Riza Annisa: Antara Pandemi dan Strategi Kendalikan Inflasi
Berita Baru, Tokoh – Pandemi covid-19 memiliki dampak multidimensi. Tidak saja aspek kesehatan yang berantakan karenanya, tetapi juga pendidikan, sosial, hingga ekonomi.
Namun, setelah satu tahun lebih kita melewatinya, ternyata hikmah yang terselip di dalamnya juga tidak tunggal. Di samping telah mengajarkan kita membedakan antara esensi dan bungkus, pandemi terbukti berhasil mengontrol inflasi.
Seperti yang disampaikan Riza Annisa peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam #Bercerita Beritabaru.co pada Selasa (20/4), saat menjelang ramadan dan lebaran tahun lalu tingkat inflasi lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Ini bisa terjadi, ungkap Riza, sebab pendapatan masyarakat anjlok akibat pandemi dan daya konsumsinya pun rendah, sehingga mereka harus ekstra hati-hati dalam mengeluarkan uang.
Di waktu yang sama, rendahnya konsumsi masyarakat menunjukkan rendahnya permintaan (demand). Akibatnya, meski menjelang ramadan dan lebaran pun—yang biasanya waktu tersebut adalah langganan adanya kenaikan inflasi—permintaan di lapangan masih standar, dalam arti tidak sampai jauh di atas penawaran (supply).
“Dan jika keduanya masih seimbang, permintaan tidak lebih tinggi dari penawaran, maka tingkat inflasi masih bisa dikontrol. Tahun lalu, yang terjadi adalah seperti itu, sehingga tingkat inflasinya kecil,” kata Riza dalam acara yang dipandu oleh Sarah Monica ini.
Lima hal yang pemerintah harus melakukannya
Meski demikian, pemerintah tetap harus memiliki kontrol atas inflasi dan sebisa mungkin kuasa atas harga tidak jatuh di tangan kartel. Riza mengungkap lima (5) hal yang bisa dilakukan pemerintah demi kepentingan tersebut, yaitu memperbaiki rantai distribusi, selalu memantau harga di pasar, menjaga ketersediaan pasokan, menghindari ketergantungan pada impor sekaligus meningkatkan produksi dalam negeri, dan menjamin keterbukaan akses informasi terkait ketersediaan pangan nasional.
Untuk poin keempat secara khusus berhubungan dengan strategi halus agar peningkatan inflasi bisa dikontrol. Sebab jika soal stok pangan, kita bergantung pada luar negeri, maka semisal tiba-tiba—entah karena memburuknya diplomasi atau lainnya—mereka memutus pasokan, dampaknya jelas pada inflasi. Akibatnya, upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri melalui mekanisme ketahanan pangan mutlak dibutuhkan, begitu ujar Riza.
Sebagai langkah awal, kita perlu membangun dulu semacam sistem informasi ketersediaan pangan, sehingga kita bisa tahu komoditas apa yang berlangganan mengalami kenaikan harga setiap tahunnya. Lantas, ketika sudah memiliki catatan tersebut, kita memikirkan bagaimana agar stok komoditas tadi—seperti daging sapi dan bawang putih yang setiap tahunnya selalu naik—bisa tersedia.
“Nah, ketika sudah tahu celahnya demikian, maka di situlah pemerintah harus membangun ruang kolaborasi dengan swasta untuk pemenuhan stok kebutuhan setiap menjelang ramadan atau lebaran. Jadi, jika begini, kita kan tidak harus impor,” ungkap perempuan yang selalu menekankan pentingnya belanja secara bijak ini.
Di sisi lain, keterbukaan informasi ketersediaan pangan untuk umum memang berpotensi akan dimanfaatkan oleh pihak rente dan kartel dengan cara penimbunan dan semacamnya. Namun, jika pemerintah bisa tegas dan mau membangun ruang kolaborasi dengan pihak swasta, termasuk memastikan adanya ketersediaan gudang tambahan, maka yang terjadi bisa sebaliknya. Dalam arti, sistem ini akan malah menekan pergerakan rente dan kartel.