Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Medsos, Instrumen Milenial dalam Menegakkan Demokrasi
Ilustrasi media sosial(THINKSTOCKS/IPOPBA)

Medsos, Instrumen Milenial dalam Menegakkan Demokrasi



Medsos, Instrumen Milenial dalam Menegakkan Demokrasi

Opini: Azwardi Natta

(Mantan Koordinator Nasional Lembaga Pemantau Pemilu PB PMII 2017-2019)


Tidak dapat dimungkiri oleh siapapun, bahwasannya pemuda atau yang kini dikenal dengan istilah generasi milenial telah memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia. Milenial selalu menjadi garda terdepan yang mempelopori berbagai momentum sakral yang terjadi di tanah air. Dari lahirnya organisai pergerakan pertama, yakni Budi Utomo 20 Mei 1908, berlanjut pada Sumpah Pemuda 28 Okrober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hingga Reformasi 21 Mei 1998.

Sederet momentum tersebut merupakan perjuangan para milenial untuk mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang demokratis. Yakni kekuasaan tertinggi sebuah negara berada di tangan rakyat. Sebagaimana menurut Abraham Lincoln, government of the people, by the people, and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).

Namun berbeda konteks dengan saat ini, perjuangan milenial dalam menegakkan demokrasi tidak lagi harus berhadap-hadapan dengan penjajah. Perjuangan milenial untuk menegakkan demokrasi saat ini, yakni dengan cara memberikan pendidikan politik kepada rakyat, serta memerangi money politik, penyebaran hoax dan pemanfaatan issu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dalam momentum Pemilihan Umum (Pemilu).

Salah satu langkah kongkret yang dapat dilakukan oleh generasi milenial untuk memerangi ketiga ancaman demokrasi tersebut, yakni melalui pengawasan partisipatif. Konsep pengawasan partisipatif ini melibatkan peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan pemilu dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas demokrasi. Mewujudkan integritas penyelenggaraan pemilu, serta memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu sesuai dengan aturan.

Salah satu instrumen yang paling efektif digunakan dalam melakukan pengawasan partisipatif adalah melalui media sosial (medsos). Sebab medsos saat ini dapat dikatakan sebagai bagian dari kehidupan dan menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dai jumlah pengguna internet di Indonesia.

Berdasarkan laporan We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 212,9 juta pada Januari 2023. Ini berarti sekitar 77% dari populasi Indonesia telah menggunakan internet.  Jumlah pengguna internet pada Januari 2023 lebih tinggi 3,85% dibanding setahun lalu. Pada Januari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 205 juta jiwa. 

Hampir sama dengan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah tersebut meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. Jumlah pengguna internet tersebut setara dengan 78,19% dari total populasi Indonesia yang sebanyak 275,77 juta jiwa. Artinya semakin hari pengguna internet di Indonesia semakin meningkat.

Dari jumlah pengguna internet tersebut, milenial merupakan segmen yang paling banyak menggunakan internet. Menurut survei APJII, di mana tingkat penetrasi internet di kelompok usia 13-18 tahun mencapai 99,16% pada 2021-2022. Kemudian kelompok usia 19-34 tahun dengan tingkat penetrasi internet sebesar 98,64%. Tingkat penetrasi internet di rentang usia 35-54 tahun sebesar 87,30%.  Tingkat penetrasi internet di kelompok umur 5-12 tahun sebesar 62,43%. Sedangkan, persentasenya di usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 51,73%.

Tingginya penggunaan internet ini mencerminkan iklim keterbukaan informasi dan penerimaan masyarakat terhadap perkembangan teknologi dan perubahan menuju masyarakat informasi. APJII juga mengungkap alasan masyarakat Indonesia menggunakan internet. Yakni untuk kebutuhan sosial media sebanyak 98,02 persen dan untuk mengakses informasi atau berita sebanyak 92,21 persen.  Sosial media yang dimaksud baik itu Facebook, WhatsApp, Telegram, Line, Twitter, Instagram, YouTube, dan lainnya. Sedangkan infomrasi atau berita tergantung issu yang lagi hangat. Di tahun politik seperti saat ini tentu informasi atau berita tentang politik akan lebih banyak tersaji di internet yang terkoneksi ke media sosial.

Melalui media sosial, melenial bukan hanya dapat melakukan pengawasan pemilu. Melainkan dapat melaporkan dengan cepat kepada Bawaslu jika terdapat pelanggaran pemilu. Terutama yang berkenaan dengan issu SARA dan hoax sebagaimana yang sering terjadi di media sosial.

Untuk mensinergikan hal tersebut, maka tentu Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki tupoksi untuk menindak pelanggaran pemilu, harus sigap dalam menyikapi setiap aduan atau laporan yang masuk meski hanya melalui media sosial. Bila perlu Bawaslu membuat semacam platform di media sosial yang dikhususkan untuk menerima setiap laporan atau adauan masyarakat. Tentu untuk lebih efektif dan mempermudah kinerja Bawaslu harus menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga lain. Salah satunya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Begitu laporan masuk, Bawaslu langsung melakukan pengecekan, kemudian merekomendasikan kepada Kominfo untuk peretasan akun jika dinilai masuk unsur pelanggaran pemilu.

Di samping dapat mempermudah masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran pemilu, media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan politik. Baik itu kepada masyarakat secara umum, milenial ataupu pemilih pemula khusunya. Pendiidkan politik dimaksud bisa saja berupa informasi yang benar, narasi kebangsaan, tata cara memilih agar suara tidak rusak. Urgensinya menggunakan hak pilih dalam pemilu, memilih calon pemimpin dan perwakilan di parelemen dengan melihat dari visi misi, memilih dengan azas luberjurdil, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan penegakkan demokrasi.