Sangkar Cemas | Puisi-Puisi Wawan Kurniawan
Sangkar Cemas
Jeruji angan melingkar membungkus,
seluruh wajah bayang-bayangmu diringkus.
bianglala berputar seperti jam raksasa,
sembari nasib bergantung di tubuhnya, berhitung.
Jika kau lepaskan dirimu dengan cara silam,
akulah cemas yang kerap berbisik kepada jantungmu.
tapi kau tak pernah benar-benar mengerti,
bahwa hidup tak lebih dari payung yang menahan.
sisa-sisa kenyataan jatuh sebagai hujan terakhir,
menggenapi musim yang tak pernah kita beri nama.
Tumpahkan takut kemarin di selembar esok yang kering,
sebab bukan hanya airmata yang mesti basah mengalir.
Kau genggam erat jeruji dalam diriku yang pasrah,
demi mencukupkan penantian tanpa bertaruh waktu
Aku selembar daun hijau belajar
menjelma makna di atas kepalamu,
tapi kita akan paham bahwa
selubung luka tak lagi mampu terbebas.
Depresi
Seorang penyusup masuk
ke dalam kamar rahasia
dari kenyataan
di kepala.
Berwarna kelabu
kulit dinding yang disentuh
teriak memanggil namamu lalu,
kematian sepasang telinga
pada akhirnya tiba.
Dia berlari meninggalkan jejak
tapi tak seorang pun mampu
menangkap atau bertanya kepadanya
tentang apa dan bagaimana dia:
menjelma suara yang
tak pernah orang-orang harapkan.
Ia seperti hendak menuntut banyak hal,
di satu pertanyaan bercabang dan berakar
dia menanam benih mercusuar yang kelak
tumbuh sebagai peringatan bencana dalam diri.
Sad Super Ego
Bulan akan lekas jatuh di segelas tangis
yang kau tampung bermusim-musim lamanya
sebab langit tak lagi punya apa-apa untukmu
Tahun kepergiannya telah jadi labirin paling gelap
langkah dan apa yang kau sentuh hanya sebatas
tanya dan ragu yang terus mengutuk dirimu
Di tubuh ketakutan, aku terdengar seperti
tamborin yang jatuh di lantai keramik
memecah beku dari jauh masa silam
Di hadapan hasrat kita masing-masing
kupejam mata seolah ingin menjatuhkan diri
dari ujung tebing menuju deras ombak saat ini.
Polymorphous Perversity
di tubuh ini sendiri
kenikmatan menyelamatkan akal
tapi tidak dengan derita yang tertahan
mereka tumbuh tak terbendung
kesesatan ini satu-satunya jalan
setelah menempuh ruang ganti bagi jiwa
dan menyelamatkan cadangan-cadangan
atas kenyataan bila kesengan pun menang.
saat kita bertemu kembali
biarkan kita mengenang masa itu
saat apa saja di tubuhmu mampu merayu.
Melancholia
Setelah terbentur di dinding kamar,
sandaran kursi ruang tamu,
memantul di lantai,
lalu menggelinding di atas karpet
dengan motif bunga-bunga
yang tak kukenal nama dan aromanya
kau menjelma jadi aroma
menyengat—
mendesak masuk di hidung
melompat pasti ke jantung
dan girang di dalam sana
dan pada akhirnya
seluruh permainan di hati
menghiburmu sekeras tenaga
demi menjagamu agar bersarang
selamanya: tak bersuara juga tak berbentuk
Suatu Hari Saat Kita Menghipnotis Diri Masing-Masing
Suatu hari
kau memejam matamu di mataku
dan menatap segala isi kepalamu
kau temukan dirimu sendiri.
Suatu hari
aku dengar bisikan dengan telingamu
dan suara-suara masa depan milikku
tertampung di keheninganmu.
Suatu hari
tak akan ada kau atau aku
tapi ingatan berdiri sebagai kita
demi memastikan dunia pernah ada.
Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai, novel dan menerjemahkan. Buku puisi terbarunya, Museum Kehilangan (2020). Pernah diundang sebagai penulis Indonesia Timur di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015. Salah satu novel karyanya yang berjudul Seratus Tahun Kebisuan menjadi Novel Pilihan Unnes International Novel Writing Contest 2017. Twitter: @wnkurn