Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Zawawi

Zawawi Imron dan Nyanyian para Penyadap Nira



Berita Baru, Tokoh – Alam adalah puisi dengan gerakannya. Dengan segala keputusan-keputusannya. Siulan para penyadap nira di sore hari yang menggema ke kaki bukit, gerak ilalang, daun-daun, deras air sungai, anak-anak yang mandi di telaga, hingga seliweran capung, semuanya adalah orkestra alam.   

“Bunyi-bunyi itu terdengar seperti puisi-puisi tanpa bahasa buatku. Mereka adalah misteri yang hidup, yang tak terbendung, dan tak terbahasakan!”

Itulah kurang lebih yang Zawawi Imron gambarkan ketika bicara tentang roh yang mendasari dan hidup dalam puisi-puisinya dalam gelar wicara Bercerita ke-86 Beritabaru.co pada Selasa (1/3).

Zawawi menuturkan, yang menginspirasi puisi-puisinya adalah alam di kampung tempat ia dibesarkan, seperti langgar dengan para santri yang mengaji di dekat rumahnya, bukit dan pohon di sekitar, langit biru dan awan melintas, hingga pengalaman mandi di telaga kecil tidak jauh dari kampungnya.

“Aku kerap mandi di telaga dekat rumah dengan diameter 3-4 meter. Airnya jernis. Dan biasanya aku lama di situ sambil mengamati capung berwarna merah dan ungu yang berseliweran dan lantas menyentuhkan kakinya ke air telaga,” jelas Zawawi.

“Dan inikan semuanya menginspirasi,” imbuhnya dalam diskusi yang ditemani Sarah Monica, host kenamaan Beritabaru.co.

Puisi lahir dari alam dan karenanya harus untuk alam. Zawawi berpandangan, puisi yang bagus adalah puisi yang memihak pada kemanusiaan, masa depan, kemajuan, dan peradaban.

Bentuk default puisi adalah kemanusiaan itu sendiri, keseimbangan, dan sebab itulah, sastra tidak akan memiliki daya rusak. Susunan-susunan kata yang berdaya rusak bukanlah puisi.

“Puisi adalah suara terdalam dari manusia, jadi kalau hanya ingin merusak, manusia tidak butuh sastra, tapi ya misuh saja,” ungkapnya.

Untuk kasus kemajuan, Zawawi menyebutkan bahwa hal itu berkaitan dengan proses kreatif dalam melahirkan puisi.

Proses kreatif berbeda dengan apa itu yang populer dengan istilah rumitisasi. Kreativitas adalah kerja penemuan. Untuk menemukan diksi baru, kata baru, bentuk baru, hingga keindahan baru.

Di waktu bersamaan, yang baru inilah yang nantinya berpotensi besar menggiring manusia untuk menjadi kemajuan.

“Kreativitas ini adalah lambang kemajuan daya pikir dan daya rasa manusia. Jadi puisi adalah kemajuan,” tutur Zawawi dalam podcast bertemakan Peran Puisi dalam bagi Peradaban Kemanusiaan ini.

Puisi untuk masa depan dan masa depan puisi

Pada satu sisi, puisi adalah untuk masa depan, untuk kemajuan, namun apakah puisi memiliki masa depan?

Zawawi tegas dalam merespons pertanyaan ini. Ia bilang, puisi akan selalu relevan, sesederhana para orang tua yang tidak akan memberi anaknya nama-nama yang buruk.

Nama adalah puisi. Orang tua akan selalu memilihkan nama dengan diksi dan makna yang indah untuk anaknya, kata Zawawi, dan ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa puisi masih dan akan terus relevan.

“Bahkan ketika ada yang tidak bisa mencari nama indah buat anaknya, mereka akan secara tidak sungkan meminta bantuan orang-orang yang dianggap mampu. Ada upaya untuk melahirkan puisi di sini,” jelasnya.

Zawawi mengibaratkan, jika pada masa lalu puisi itu krusial, maka di masa modern ini—yang notabene manusia lebih cenderung mengabaikan spiritualitas—ia tentu lebih dibutuhkan.

“Intinya, selagi orang masih butuh kalimat indah, yang menginspirasi, yang menghargai kehidupan, yang bisa mengajak orang pada kebaikan, mengajak orang berpikir positif, tentu saja sastra dibutuhkan,” kata Zawawi.

Jalan panjang menjadi (ber)makna

Dalam gelar wicara yang ditayangkan secara langsung melalui Instagram Beritabaruco ini, Zawawi juga berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya.

Ia mengaku bahwa dirinya tidak pernah sebelumnya percaya bahwa puisinya bagus.

Ia hanya anak jebolan Sekolah Rakyat (SR) yang kemudian pergi ke Banyuwangi sebagai penjaga hutan dan lantas memutuskan untuk ke kota menjadi pembungkus sabun di pabrik milik Cina.

Beberapa bulan merantau, ia jengah. Ia akhirnya kembali ke Madura dan menjadi santri.  

Di pondoknya, salah satu kegiatan yang sering dilakukan adalah membuat puisi. Sebagai santri, ia tidak bisa tidak harus ikut kegiatan dan menyusun puisi untuk dinilai oleh guru.

Puisi pertama yang Zawawi buat dianggap jelek oleh sang guru. Ia sempat enggan untuk berpuisi lagi sampai ia menemukan strategi agar puisi gubahannya tidak bisa dinilai sang guru.

Ia menulis puisinya dengan bahasa Indonesia! Guru yang menilai tidak bisa bahasa Indonesia. Akibatnya, puisi-puisi yang ia karang menjadi anti-peluru. Ia mendapatkan kebebasan dalam menulis.

Dari situ, Zawawi menulis dan terus mengarang puisi. Ia melahirkan puisi bukan karena apa pun melainkan sekadar ingin menulis.

“Dari sini, akhirnya menulis menjadi ekspresi batin. Aku menulis apa saja dan tujuannya untuk menulis saja. Tidak ada itu istilah ingin dimuat di mana begitu. Ya bagaimana ya, namanya anak desa. Akses ke majalah atau apa sangat terbatas,” tegasnya.

Intensi Zawawi yang sedemikian itu rupanya berdampak pada karakter dan roh dalam puisinya. Melalui kebebasannya dalam mengarang, Zawawi menemukan apa itu yang ia sebut kejujuran nurani dan getaran keindahan.

“Iya, getar keindahan. Aku suka keindahan. Sampai sekarang. Setiap bunga yang kulihat indah kan tidak harus kupetik,” ungkapnya.

Ini semua Zawawi rasakan, hingga akhirnya salah satu temannya mendorong agar puisinya dikirim ke koran.

Ia tetap menolak dengan dalih bahwa tulisannya jelek. Tapi temannya memaksa dengan bersedia mengetikkan puisinya untuk kemudian dikirim.

Zawawi menyerah. Ia mengirim puisinya ke koran dan diterima. “Pertama kali diterima, rasanya telinga ini mekar, rasanya senang. Kali pertama terbit di koran Mingguan Birawa Surabaya,” katanya.

Meski demikian, Zawawi masih merasa bahwa puisinya jelek, hingga sampailah pada peristiwa ketika puisinya yang berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang” menginspirasi Garin Nugroho dalam filmnya dengan judul yang sama.

“Ya baru ketika puisiku dijadikan judul film oleh Garin Nugroho, aku bisa yakin kalau puisiku ada yang bagus,” jelas Zawawi sambil terkekeh.