Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Selangkangan Berwajah Surga | Cerpen Aljas Sahni H
Sumber ilustrasi : @villena_art

Selangkangan Berwajah Surga | Cerpen Aljas Sahni H



Saiman—seseorang yang digadang-gadang sebagai satu-satunya penghuni surga—malah takluk di hadapan selangkangan seorang pelacur. Dia lupa untuk mengedipkan mata. Dia tidak dapat berkata-kata, mulut menganganya enggan terkatup, sebagaimana gua gelap dan berair. Bahkan, batok kepalanya yang tadi kosong melompong, kini dipenuhi oleh sekelompok anak pramuka yang meloncat-loncat siap segera bertualang.

Saiman bimbang menentukan momen luar biasa ini sebagai petaka atau anugerah. Dia adalah orang paling malang sekaligus orang paling beruntung. Siapa pun takkan percaya, bahkan akan memanggilnya sebagai seorang sesat, jika nanti lelaki itu menceritakan perihal surga sudah dia temukan di dalam selangkangan pelacur itu.   

Awalnya, Saiman juga sulit untuk menerima. Dia pikir, semua hanya sekadar akal-akalan para setan yang hendak mengaburkan jalannya menuju Tuhan. Tapi, pemandangan itu jelas-jelas begitu indah dan menampakkan ciri-ciri surga yang didendangkan oleh guru-guru spiritualnya.

Di dalam selangkangan pelacur itu, terdapat belukar menjalar bergelombang, pohon-pohon berderet rapi dengan aneka buah, taman firdaus, hewan-hewan mitologi yang tidak ada di dunia, serta sungai susu yang mengalir tenang.

Oh, Saiman Si Pengembara Alim, dari saking di luar nalarnya kejadian itu, dia pun memanjatkan doa, “Wahai Tuhan dengan segala kebenaran yang menempel, berilah petunjuk pada hamba-Mu yang hina ini. Apakah taman dalam selangkangan nona itu benar-benar adalah surga yang Kau berikan pada hamba sebagai hidangan pembuka, atau sekadar tipu muslihat setan-setan yang sengaja Kau kutuk? Oh Tuhan, tanpa jawaban-Mu, hamba benar-benar berada di tepi jurang kebimbangan.”

Tuhan tidak menjawab. Tidak ada tanda-tanda alam menyampaikan pesan Tuhan kepada Saiman. Lelaki itu betul-betul harus memutuskan sendiri, apakah di dalam selangkangan pelacur itu benar-benar bentuk surga yang telah dia cari-cari selama ini.

Tentu saja, Saiman juga bukan seorang lelaki yang gegabah. Dia adalah seorang pengembara yang sudah mantap menghibahkan hidupnya di jalan Tuhan. Dia mengembara dari kota ke kota, bersujud dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain, mengajak orang-orang bertobat dan terus menyakinkan kaum kurang yakin bahwa Tuhan itu ada dan selalu ada.

Dalam pengembaraan yang panjang, Saiman saban hari meminta Tuhan membuktikan surga yang dijanjikan, agar manusia yang kurang percaya menjadi percaya. Dia tak ingin kemungkaran semakin merajalela dan kaum durjana semakin bertambah.

Saiman memang lelaki alim yang unik. Dia berbusana serba putih dan terus menjaga kesucian busananya. Dia terus mengokohkan tiang-tiang agama di permukaan hatinya dan di lumpur-lumpur hati banyak orang.

Di satu sisi dia terlihat bijaksana, di sisi lain dia menampakkan sifat-sifat keledai. Dia mudah percaya, dan karenanya, dia juga tertipu. Dia lemah lembut, sungguhpun sering menjadi korban keberangasan orang bertampang lelembut. Dia begitu polos, lugu, dan kadang-kadang kaku.

Pengembara pencari surga itu memang memiliki rupa yang tidak rupawan. Itulah mengapa, dua lelaki pemabuk mengerjainya.

Dini hari sebelum ayam meniup peluit, Saiman tiba di sebuah kota yang muram. Dia ingin merebahkan diri di tempat ibadah sembari meminta petunjuk pada Tuhan untuk perjalanan selanjutnya.

