Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pawang Hujan dan Bagaimana Memahaminya
sumber gambar: dunia santri

Pawang Hujan dan Bagaimana Memahaminya



Siti Khoiriyah


Akhir ini, semua mata tertuju pada gelaran Moto GP di Mandalika. Mulai dari kejadian-kejadian tragis, seperti terjatuhnya Marc Marquez pembalap asal Spanyol di laga, hingga tingkah lucu para pembalap Moto GP di Mandalika yang membuat warga Indonesia terpanah dan terkesima. Selain itu, tak kalah hebohnya, dan bahkan menjadi sorotan di berbagai media adalah aksi pawang hujan yang akrab disapa Mbak Rara di medan laga.

Rara Istiani Wulandari menuai kritikan dan pujian dari berbagai pihak atas aksi pengendaliannya mengelola hujan agar tidak turun di medan laga Moto GP. Nyinyiran yang dilontarkan warganet bernada sinis dan beberapa mengaitkannya dengan urusan kebudayaan yang dangkal dalam helatan international. Celoteh warganet pun berbanding lurus atau bahkan berbanding terbalik lebih baik dengan apresiasi yang diberikan oleh media international, atau bahkan penyelenggara itu sendiri yakni Moto GP, seperti pada unggahan akun media sosialnya.

Upaya Mbak Rara dalam mengendalikan hujan melalui mawang udan dan menjadi pawang hujan beberapa hari lalu mengajarkan kepada kita arti sebuah kebudayaan yang bertali dengan alam. Terlepas dari cibiran-cibiran yang ada terkait pawang hujan yang meski gagal menghentikan hujan, tetap bayaran, pawang hujan memiliki jejak baik dalam peradaban bangsa Indonesia. Karena, mau diakui atau tidak setiap ada acara besar baik pernikahan, konser, atau bahkan perhelatan kebudayaan yang di selenggarakan di ruang terbuka – pasti banyak orang Indonesia menggunakan jasa pawang hujan untuk mengondisikan hujan pada hari itu.

Pawang hujan menjadi bagian kearifan lokal Indonesia yang masih eksis hingga kini. Tradisi ini ada di banyak negara lain berabad lalu. Bahkan di Indonesia, istilah pawang hujan ini juga beragam. Kalau di Betawi disebut Dukun Pangkeng, sedangkan bagi masyarakat Bali disebut Nerang Hujan, di Riau disebut Bomoh. Sedangkan bagi masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, pawang hujan disebut Pangngissengang.

Bagaimana seorang pawang hujan berkomunikasi dengan alam? Berdasarkan penelitian yang ada, komunikasi yang terjadi menggunakan gelombang otak Teta. Di mana gelombang otak Teta itulah yang berkomunikasi dengan semesta, dibantu dengan sebuah medium yang bermacam-macam, di antaranya adalah kayu dan asap. Uap dan panas itu lah yang kemudian berhenti di langit menghentikan hujan dengan kekuatan atau ketenangan batin yang sudah dipelajari seorang pawang.

Seperti halnya yang pernah dilontarkan J.G Frazer. Frazer menjelaskan bahwa manusia dalam memecahkan sebuah masalah hidup mereka dengan akal dan sistem pengetahuan, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia ada batasnya. Semakin berkembangnya kebudayaan manusia semakin luas masalah-masalah yang dihadapi dengan begitu batas akal manusia tersebut pun semakin menyempit. Tidak terpecahkannya masalah-masalah oleh akal, manusia pun menggunakan cara lain untuk memecahkan masalah-masalah tersebut yang bersifat ilmu gaib (magic). Magic tersebut dapat dikatakan sebagai suatu yang ada pada ritual dalam bentuk doa dan mantra-mantra yang diucapkan manusia untuk mencapai sesuatu terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib, atas dasar kepercayaan penguasaan terhadap manusia untuk maksud–maksud tertentu. Dari perkembangan demikian timbullah religi yang merupakan sebuah sitem tingkah laku manusia untuk mencapai sesuatu harapan dengan cara menyadarkan diri terhadap kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti dewa-dewa, roh-roh, nenek moyang yang menempati seluruh jagad raya. 

