Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Amor | Puisi-Puisi Faustina Hanna
Ilustrasi: siswa-siswi Sekolah Bunda Hati Kudus, kelas XII IPS 3 (Caroline, Geve, Gaby, Katherine, Bryan)

Amor | Puisi-Puisi Faustina Hanna



Amor
   ; bagi Yuvenalis Raga Gening

Amantes sunt amentes*

penyair, ialah kaum terpilih, untuk menggenapi makna kesetiaan dalam
hal menjaga serta memuliakan jiwa-jiwa. senja yang tembaga, yang

bangkit melisankan surat-surat peninggalan mentari. tataplah di sana;
bagaimana penyair dan dunia saling jatuh cinta. berdesah mesra.

ah!

**

lantas ketika perempuan penyair menilik terhadap satu kata, ‘hilang’:
aku kehilangan kamu/ kamu kehilangan aku/ puisi kehilangan dunia/

dunia kehilangan cinta/ cinta kehilangan jantungnya sendiri/ aku berdarah;
kehilangan segala yang kau lihat padaku/ kau bersumpah; kehilangan

segala yang kulihat padamu. maka kita diam-diam mulai berencana untuk
bersembunyi,apabila tuhan tiba dan memperkarakan (lagi) perihal tulang

rusuk yang telahlama dicuri.

lantas menjadilah!
mala cinta yang menggerakkan tungkai nestapa.

ah!

2022

* “Orang yang sedang jatuh cinta itu (tampak) gila” (dari sebuah ungkapan bahasa Latin)

Eksodus Waktu

Aku terbentuk dari pasir putih.
Kau tahu itu bahkan sebelum ditakdirkan menggenggam dan
melindungiku. Serapuh itu.

Lantas sebelum bayangan penguasa wanita yang mengubur hidup-hidup
putrinya sendiri pada kejayaan masa purbanya berkoar akan
keberadaanku, bersama serentetan kejadian traumatis, kau pilih
menyembunyikan dan menyimpanku dalam tabung kaca berpinggang
sempit.

Pesanmu agar waktu tidak terhapus,
               — arus besar tidak berpindah
agar tidak bersuara hingga kau membawaku ke keramaian stasiun didimensi kehidupanku yang absurd saat ini. Aku tiada berdaya meski
dalam wujud asliku sebagai sang pasir waktu
dan kau yang tergesa tak berhati-hati, menubruk tubuh yang dingin
seusai perpisahan seorang anak manusia dengan namanya sendiri,
hingga menumpahkanku. Serupa denyut-denyut peristiwa bernyawa
yang kini tercecer di sela-sela rel.

      : dalam butiranku masif terkandung apa yang diwariskan oleh
mereka
     sebagai sejarah

Tak lama berselang laju kereta telah menghempasku tiada bersisa
(roda zaman niscaya bekerja di luar kendali pikiran manusia;
kehendak manusia sendirilah yang terbiasa meraba-raba di sepanjang
titian kehidupannya,
dihasratkan melalui seremoni ingatan serta interpretasi-interpretasi
sederhana)

dan di tengah riuh kerumun pendatang, kau histeris menutupi kedua
matamu dengan riwayat panjang mereka yang telah mengandalkan
katarsis demi menanggalkan
hulu (asal usulnya).

Pada keriuhan stasiun dini hari
dengan mata terpejam, pikiranmu terburu mencari-cari
tubuh sendiri

tubuh sendiri.

Yang menolak berhenti
Sampai segala napas berjejal sesak di sini!

Stasiun Gambir, 2022 

ancala

apa yang begitu istimewa di sini; selain udara segar yang begitu baku, langit yang selalu tahu warna dan kedudukan kabut, keluarga gunung yang bahu membahu agar setiap jeluk, tanjak, ataupun lempitan tanah itu tidak boleh menjadi gagal di mata jeli para fotografer. berjalan saja terus, dalam lapisan terluar jalan yang paling basah, sesekali kau tandai dengan senyum ramah, denyut pesta kesuburan yang bersemayam di bawah sana −akar-akar pohon sendiri tanpa batang besar dan ranting-rantingnya bergerak menjalar mendahului setiap gerak kaki− dan bohlam-bohlam murung itu,

bohlam itu nampak seperti silinder pikiran perempuan yang dipenuhi larutan susu madu, yang ditahan kuat pada pangkalnya! lalu tiba-tiba diangkat pada ketinggian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya (kala itu barangkali getirnya sama denganku). hidungnya hanya lamat-lamat berjuntai, meski tak pernah benar-benar lepas untuk kemudian dipersunting malam-malam muda, sebagai cahaya   

: cahaya yang sepenuhnya mengabaikan rambu pada sepanjang koridor hatimu; koridor yang kini terlampau lengang. yang kadangkala kutatap serupa jurang-jurang ganjil di situ −yang hendak melambung ke atas−

memisahkan peralihan bentuk dari rahang hewan-hewan malam yang telah lama terpatri di angkasa.  

