Pradaksina | Puisi-Puisi Gilang Perdana
Pradaksina
1
tetapi di wajahmu, relief
ditatah dalam semalam
masa depan meraba murung
dengan perasaan tenang
percaya, bahwa anggukan
adalah bahasa yang anggun
seperti sebotol sajak
dituangkan pelan-pelan
ke ceruk waktu yang retak
& nyaris pecah
2
detik yang lewat, hanya
menerjemahkan sesal itu
padahal jarum jam, tak
meminta untuk dimengerti
kenapa ia mondar-mandir
di selasar sengal napas
seperti gerak bayangan
terbungkus senjakala
menunggu sebongkah kata
remuk, lalu merembah
3
siapa harus menunggu
di dasar jurang tanya?
kau menghitung langkah
yang dilupakan kakimu
aku mengulur-ulur debar
yang tinggal sengguknya
sampai tak ada lagi ragu
yang bisa kita catatkan
hingga lelah jadi semisal
tafsir yang saling kejar
Nun
1
kita masih sepasang tanya
berenangan di akuarium kecil
yang dilupakan pemiliknya
sampai waktu kian mengering
& nasib masih begitu sungkan
mengembalikan duka ke lautan
2
tak ada lagi jerit kelelawar
ia telah menemukan malam
yang dulu kita sembunyikan
ia mengenakannya ke perayaan
sambil mengenang lisut geladak
teriak lonceng & geliat kabut
3
yang tak sempat kujawab dulu
kaugeletakkan begitu saja
seperti hidup yang sia-sia
aku merawatnya sejak kau pergi
supaya kita bisa menyesali
wangi dari biji-biji kana
4
malam terbangun di keningmu
menyusul teriakan Yunus
yang tinggal kecipaknya
menyebelahi dengkur kucing
yang rapat-ritmis, mengurapi
mimpi dengan dongengan
Rukmini
1
malam di keningmu sepanas kobaran waktu
masa lalu adalah percikan cerita yang hangus
dia yang meniti ketakutan di wajahmu itu tahu
bahwa cinta & maut punya raut yang berbeda
2
alur hujan pecah, ketika usia beranjak sirna
seperti dinding batu bata merah tak berpintu
— kekasih, kita mengitarinya bukan mencari
jalan masuk, tetapi mengunci perasaan takut
3
menjelma tarian yang hampir usai: lintuh itu
anak-anak waktu; ingatanmu berlayar mengejar
gending yang angslup, namun hanya maut itu
memang tak ingin sampai ke telinga siapapun
4
meski tampak langit tak sebiru rindu, telah
kita pugar jarak yang begitu rapat menyimpan
rahasia dari nama-nama kita, sebelum dimulai
pengembaraan baru: debar yang belum tentu
Sri
1
telah dimulai pengembaraan. Demi
semungkin kemungkinan, geletar
& nyeri menjalar tiap kali Sri
menjebol pintu pagi yang beku. Aku
arca yang lepas kepalanya. Mantra
dari orang-orang suci menyambung
ingatan yang diputus nasib buruk
dengan pisau bermata Rahim
di tingkap kuil, santun yang ditukar
dengan terima kasih menakar kisah
& mengampuni bahasa lupa
: entah dari siapa, & mengapa
2
Sri, dari panggung-panggung waktu
ribuan burung merak menyerbu
hutan-hutan di luar kuil. Purnama
yang pudar — matamu yang aku
: saksi kavaleri-kavaleri yang tumbuh
sebagai akar setajam pedang, &
menghunjam jantung sukma seorang
petapa yang khusyuk terbaring
tapi kita tak menangkap apa-apa, Sri
selain tanda tanya yang meregang
lengkungnya — sejauh purnama
yang jadi santapan Kala
Di Kamar Pengantin
1
kelak harus tanggal semuanya
sampai kata benar-benar telanjang
& tersingkap seluruh luka, pada
huruf yang menyusun pelukan kita
2
surga tak sejauh yang kita kira
ia di bumi ini, melata & mendesis
menunggu bait-bait panjang lengah
mengasah taring di bawah kasur kita
3
dinding & langit kamar — masa lalu
yang menolak sentuhan gema suara
bahkan jika tangis itu ada, ia beku
seperti pertanyaan di luar pintu
4
ketukan itu, yang tak pernah sampai
ke telinga kita — ia hanya mengutuki
dirinya sendiri sebagai sajak gelap
yang tak tersentuh tafsir siapapun
Rhythm 0
1
setelah cermin ini pecah, wajah siapa
yang akan kaupungut? kepingan di lantai
adalah ketakutanmu sendiri, menjelma
wajah-wajah dari masa lalu. Kemarin
& hari-hari yang tak ingin kaulalui
dengan lengannya yang teramat tajam
telah lama menunggumu — pelukannya
hanyalah luka yang tak perlu kauobati
2
sebab selain setangkai mawar, sisir
atau rambutmu sendiri — sebuah ciuman
yang ragu-ragu, teramat bisa melukaimu
maka kenakanlah wajah paling rahasia
: takut yang tak dikenali semua cermin
3
& cinta, jadi satu-satunya niscaya
meski tak kautemukan di kamar ini
atau di tempat diturunkannya firman
hanya bisa kauhidu wangi angin
masih berdiri monumen-monumen itu
yang menggantung rasa percayamu
tembok-tembok mewariskan bahasa
& tak seorang pun mampu menuturkannya
sampai kau melewatkanku sebagai kelebat
yang pernah tersesat di riap rambutmu
4
sementara jejakmu terus merawat kaki
& langkahku, perjalanan kita belum
usai. jarak masih melambungkan usia
namun kesunyian pecah di mana-mana
bunyinya seperti gemeletuk tanya
tergelincir ke jurang-jurang bahasa
5
tetapi perih mana lagi yang kauseret?
kesedihan berserakan di sepanjang sajak
aku memungutinya; luka demi melupakanmu
tak termaknai oleh kata-kata, tetapi
dipaksa menjadi sejarah
6
wajahmu adalah kitab-kitab terbuka
meski tak dibaca, huruf-hurufnya
bertamasya ke penjuru-penjuru kata
mencari yang tak tampak di matamu
7
sebelum maut tinggal ketukan
& kita tinggal bayang-bayang, di luar
hanya gerumbul merah penyesalan
Gilang Perdana Lahir di Solo, November 1987. Alumnus Ilmu Sejarah. Menulis dan menerjemahkan puisi setelah pulang kerja sebagai laborat di pabrik mainan. Akun Instagramnya @narasibulanmerah