Dengan timbulnya ilmu gaib yang dilakukan oleh manusia dari sebuah ketidaksanggupan manusia untuk memecahkan sebuah masalah yang sama halnya dengan sebuah mitos yang dijadikan sebagai alat pemecah masalah hidup, karena ilmu pengetahuan belum sanggup memecahkannya. Digunakan untuk memberikan eksplanasi ketika orang belum menemukan penjelasan rasional. Sehingga pengetahuan mitologis dapat dikatakan irasional yang menerima penjelasan dituntut untuk percaya begitu saja, misalnya di dalam masyarakat Jawa era tahun 70-an, terutama di pedesaaan orang tua-tua masih percaya bahwa ketika terjadi gerhana bulan mereka harus memukul kentongan secara beramai-ramai agar bulan dapat keluar lagi. Sifat khas pengetahuan mitologis adalah tidak didukung oleh data empiris, sehingga sulit dibuktikan secara objektif. Mitologis (mitos) juga terdapat dalam sebuah ritual yang dilakukan oleh berbagai komunitas tertentu, yang dipercaya oleh mereka secara turun-temurun dari nenek moyang. Sebuah kepercayaan yang terdapat dalam simbol-simbol yang ada pada sebuah ritual tersebut memiliki perbedaan dengan pengetahuan sains dalam mengartikan sebuah simbol. 

Dalam banyak hal sebuah ritual dimaknai sebagai upacara keagaamaan atau semi keagamaan pada suatu komunitas. Menurut Mudjahirin Thohir, ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia kepada yang gaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia kepada lingkungannya. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan, simbol-simbol tersebut mengungkapkan prilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. 

Simbol tersebut memiliki sebuah fungsi utama sebagai suatu cara mempermudah dalam berkomunikasi. Komunikasi manusia tidak hanya dengan sesamanya melainkan juga dengan makhluk di luar dirinya yang bersifat supranatural atau gaib, demi menjaga sebuah keseimbangan dalam alam hidupnya. Menurut Clifford Geertz sebuah makna itu tidak terletak di dalam kepala manusia, melainkan makna dan simbol dimiliki bersama pada setiap komunitas sosial yang sama pula. Sebuah makna dan simbol yang ada di satu komunitas sosial yang satu dengan yang lainnya memiliki makna yang berbeda dalam memaknainya. 

Hubungan manusia kepada yang gaib, seperti ritual pawang hujan pada masyarakat. Ritual pawang hujan sebagai sebuah hubungan manusia kepada yang gaib, dilengkapi dengan menggunakan berbagai benda dan objek-objek sesajen, serta mantra-mantra dalam proses ritual pawang hujan. Dalam proses menjalankan sebuah ritual biasanya manusia itu menghadapi dunia atau alam gaib dengan berbagai perasaan seperti perasaan hormat, takut, kasih atau campuran dari berbagai perasaan-perasaan. Penggunaan benda dan objek-objek lain dalam proses ritual pada setiap kebudayaan yang ada pada setiap manusia memiliki perbedaan dalam memaknai sebuah simbol yang ada. 

Seperti halnya dalam ritual pawang hujan kebudayaan Jawa dan Karo memiliki perbedaan penggunaan benda dan objek lainnya dalam melaksanakan ritual pawang hujan tersebut, serta dalam memaknai sebuah simbol-simbol yang memiliki perbedaan makna dalam memaknainya. Perbedaan tersebut terjadi karena dari dua kebudayaan yang berbeda pula. Maka dari itu telah diuraikan di atas bahwa setiap makna dan simbol tidak akan sama antara setiap kelompok sosial yang ada(Ismi Dara Hasibuan, 2021).