Kota itu baru dia hinggapi, sehingga arah pun dia tak tahu. Sialnya, ketika mencari tempat ibadah terdekat, dia malah bertanya pada dua orang yang berjalan gontai. Merekalah dua lelaki pemabuk yang memberi petunjuk di mana surga berada.

“Berjalanlah lurus dan terus, masuki lorong dengan lampu remang-remang di sebelah kanan. Di sana kami biasa beribadah dengan suka cita,” kata si pemabuk satu dengan sengaja memperlihatkan wajah serius.

“Haha, pintar sekali!” timpal si pemabuk kedua, sembari menggaplok kepala belakang temannya. “Itu adalah tempat ibadah paling indah sejagat raya. Baru masuk saja, nanti kamu bakal disambut dengan banyak bidadari, Tuan, haha.”

Saiman malang yang mudah percaya pun mudah diperdaya, membungkukkan badan dan berterima kasih.

Sementara itu, dua pemabuk itu pun cekikikan melihat langkah kakinya yang benar-benar menginjakkan kaki ke tempat yang mereka tunjukkan. “Lihatlah, betapa bodoh dan jenaka orang alim itu, memasuki rumah bordil untuk beribadah,” seloroh pemabuk itu lagi.   

Dan ya, pelacur-pelacur rumah bordil terkejut bukan main, tatkala mendapati orang suci memasuki kantor mereka yang nista. Tak terkecuali dengan Saiman sendiri, dia bukan hanya kaget, tapi juga menyebut nama “Tuhan” berkali-kali dengan suaranya yang nyaring namun gemetaran.  

Saiman merasa, para setan menertawakannya dari alam yang gaib. Dia melihat tubuh-tubuh wanita terhampar bebas di bawah lampu yang remang-remang, botol-botol berserakan menumpahkan air haram, bedak menyeruak dan memikat, puntung rokok di mana-mana, dan bahkan, dia merasa, berpasang-pasang mata mengintai dengan tatapan penuh curiga.

Ya, melihat siapa yang datang, pelacur-pelacur itu enggan untuk menyambut. Mereka tahu, Saiman adalah orang alim dan dia tidak mau bermain-main dengan orang alim dan kealiman itu sendiri.

Mereka takut dosa, sekalipun di mata agama, mereka sudah berdosa telah menjajakan tubuh pada para lelaki. Mereka sadar, mereka hina, sehingga tak boleh merayu kesucian lelaki itu.

Pelacur-pelacur itu mundur beberapa langkah, menjauh dari Saiman si pengembara suci. Hanya Inung, satu-satunya pelacur yang tersenyum dan menampakkan raut manis dan manja.

Sepertinya, dia tertarik pada Saiman. Dia memiliki rupa jelek dan riasan yang menor. Dia adalah pelacur paling tidak laku, dan sedari tadi pun, tak ada lelaki yang mau menjamah tubuhnya, sekalipun dia sudah menawarkannya dengan harga murah.

Maka, melihat orang suci memasuki rumah bordil serta para pelacur enggan mendekat karena takut dosa, adalah sebuah keuntungan dan kesempatan bagi Inung. “Hulala, pucuk dicinta ulam pun tiba,” batin Inung sembari membenarkan kutangnya dan memoles bibir merahnya dengan gincu merah agar semakin merah, semerah hatinya detik ini.

Pelacur itu pun datang mendekat, mencoba merayu Saiman, “Oh, Anak Tuhan yang kekar. Kalau boleh Inung tahu, gairah apa yang membuatmu ke tempat ini?”

Sontak Saiman menutup sebelah matanya melihat Inung membusungkan dada seperti hendak menantang. “Tuhan, maafkan mata hambamu ini yang tak dapat menjaga mata titipan-Mu. Nona, maafkan aku yang tak sengaja melihat separuh mahkotamu. Aku benar-benar tidak sengaja. Sungguh, demi Tuhan, aku tidak berniat mengotori buah semangka dengan mataku yang jalang,” ucap Saiman, sembari geleng-geleng kepala merasa bersalah.

“Ih…, kok kamu gemes cekali cih….” balas Inung semakin mendekatkan dirinya. “Kamu tak usah merasa bersalah, apalagi menutup mata. Aku sengaja kok, menghidangkan semangka ini untuk kamu belah dan untuk kamu nikmati. Iya…, cuma uncuk camu, Cayang!”

