Nazar Jari Tengah | Cerpen: Ade Ubaidil
Sepanjang perjalanan pulang, Badrun mengacungkan jari tengahnya sampai depan pintu rumah. Itu satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk melawan. Ia meyakini bahwa di kantornya, bukan hanya dirinya yang membenci atasannya. Bahkan kalaupun rekan kerjanya tidak mau berterus terang, ia bisa melihat dari cara mereka menyelesaikan pekerjaannya masing-masing.
Setiap kali Badrun berpapasan dengan atasannya, ia seperti ingin memaki tepat di telinga kirinya—karena sebelah kanannya agak budek. Menurut Badrun, atasannya sangat layak dikejar anjing gila sampai kemudian ia bakal berkata, “Aku tak lagi-lagi menyuruh-nyuruh bawahanku di luar tugasnya,” begitu kurang lebih yang ada di dalam kepala Badrun.
Sebagaimana orang jatuh cinta, seseorang akan melakukan apa pun untuk membuat si pujaan hati terkesan. Tapi, ia menemukan sebaliknya. Romli, misalnya. Ia selalu buru-buru menyelesaikan pekerjaan, tanpa ketelitian sesosok malaikat pencatat amal baik dan buruk manusia, lalu lekas ingin segera pulang sampai rumah dan melupakan semua yang telah dilakukannya sejak pukul sembilan pagi hingga lima sore.
“Sampai kapan mau bertahan?” Badrun suatu hari menggodanya.
“Cari kerja susah, Run. Kalau aja ada yang nawarin jadi OB sekalipun, saya bakal terima asal gajinya sama dan bukan di tempat ini,” jawab Romli disertai senyum kecut. Lalu mereka akan bertukar tawa dan kembali bekerja. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menggerutu dan mengacungkan jari tengah sepanjang jalan pulang seperti yang dilakukan Badrun.
“Kenapa wajahmu kau tekuk melulu?” tanya Ros sore itu. “Aku nyaris tak pernah melihatmu bahagia setiap kali pulang bekerja. Ada masalah? Aku siap mendengarkannya kalau Mas mau cerita,” sambungnya lagi, melemparkan pertanyaan saling serobot persis orang-orang yang lupa diri saat melihat barang diskonan—yang padahal harganya sengaja ditinggikan lebih dulu oleh penjual lalu ditulis diskon besar-besaran seolah si penjual bocah polos yang tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya, sialnya, selalu ada banyak orang-orang bodoh yang mau membelinya.
“Harusnya aku terima tawaran kerja di perusahaan teman bapakmu itu. Aku benar-benar tak tahan bekerja di perusahaan saat ini dengan atasan yang keparat,” sesal Badrun. Ia melepas sepatu pantofel dan kaus kakinya lalu bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Ros membersihkan meja makan. Ia sedang memasak beberapa telur ceplok yang nantinya akan disirami kubangan kuah kecap dan irisan cabai; semur telur ceplok namanya, itu masakan kesukaan Badrun.
“Untungnya aku masih berbaik hati. Tak pernah mengumbar dan mengumpat dia di media sosial,” dengus Badrun saat keluar dari kamar mandi. Ia berjalan sembari melepas dasi dan kancing kemejanya.
“Ya, lebih baik jangan, Mas. Sekarang ini apa-apa ada undang-undangnya,” ucap Ros seraya tangannya sibuk mengambil piring dan sendok.
“Iya, lagian buatku media sosial tempatnya berbagi kebahagiaan dan kegembiraan, biarin orang tau kita yang baik-baiknya aja. Jangan suka umbar-umbar aib keluarga. Kamu nggak gitu, kan, Ros?”
“Mana pernah aku bikin status soal aib keluarga, Mas? Aku bikin akun itu juga cuma buat jualan baju aja, lumayan kan buat tambah-tambah.” Ros berjalan mendekat ke arah suaminya.
“Lihat aja, tuh, Si Romli dan Marni, tiap ada masalah, bukannya diobrolin berdua, eh malah saling adu pantun di status masing-masing. Akhirnya orang lain jadi tahu, kan, masalah mereka,” seloroh Badrun sambil menyandarkan punggungnya ke sofa hijau. Dia mencari remote dan setelah ketemu ia segera menyalakan televisi dan mencari saluran berita.
