Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Korupsi

Praswad Nugraha, Penanganan Korupsi, dan Akal Sehat yang Terinjak Berkali-kali



Beritabaru, Jakarta – Pada 17 oktober 2019, Undang-undang (UU) No. 19 tahun 2019 resmi menggantikan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Isu tentang penggantian ini memicu banyak demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia dan bahkan memakan tidak sedikit korban. Beberapa darinya adalah Yusuf Kardawi dan Randi.

Untuk mengenang keberanian mereka mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang dilemahkan kala itu melalui revisi UU, nama keduanya diabadikan sebagai nama salah satu gedung penting di Kantor KPK.

Untuk KPK sendiri, sebagaimana dijelaskan Moch. Praswad Nugraha Penyidik kasus Bantuan Sosial (Bansos) KPK, revisi tersebut telah merenggut independensi KPK dalam menangani korupsi.

“Sebab dengan adanya penggantian ini, status kita beralih dari penyelenggara negara, pejabat negara, dan penyidik menjadi ASN,” ungkap Praswad.  

“Akibatnya, posisi kita yang mulanya di luar eksekutif, sekarang menjadi eksekutif,” imbuhnya dalam gelar wicara Bercerita ke-66 Beritabaru.co, Selasa (28/9).

Akal sehat yang mati berkali-kali

Dalam diskusi yang ditemani oleh Aulina Umaza ini, Praswad dengan tegas menyebut bahwa revisi UU di atas adalah bagian kecil dari upaya pihak tertentu untuk melemahkan KPK.

Puncaknya adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang oleh berbagai pihak direspons secara satire sebagai Gerakan 30 September TWK (G30STWK).

Melalui tes ini, yang Praswad menyebutnya sebagai operasi penyingkiran dengan dalih menjalankan UU No. 19 tahun 2019, sebanyak lima puluh tujuh (57) anggota KPK dipecat, termasuk Praswad.

Alasan pemecatannya simpel, yakni tidak lulus TWK padahal, Praswad menegaskan, dari total yang dipecat ini, ada yang belasan tahun sudah mengabdi pada negara, bahkan puluhan tahun.

“Pak Damanik itu kurang lama apa coba mengabdi pada negara. Beliau puluhan tahun mengabdi, tapi tiba-tiba dipecat sekadar karena tes TWK yang hanya 15 menit,” paparnya.

Dari sini, Praswad menyayangkan bahwa tidak ada yang masuk akal dalam tes TWK, yang sebab itu layak dianggap sebagai operasi TWK, bahasanya Praswad.  

“Coba kita pikirkan, masak iya mengabdi puluhan tahun, kemudian diklaim tidak sesuai Pancasila hanya karena 15 menit. Puluhan tahun dibandingkan dengan beberapa menit,” tegas alumnus Universitas Padjajaran ini dengan geram.

Dari sisi lain, menurut Praswad pemecatan ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ia mengutip penggolongan ini dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Asumsinya, 57 yang dipecat dari KPK bukanlah sekadar angka, tetapi manusia, sehingga memecat mereka dengan alasan yang tidak masuk akal sama halnya dengan merenggut hak mereka untuk hidup.

“Ketika kita bilang bahwa ini pelanggaran HAM, mereka bilang, itu kan menurut Komnas HAM. Di sini saya jelas kecewa, kalau bicara HAM, yang punya otoritas kan Komnas HAM, bukan yang lain, bahkan presiden pun tidak,” tegasnya.

“Jadi, rasanya akal sehat kita itu direndahkan serendah-rendahnya. Dianggap melanggar HAM, mereka tidak terima. Alasannya itu kan versi Komnas HAM. Kan lucu,” imbuhnya.  

Ditemani teror setiap hari

Praswad Nugraha dalam kesempatan ini bercerita juga tentang bagaimana teror adalah kudapan sehari-harinya sebagai penyidik KPK, khususnya ketika sedang menangani kasus Bansos.  

Teror yang diterima, kata Praswad, beragam. Setiap anggota menerima teror yang berbeda-beda. Sebagian diteror secara fisik seperti Novel Baswedan, sebagian melalui keluarganya, dan sebagian lagi melalui pelaporan kode etik, hingga pemangkasan gaji.

Praswad mengaku, dirinya lebih sering merasakan dua terakhir. Ketika tugas menangani kasus Bansos, gaji Praswad dipotong. Alasannya pun tidak jelas.

Saat sedang proses penanganan pun, Praswad dilaporkan ke bagian kode etik karena ucapan yang tidak pantas selama proses persidangan. Bagi Praswad, ini murni agar penyidikannya pada Bansos berhenti.

“Kenapa? Soalnya semuanya tidak masuk akal. Dalam aturan, ketika sedang berada di tengah tugas penyidikan dan persidangan, seseorang tidak bisa dilaporkan dengan kasus lain. Bisa diurus, tapi menunggu tugasnya selesai,” jelasnya.

Lha ini, saya masih di tengah tugas, tiba-tiba dilaporkan. Kan ini tidak masuk akal juga. Jadi, jelas bahwa ini adalah teror agar saya dan teman-teman berhenti mengulik kasus Bansos,” imbuhnya.

Itu menjadi masuk akal sebab kasus Bansos yang diselidiki Praswad adalah kasus megakorupsi. Untuk ukuran Jabodetabek saja, ungkap Praswad, nilainya mencapai 6,4 T.

Jadi, ketika Praswad mencoba merangsek masuk untuk mengulik, masa depan Praswad di KPK, bahkan nyawanya, adalah taruhan.

“Iya. Begitulah. Setiap pagi ketika saya keluar dari pintu rumah, saya selalu membayangkan bahwa saya belum tentu bisa kembali lagi ke rumah dengan selamat,” ujarnya.    

Teror adalah keseharian bagi Praswad dan 56 teman lainnya di KPK, sehingga ketika mereka resmi dipecat hanya karena TWK, mereka tidak kaget.

“Ya bagaimana lagi ya. Ini adalah risiko yang harus kami terima untuk Indonesia bebas Korupsi. Dan yang jelas kami sudah biasalah dengan hal seperti ini,” ungkap Praswad.