“Berhentilah merayuku, Nona!”

“Ih, kok gayak!”

“Maaf, Nona.”

“Tidak ada maaf uncukmu.”

“Tuhan akan memarahiku, jika kamu tak memaafkanku.”

“Aku tak berurusan dengan Tuhanmu, Cayang…”

“Sadarlah, Tuhan yang membuatmu ada!”

“Ih…, aku cuma ada jika kamu butuhkan.”

“Hentikan! Tuhan akan murka dengan kata-katamu.”

“Tuh kan, kamu gayak!”

“Maaf, Nona.”

“Sudah kubilang, tiada maaf uncukmu.”

“Dengan apa kutebus kesalahanku?”

“Apakah kamu akan melakukan apa pun yang kuperintahkan?”

“Ya.”

“Beneran ya… awas tipu-tipu!”

“Tentu saja. Aku tak mau Tuhan murka dan memasukkanku ke dalam neraka hanya karena kamu tak memaafkanku.”

Hmm…, baiklah, ikuti aku ke dalam kamar.”

“Untuk apa?”

“Aku akan memperlihatkanmu surga, Cayang.”

“Surga? Tuhan tidak meletakkan surga di kamar pelacur!”

“Wah, kamu kacar cekali!”

“Sekali lagi, maaf, Nona.”

“Sudah kubilang, tiada maaf uncukmu. Lebih baik ikut aku ke dalam kamar dan kubuktikan, bahwa surga itu memang ada.”

“Nona, sudah kubilang, tidak ada surga di kamar pe…. perempuan maksudku.”

“Ih, kamu kok kuno banget, cih!” ujar Inung kemudian. Dia mulai kesal. Tanpa basa-basi lagi, dia pun menarik tangan Saiman. Lelaki suci itu tersentak. Tangannya disentuh jari-jari perempuan. Apalagi, perempuan itu adalah pelacur.

Pelacur sangat dibenci Tuhan. Tuhan akan marah padanya yang memasuki kamar perempuan lacur. Tapi, dia tidak bisa apa-apa. Bibirnya sibuk mengucap maaf pada Tuhan.

Dia berdoa semoga Tuhan tidak marah. Dia pasrah. Dia memasuki kamar Inung. Dia berada di kamar pelacur. Dia semakin gencar menyebut nama Tuhan.

Inung sendiri tidak peduli. Dia tersenyum. Dia menanggalkan semua pakaian. Dia telanjang dan Saiman menutup mata.

Saiman benar-benar takut. Dia takut dosa. Dia takut Tuhan. Dia pun takut pada pelacur di depannya.

Saiman sungguh tak bisa apa-apa saat Inung melebarkan selangkangan. Saiman membuka mata. Dia tercengang. Dia lupa menutup matanya lagi. Dadanya berdebar. Badai menerjang sanubarinya. Dia geleng-geleng kepala. Dia manggut-manggut. Dia bimbang. Dia benar-benar melihat surga. Surga berada di selangkangan pelacur bernama Inung.

“Sekarang kamu percaya kan?” rangsek Inung.

“Percaya apa?” balas Saiman tegas sekaligus gugup.

“Ada surga di sini,” tunjuk Inung pada selangkangannya.

“Aku tak tahu. Tuhan belum menjawabku.”

“Berarti Tuhanmu ikut tercengang, Cayang, haha.”

“Berhentilah menistakan Tuhan!”

“Oke, oke, aku nyerah. Sekarang kamu tinggal masuk untuk melihat surga.”

“Itu terlalu kecil dan sempit.”

“Nanti juga longgar sendiri,” rayu Inung membuat Saiman tergagap-gagap.

Saiman hilang akal. Dia gemetaran. Dia keringetan. Dia membisu. Dia tak tahu mau balas apa. Dia tak mampu mengeluarkan kata-kata. Dia takut dosa. Dia yakin itu surga. Dia geleng-geleng kepala. Dia penasaran. Dia ingin memasuki selangkangan itu dan melihat megahnya surga, tapi Tuhan belum menjawab.


Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura.Mahasiswa Universitas Sanata Dharma. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta.