Ngatinah dan Kelompok Perempuan Berjuang Melawan Ketidakadilan Perusahaan Sawit
Berita Baru, Jakarta – Desa Olak-Olak, Kabupaten Kubu Raya merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Jawa yang bertransmigrasi pada tahun 1985. Penghasilan utama mereka berasal dari hasil bumi yang berupa jagung, nanas, dan juga kelapa.
Hal itu disampaikan oleh Negosiator Perempuan, Ngatinah saat menjadi pembicara pada Webinar International Woman’s Day (IWD) tahun 2022 dengan tajuk Praktik Baik Perjuangan Perempuan Untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia, pada Senin (14/03/2022).
Ngatinah menyampaikan perusahaan kelapa sawit PT Sintang Raya pada tahun 2007 datang ke desanya menawarkan plasma bagi hasil 80 dan 20 persen untuk tanah yang dikelola masyarakat.
“Waktu itu kami menolak, tapi kawan-kawan banyak yang mau, sesepuh kampung pun mau diserahkanlah tanah untuk diplasmakan, waktu itu tanah itu sudah ditanamin jagung, nanas, kelapa, karet, jadi pihak perusahaan itu mengganti rugi tanam tunggu itu berbeda-beda, ada yang Rp500 ribu, Rp700 ribu, dan yang banyak sekali tanamannya cuma 2 juta. Hitungannya ganti buntung,” kata Ngatinah.
Setelah sudah beberapa tahun, lanjut Ngatinah semua tanaman yang ada di lahan plasma tersebut sudah beerbuah, namun hasil dari panen hanya diambil oleh pihak PT Sintang Raya dan tidak membagikan bagi hasilnya.
“Ditunggu lama sampai beberapa tahun, akhirnya kesal warga, kok hanya PT Sintang Raya yang memanen buahnya. Akhirnya, ketika itu kami menyetop PT Sintang Raya untuk memanen, jadi lahan itu tidak dipanen satu tahun lebih. Lepas itu kami ke desa dan ke camat untuk izin mengelola lahan itu. Waktu itu, lahannya terbengkalai tidak dikelola setelah kami menyetop PT Sintang Raya. Setelah kami mengelola, beberapa tahun kemudian PT Sintang Raya muncul lagi untuk meminta tanah itu karena katanya sudah dibeli,” tutur Ngatinah.
Ngatinah menegaskan, alasan dirinya ikut andil penuh dalam proses advokasi melawan perusahaan sawit tersebut adalah untuk memperjuangkan tanah yang merupakan hak dari masyarakat.
“Tanah itu kan tempat kita cari makan, kalau setiap bulan panen jagung, nanas, ada hasilnya, tapi sekarang dikelola PT tidak ada hasilnya. Kalau ada aparat datang bapak-bapak diam semua, ibu-ibu yang maju ke depan. Kalau kita orasi, emak-emak di depan, bapak-bapak di belakang. Kalau ada pertemuan sama PT bapak-bapak andil tapi mereka tidak bisa ngomong, pokoknya iya dan iya, ujung-ujungnya sampai sekarang tidak ada titik terangnya,” katanya.
Menurut Ngatinah, konflik kemudian berlanjut ketika datang masa panen buah di lahan tersebut dan masyarakat ramai-ramai memanen buah. Namun kemudian perusahaan melaporkan masyarakat kepada kepolisian dengan kasus pencurian buah.
“Jadi polisi datang, ramai polisi datang dengan senjata lengkap, penangkapan Pak Ayub sama Pak Ponidi itu kayak teroris. Waktu pak Ponidi pulang kerja, tiba-tiba polisi datang satu kompi dengan senjata lengkap, waktu itu bapak-bapak tidak ada yang berani, malah saya dan Ibu Ruqiyem yang menentang polisi,” katanya.
Ngatinah menceritakan, penangkapan dua orang bernama Ayub dan Ponidi yang dilaporkan mencuri buah di lahan tersebut seperti proses penangkapan teroris. Padahal menurutnya, seharusnya pihak kepolisian tidak hanya menangkap dua orang itu, karena seluruh warga pada saat itu juga ikut memanen buah.
“Jangan kasar begitu, ini bukan teroris, ini kasus apa kok kayak teroris, saya pegang tuh polisi, kalau orang kampung tidak akan lari ia akan bertanggung jawab kalau emang salah, emang itu aparat tugasnya tapi jangan begitu, nangkep kok kayak teroris saya bilang,” terang Ngatinah.