Selain itu, Evi Junalisah (2016) meneliti Peranan Pawang Hujan Dalam Pelaksanaan Pesta Pernikahan Pada Etnis Jawa Di Tinjowan Kecamatan Ujung Padang Kabupaten Simalungun. Penelitian ini menjelaskan bahwa Masyarakat Jawa di Tinjowan masih melakukan beberapa rangkaian tradisi yang mereka percayai dan lakukan sebelum melaksanakan sebuah acara pesta pernikahan. Tradisi tersebut dilakukan agar dijauhkan dari hal-hal yang dapat mengganggu berlangsungnya acara pernikahan. Beberapa hal yang mereka lakukan pada tradisi sebelum acara pesta berlangsung adalah ziarah kubur kepada para leluhur mereka yang telah meninggal sebagai tanda penghormatan, menentukan tanggal dan hari baik untuk melaksankan pesta, dan pencegahan turunnya hujan pada saat pesta berlangsung. Pencegahan turunnya hujan diperlukan peranan seorang pawang yang dapat melakukan ritual pawang hujan tersebut. 

Pada saat melaksanakan tugasnya sebagai seorang pawang hujan, cara yang dilakukan untuk membenteng agar hujan tidak turun, biasanya ada beberapa peralatan atau benda yang diperlukan saat menjalankan tugasnya. Beberapa peralatan atau benda yang sering digunakan untuk membenteng hujan yaitu seperti cabe merah, bawang merah yang ditusuk menjadi satu, kemudian ditancapkan di daerah-daerah tertentu yang menjadi simbol bahwa pawang hujan sedang berperan melaksankan tugasnya untuk mencegah hujan tidak turun. Selain itu juga ada pantangan-pantangan bagi keluarga yang akan melaksanakan acara pesta, salah satu pantangan yang sering dilakukan sebagai syarat agar hujan tidak turun adalah dilarang mandi selama tiga hari saat pelaksanaan pesta akan berlangsung sampai acara pesta berakhir. 

Sedangkan Anne Respanda Sepenty Rinal Ashari (2018) juga membahas tentang Nyirep Udan dalam acara pernikahan masyarakat dusun Damarsi, Mojoanyar, Mojokerto melalui tinjauan perspektif teori konstruksi sosial Perter Ludwig Berger dan Thomas Luckman. Penelitian ini menjelaskan bahwa budaya itu sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolik yang berupa kata, benda, sastra lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa startifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan perilaku sosial. 

Terlihat pada saat pelaksanaan pernikahan, orang-orang cenderung tidak bisa lepas dari unsur kebudayaannya. Salah satunya nyirep udan yang tidak pernah tertinggal pada saat pelaksanaan acara penikahan di Dusun Damarsi Mojoanyar Mojokerto. Masyarakat menginginkan agar tidak turunnya hujan ketika hajatan berlangsung. Pelaksaaan nyirep udan harus menyiapkan berupa cok bakal dan sesajen tujuannya untuk meminta berkah, menahan hujan dan menolak musibah kepada arwah leluhur. Keyakinan terhadap tradisi tersebut berfungsi sebagai meminta restu dan doa kepada nenek moyang dan keluarga yang sudah meninggal dunia supaya lancar acara tanpa ada bencana hujan. 

Oleh karena itu semua, pawang hujan telah lama ada dan mendarah daging sebagai aset kebudayaan Indonesia. Akan konyol jikalau kita menertawakan jati diri bangsanya sendiri, jati diri yang melekat pada kebudayaan bangsa, kearifan lokal bangsa yang senantiasa menjadi laku hidup dan laku batin manusia Indonesia.

Pawang hujan pada helatan Moto GP adalah bentuk internasionalisasi kebudayaan Indonesia yang magic dan terbukti bisa diterima oleh berbagai pihak. Terbukti banyak pembalap dan media yang mengapresiasinya. Mbak Rara telah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang magic yang luhur belum tentu kuno dan tak bernilai. Sesuatu yang luhur jika dilestarikan akan memiliki kebijaksanaan dan kemandragunaannya di mata alam semesta dan Tuhan.


Siti Khoriyah, mahasiswi UB yang bergiat dalam kajian sejarah dan kebudayaan.