2013

Tanggal Dua Puluh Bulan Maret

masihkah ingat dengan rambut hitam ini? dahulu kau sempat senang berapit
pada berturut-turut peristiwa, alasan yang menggerakkannya untuk tumbuh
memanjang, dan teramat lurus.
(pernah kau berangan, di sini akan menjadi bagian dari diri perempuan,
yang paling hangat dan romantis untuk membaringkan sajak-sajakmu)
namun, kali ini tanggal dua puluh bulan maret. aku sungguh lupa, bahwa isi
kepalaku telah menunggu untuk dikosongkan, sebab kau yang kini serupa
tupai pandai yang gemar melompat ke mata pena mana saja,
yang berani menjanjikanmu tulisan-tulisan api. lantas kau begitu nyaman,
dan juga tampan, ketika aku memutuskan tak hendak bergerak, di hadapan
tulisan yang entah mengapa dengan sendirinya berhimpun menjadi lembar-lembar
sarat makna di atas meja kerjamu yang sejak semula berdebu, diikat mati oleh
pesonamu, dan pasrah digantung terbalik pada sudut tertinggi dari almari
cokelat pekat di kamar nomor
101 itu. kamar yang bagiku memiliki bau tak sedap, persis kumpulan
kenangan yang melulu ditimbun bertahun-tahun. mereka hanya bisa
melirih, barangkali hanya menunggu sabar untuk diabadikan, atau pada
akhirnya sekadar dibuang melintasi kaca jendela yang sedang menganga lebar.
kaca jendela yang bermeditasi ringan demi mengatasi suatu ketinggian
: ketinggian yang sering kali lupa memohon berkat 
kau tiada pernah tahu, di barat sana, kulat-kulat raksasa sibuk menumpang pada
langit yang nampak terlalu lentur dan hijau, dengan sobekan-sobekan
warna cokelat, yang tak lagi kukenal dari malam kota jakarta yang paling kusukai.
ya, kota ini sepenuhnya tak lagi dapat berangin karenamu, dan aku hanya kembali
giat mencatat segala yang menurutmu mustahil. di antara jarak, yang dulu
pernah menjauhkan sekaligus mendekatkan
hubungan kita.

2013

KATEDRAL, 4
         ; St. Faustina

Maka kau perlu tahu,
Faustina
Puisi-puisi ini takkan lagi bangkit dan bernyanyi
Membangunkanmu. Sebagai isyarat, di tepi jurang matimu. Malam ini setiap

Lubang mimpi akan lebih dicermati, sepanjang dinding suci Katedral. 
    — Tuhan belum tiba
Faustina. Sayap burung-burung gereja telah berdarah, 
Memeluk rumah. Dengan beribu penghuni 
Yang berdosa. Menunggu seluruhnya dijanjikan ke 
Udara. 

Surga

Hingga terbukalah lautan pagi yang mereka 
Kasihi. Lautan pagi yang melarutkan 
Aroma lonceng gereja.

Nantikanlah, kala itu Doa Malaikat Tuhan* bergema,

Doa Malaikat Tuhan kian bergema

Bagi jiwa-jiwa sengsara.

2016

* Doa Malaikat Tuhan (Angelus Domini nuntiavit Mariae): salah satu devosi untuk menghormati penjelmaan Tuhan menjadi manusia, dan didoakan tiga kali dalam sehari, pada pagi, siang, dan sore hari, ketika lonceng dibunyikan.


Faustina Hanna, lahir di Jakarta, 5 April 1987. Penikmat seni-budaya dan kearifan lokal. Sehari-hari bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, dan menekuni dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya terbit di Republika, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, Lombok Post, Bali Post, Tribun Bali, Nusa Bali, Pos Bali, Pos Kupang, Radar Cirebon, Radar Lampung, Radar Mojokerto, borobudurwriters.id (Borobudur Writers & Cultural Festival), magrib.id, berandanegeri.com, beritabaru.co, Cerita Net.