“Bisa jadi karena bosan, Mas. Mereka, kan, sudah sepuluh tahun menikah, bisa aja jenuh, toh?”
“Justru itu jangan sampai nanti terjadi pada kita, mau usia pernikahan berapa pun, semua masalah keluarga harus bisa diselesaikan berdua.”
“Tapi mereka begitu juga karena belum punya anak, kan, Mas?” Ros terpancing.
“Sst, udah-udah, aku mau nonton tivi dulu, nih, siapa tahu ada berita menarik,” Badrun tampak malas dengan obrolan Ros yang terakhir.
Membangun rumah tangga memang tidak pernah mudah. Paling tidak begitu pesan ayah Badrun sehari sebelum pernikahan mereka berlangsung. Saat ini yang membuatnya cemas ialah soal bisa tidaknya ia menghamili Ros. Memang pernikahan mereka baru seumur jagung, tapi ini di luar perkiraan mereka.
Badrun optimis istrinya akan hamil di bulan pertama, atau di bulan kedua. Namun, ketika bulan ketiga sudah sampai ujung tanduk, istrinya belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sudah mah ia dipusingkan urusan kantor, eh ketika sampai rumah ia mesti dibuat kepikiran soal momongan.
“Makan dulu, Mas. Semur telur ceplok kesukaan Mas udah jadi, nih,” tawar Ros.
“Iya nanti, aku belum lapar,” jawab Badrun dengan mata sayu. Ia tampak menahan kantuk sepulang dari kantor. Ros tak mau cerewet. Ia lekas kembali ke dapur untuk mencuci alat masaknya. Setelah beres ia gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Waktu terus berjalan dan tanpa terasa malam telah tiba. Badrun mendengkur di sofa. Televisinya terus menyala. Secepon nasi yang Ros hidangkan di meja telah dingin. Bahkan lauknya yang sengaja ia siapkan tak bergeser barang sesenti dari posisinya semula. Ros baru selesai melaksanakan salat magrib.
Ingin rasanya Ros membangunkan Badrun, tapi ia sungkan. Ia tahu betapa lelahnya menjadi suami yang harus menafkahi keluarganya. Ros mematikan televisi lalu ia kembali ke kamar tidurnya.
***
Badrun terbangun tengah malam setelah ia bermimpi dari lengannya keluar ulat-ulat. Ia tak paham apa maknanya. Yang ia tahu bila bermimpi buruk, di dunia nyata akan bermakna baik dan mimpi baik berarti bakal ada hal buruk yang menimpa.
Tafsir itu ia peroleh dari mendiang neneknya. Suatu hari Nek Marsiyah berkisah tentang Yanah, ibu Badrun. Katanya sebelum ibunya itu menikah, satu bulan sebelumnya Yanah bermimpi kakinya digigit ular. Sewaktu bertanya pada Nek Marsiyah, tanpa melihat primbon lagi, dengan yakin Nek Marsiyah berkata, “Dalam waktu dekat, kau bakal menikah.” Mendapati jawaban itu Yanah gembira bukan main, lantaran teman seusianya sudah menikah semua.
Ucapan Nek Marsiyah itu terbukti tiga bulan kemudian setelah Yanto, seorang anak lurah pulang dari perantauan. Ia baru saja bercerai dari istrinya di kota, dan dengan keyakinan seorang petapa, ia mendatangi Nek Marsiyah—kakek Badrun sudah wafat saat itu—untuk izin melamar Yanah. Nek Marsiyah meyakini inilah jawaban atas mimpi yang dialami putri semata wayangnya itu.
Kisah awal perjumpaan ibu dan ayahnya itu menginspirasi Badrun. Ia lekas duduk tegak dan segera mendapatkan teori; kalau mimpi berlaku hukum kebalikan, bisa jadi hal itu juga berlaku untuk nazar. Bagaimana jika ia bernazar, “Aku bakal berhenti bekerja dan mengacungkan jari tengah ke atasan kalau istriku hamil”? Gagasan itu tiba-tiba saja muncul dalam benaknya. Ia yakin tak ada ruginya. Di jam malam begini, pasti ini ilham, bisikan alam, pikirnya.
Lagi pula, menurutnya mana mungkin Tuhan bakal mengabulkan nazar yang buruk seperti itu? Dan ia paham betul risikonya. Kalau itu nazar dikabulkan, ia juga tidak rugi-rugi amat. Ia malah bakal dapat anak dan bisa mendapatkan pengakuan dari keluarga dan teman-temannya kalau dirinya seorang lelaki sejati yang sudah terbukti keperkasaannya.
Maka malam itu, setelah ia mengucapkan nazarnya, Badrun gegas menuju kamar dan meniduri istrinya seolah itu adalah malam pertama pernikahan mereka.
***
Satu minggu belum ada hasil. Ia masih santai saja dan seperti biasa, buru-buru menyelesaikan tugas kantornya dan pulang dengan mengacungkan jari tengahnya sampai depan pintu rumah. Dan yang hampir lupa diceritakan, ia selalu membayangkan wajah atasannya setiap kali akan mengacungkan jari tengahnya itu.
Malam tiba dan Badrun bersemangat menggauli istrinya lagi yang secara bersamaan dicurigai sang istri kalau suaminya kecanduan obat kuat.
Di hari berikutnya, ketika Badrun pulang dari kantor, Ros berdiri depan pintu. Ia menangis tersedu-sedu membuat suaminya kalap. Padahal, pikir Badrun, gaji bulan ini sudah ia berikan tiga hari sebelumnya. Namun rupanya bukan karena hal itu. Ros menunjukkan sesuatu yang sedari tadi ia genggam dan sembunyikan di balik tubuhnya.
“Aku hamil, Mas,” katanya serak. Badrun melihat test pack yang dipegang Ros menunjukkan tanda dua garis merah. Ros merangkul tubuh Badrun dan tangis sepasang suami-istri itu pecah di teras rumah. Orang-orang yang lewat memalingkan pandangannya sekilas lalu berjalan pergi. Tampak benar mereka sudah pusing dengan masalah hidupnya masing-masing.
Badrun bahagia. Akhirnya doanya dikabulkan Tuhan. Tapi rupanya itu hanya sesaat. Semalaman ia kepikiran soal nazarnya. Bagaimana kalau tidak ia lakukan? Namun ia urung berpikir begitu karena tetangganya di kampung pernah tidak menjalankan nazarnya, keesokan harinya rumah mereka hangus terbakar tanpa sebab yang jelas.
***
Pagi itu tampak berbeda. Badrun berangkat lebih awal ke kantor. Ros hanya paham itu caranya si suami bersyukur atas rezeki yang diberikan Tuhan padanya. Ros sama sekali tidak pernah berpikir bahwa suaminya seceroboh itu.
Setengah jam setelah Badrun sampai kantor, dengan kaki gemetar dan dada yang bergemuruh, ia berjalan menuju ruangan atasannya. Tepat ketika atasannya membolehkan ia masuk, belum ia mengacungkan jari tengahnya, si atasan keburu mengucapkan selamat atas kehamilan istrinya yang ia lihat dari media sosial Ros.
“Akhirnya, ya, Run. Ada gunanya juga burungmu itu,” ucap si atasan berbadan bongsor tertawa santai sembari mengulurkan tangannya. Air muka Badrun seketika tegang. Ia mengepalkan jemarinya dan lekas mengirimkan tinjuan telak tepat di hidung si atasan hingga ia tersungkur.
“Aku keluar, keparat!” Kali ini ia benar-benar mengacungkan jari tengahnya tepat di wajah si atasan yang hidungnya berdarah.
Lampung-Cilegon, 15 Maret 2021
Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Relawan di Rumah Dunia dan penggagas perkumpulan Serikat Anjing Gurun. Buku terbarunya sebuah kumpulan cerpen berjudul, “Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? (2019)”. Arsip tulisan lainnya bisa dilihat di blog pribadinya: www.quadraterz.com. Kini ia aktif mengelola Rumah Baca Garuda.