-kisah yang tidak masuk akal, kuno, dan nggak jelas sumbernya.

Orang lain lupa, ada pengarang bijak bestari Aesop yang menulis fabel, cerita tentang binatang, tapi ketika kita membacanya, banyak kebijaksanaan yang terkandung. Aesop bukan saja pengarang, tapi Ia adalah pemikir sepanjang zaman yang mampu memberikan nilai pada kebinatangan menjadi nilai yang patut direfleksikan manusia guna menjadi manusia yang memanusiakan manusia.

Misalnya, fabel Aesop tentang lomba lari antara kura-kura dan kelinci, yang dimenangkan oleh kura-kura. Sebagian orang mungkin tercengang, bagaimana kura-kura, pejalan lambat itu bisa menang? Cerita tentang kura-kura yang menang lomba lari dari kelinci tentu akan menjadi kisah menarik bagi anak, atau bahkan bagi orang dewasa.

Dari kisah binatang itu, kita semua diajak berfikir bagaimana bisa kura-kura memenangkan pertandingan itu. Berdasarkan temuan penulis dari kanal BBC, ada beberapa jawaban ilmiah; di antaranya, kura-kura memang pejalan lambat tapi dia berjalan lurus, beda dengan kelinci yang berjalan muter-muter, serta kura-kura hewan yang lebih tua dan memiliki umur lebih panjang dari kelinci.

Sedangkan, nilai moral yang bisa diambil dari pacuan kura-kura dan kelinci menurut penulis ialah kekuatan itu tidak dilihat dari besar kecil dan cepat lambatnya, tapi kekuatan atau kemenangan itu juga bisa datang dari ketekunan, keuletan, dan kefokusan. Sebagaimana kura-kura yang dengan gigih berjalan terus, konsisten pada suatu tujuan – tanpa menyia-nyiakan umur yang ada.

Dari sesuatu yang dianggap remeh, seperti dongeng dan fabel; Aesop, pendongeng, pemantra, pencerita, atau pendalang adalah orang-orang yang hidup dan memberi arti. Dongeng yang semakin redup, mampukah tetap hidup di tengah rezim youtube?

Sudahkah platfrom digital itu menjadi pilihan anak memilih dongeng terbaiknya. Ataukah anak hanya bermain gawai hanya meneruskan tontonan orang tuanya sebagai akibat dari Ai-ai itu? Jika iya, akankah anak menjadi tua dan menyebalkan sebelum waktunya? Semoga semua ini keliru.


Redaktur Beritabaruco