Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Saifa Abidillah

Sajak-sajak Saifa Abidillah: Kuil Kecil



Kuil Kecil 

/I/
Aku mengapung di air tenang
pada danau musim panas. 

Tak ada hari dilalui
dengan tergesa,
semua hari adalah biji mata
yang menggoda. 

Kau hidup di jantungku:
jantung kecil setenang
kening alam semesta.

—Bangun pagi,
membunyikan kentongan
dan berdoa pada Buddha.

—Mengelus kucing,
memberi makan ikan
dan ayam jantan
merah kesumba. 

—Mendayung perahu
ke sisi pintu
bergambar dewa rawa,
tak jauh dari pohon
keheningan.

—Mencari ramuan tumbuhan
di hutan perjumpaan.

—Mengintip hal janggal
pada tingkah bikkhu kecil
di tepi sungai dangkal
yang penuh batu terjal.   

(bikkhu kecil yang melerai
kesendirianmu yang menjuntai).

Kau menggeleng ketika
dengan sengaja  
seekor ikan, katak dan ular
mati dijerat tali
dan batu kali.    

Kau menggeleng ketika 
segalanya menjadi mungkin
pada tangan bikkhu kecil
yang nakal.  

/II/
Hanya pada tubuhku,
kau menyimpan Kitab Suci
pada laci—tak jauh
dari tubuh patung Buddha
yang purba.      

Hanya pada tubuhku,
kau meyakini bahwa nakal
berasal dari kata akal
yang terjungkal. 

Bahwa karma—senggama
menyalahi darma
yang derma.

Uh pada batu,
ih pada perahu  
auh pada rayu mata
yang manja.

/III/
Setelah kembali dari murka
kau hukum bikkhu kecil itu
dengan amuk doa
pada Buddha.  

Kau tulis ratusan kata
pada beranda wajahku
mungkin kutuk,
mungkin juga depak
yang tak bijak.     

Bikkhu kecil itu mencungkil
dengan pisau getir
dan rasa bersalah yang lebih.     

Bahwa yang semestinya
harus terjadi.    

Bahwa karma—senggama 
menyalahi darma
yang derma. 

Bahwa cinta berahi
menyalahi imaji suci
dan tapa
seratus purnama
yang percuma. 

Kutub, 2018

Samanera Muda

Di dekat lonceng logam yang tergantung itu,
di kuil suci para pertapa       
kupahat setiap tetes gerimis di halaman candi  

Telaga tumbuh bagai suara yang tumbuh
kepalaku mencair, batu-batu di bibirku
menjelma sungai-sungai yang mendekati samudera
mendekati cakrawala tanpa peta    

Setiap tatapan matanya yang teduh   
kutemukan letup suara Tuhanku 
merayap pelan menyentuh hitam rambutku    
yang tiba-tiba biru dan berdebu 

Tak ada bara api, tak ada kawah yang tengadah
mencabiki langit sendiri,
mencabiki mata sepi yang renta   

Semoga dan semoga kita bahagia   
musuh-musuh kita
alam hantu yang purba dan jingga di mata kita

Buah tak akan jatuh
jika kita tak menanam pohonnya
Petik dan makanlah
Begitulah Buddha mengajari

Kita boleh tak meyakini atau meyakini  
Samanera berkata, sebagaimana Tuhan bersabda  
Tidak dalam kenangan masa lalu
atau bayangan masa depan yang melenyapkan

hembusan nafas keheningan
dipejam mata, di dalam samadi,
pada jiwa yang sendiri menempa udara
dan suara-suara di luar jendela             

Kutub, 2014-2015 

Kapilawastu

Sakyamuni telah lahir
sedang matahari terus menyala dan meninggi
Duh Kapilawastu,
Kapilawastu yang damai 

Orang-orang tuli dan bisu,
telah berujar
tak henti menerka hari esok dan lusa 

Orang-orang buta dan lumpuh,
melonjak, hendak menemuimu.  
Ingin segera terlepas,
terbebas dari kegelapan matanya yang buta. 

Di penjara,
rantai-rantai tawanan rapuh 
taring seringala –teduh  
api-neraka musnah,
semua karena kau

Tak ada lagi yang bangkit
sebagai hantu
Dunia adalah gemuruh tanpa suara
Nyala-api yang ramah
bara-cinta yang utuh dan bijaksana

Duh Kapilawastu,
Kapilawastu yang indah    
kami mencintaimu
tanpa tanda dan bahasa

Kutub, 2014

O, Shang Ti

Jika pun aku mati hari ini
kau tak akan melihat darahku
kata-katamu membuatku
kehilangan makna dan tujuan hidup

hari-hariku yang pucat
seperti hanya hari yang terus pekat
bangku-bangku di taman itu telah kaku,
tangga-tangga di fakultas itu telah bisu 

aku telah benar-benar kehilanganmu
oh kesedihan yang bagaimanakah ini?
seluruh duka cinta manusia
seperti menyatu dalam diriku 

warna-warna langit dan bumi
telah pudar
telaga telah menjelma sungai
sungai telah menjelma samudera   

disitulah aku bercerai denganmu
kita terpisah di belahan dunia yang lain
kau tak mau mengingatku, 
sedang aku terus memelukmu di sini 

O Shang Ti. Shang Ti yang bijaksana 
katakanlah, hidup ini sebenarnya
bukan terpantul dari dua warna yang berbeda
kelabu atau biru tua

aku mencintai ia yang tak mencintaiku
seluruh kesedihanku
terpancar dari ketulusan dan keluguanku
pada hidup dan nasib

lihatlah suara berpuluh-puluh burung
tak mampu menghiburku  
juga keramaian orang-orang kota
tak mampu membuatku terjaga
bagaimanakah, bagaimanakah ini Shang Ti?

Kutub, 2015

Whirling Dervish

Kulipat tanganku dengan khidmat
berharap rahmat, jagad yang gelap 
bersahabat dengan ruhku

Mataku menjadi satu 
Setelah merunduk kepada tuan guru 
dipusat suara dan sembilu

Merekahlah tangan dan jiwaku 
Seperti bunga-bunga salju 
ke langit dan ke bumi yang ungu

Menyangkal waktu
Matahari-rindu
dengan cinta yang dungu

Lihatlah, kusanggul batu nisan dirambutku
Hitam kematian didadaku 
warna putih yang suci pada jubahku 

Menyembul pada udara 
Melingkar-lingkar mabuk khusuk
kepusat alam-semesta yang lesu

Oh, saudara yang menetaskan airmata
Betapa kita tidak berdaya
dengan suara, musik yang sendu

Alam-pikiran yang buntu,
Diri yang pilu oleh rindu  
cinta yang utuh dan menyala

Pada kata-kata  
Pada rima yang lebih
pada puisi yang tak pernah mati

Ketika ditangisi
Ketika diziarahi
pada lembar-lembar syair al-Busyiri

Yang penuh telaga,
Penuh sungai yang jernih
pada mata-kaki yang kelabu

seperti aku, seperti kau
yang risau akan lidah pisau
dan ranjau yang memukau-mukau

maka menarilah, menari
dengan tuak-anggur
yang subur membentur-bentur

tak tersisa, tak tersisa lagi mata
hingga aku, juga kau menjadi nada
pada puisi abadi yang gila  

Kutub, 2015


Saifa Abidillah, seorang pemuda tampan yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Mainmain, Jurusan Managemen Konflik Perdapuran. Buku puisinya terbit bulan ini di Penerbit Basabasi (Kuil Bawah Laut).


Beritabaru.co menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke [email protected] beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word.