Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Lagi! PMI Jadi Korban di Kapal Ikan Taiwan, Edy Wuryanto: Harus Mendapat Perhatian Khusus

Lagi! PMI Jadi Korban di Kapal Ikan Taiwan, Edy Wuryanto: Harus Mendapat Perhatian Khusus



Berita Baru, Jakarta – Peristiwa pilu menyelimuti pekerja migran Indonesia (PMI). Warga Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan kembali jadi korban kecelakaan kerja. 

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto turut menyoroti insiden yang terjadi di perairan perbatasan Jepang-China pada Minggu (5/3) pekan lalu itu. 

Satu orang ditemukan sudah meninggal dunia. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri masih melakukan identifikasi.

Ini bukan kejadian pertama. Pada November tahun lalu, 17 WNI menjadi korban kapal kargo milik Taiwan yang tenggelam. 

Sejauh ini ada 230.000 WNI yang bekerja di Taiwan dan 10 persen bekerja sebagai ABK. Angka ini tidak bisa dibilang sedikit. 

“Persoalan yang terus menerus dialami pekerja migran yang bekerja sebagai awak kapal berbendera asing merupakan hal yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia,” kata Anggota Edy Wuryanto kepada Beritabaru.co, Kamis (9/3).

Ia menyebut, Greenpeace Asia Timur pernah melakukan investigasi terkait pekerja di kapal milik Taiwan. Laporan yang diunggah pada September 2022 itu mewawancarai 27 ABK, termasuk yang dari Indonesia. 

Dalam laporan Greenpeace itu diketahui mayoritas ABK mendapat setidaknya satu indikator pekerja paksa. Misal lembur berlebihan, pemotongan upah, dan penyitaan dokumen. 

“Seluruh PMI kita yang bekerja di kapal ikan Taiwan maupun yang berbendera lainnya harus benar-benar dilindungi oleh pemerintah,” ungkap politisi Fraksi PDI Perjuangan ini.  

Lebih lanjut, Edy menyatakan bahwa perlindungan terhadap PMI, mulai dari ketentuan pelaksanaan penempatan dan perlindungan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebenarnya sudah diatur. 

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2022 yang merupakan regulasi operasional dari Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 

“Banyak ketentuan yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan penempatan awak kapal perikanan migran seperti harus memiliki izin, deposito uang minimal Rp 5 miliar, perjanjian dengan pengguna dan perjanjian dengan PMI, hingga perusahaan akan dikenakan sanksi bila melanggar seluruh persyaratan tersebut,” jelas Anggota Dewan dari Dapil Jawa Tengah III ini. 

Jika aturan ini dijalankan, sambungnya, bila terjadi penyiksaan dan pelanggaran hak PMI awak kapal perikanan maka perusahaan tersebut bisa dituntut sebagai pihak yang harus ikut bertanggung jawab.

Dalam Pasal 3 ayat (5) PP No. 22 tahun 2022 mengamanatkan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran yang bekerja secara perseorangan maka risiko ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab sendiri. 

Aturan ini yang akhirnya melemahkan pengawasan PMI. Edy menilai, pada proses penempatan secara perorangan ini yang kerap kali terjadi pelanggaran hak-hak PMI yang bekerja di kapal asing. 

“PMI sebagai Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran harus menanggung sendiri bila terjadi risiko ketenagakerjaan,” ucapnya.

Edy melihat, kejadian buruk pada ABK Indonesia yang bekerja untuk kapal asing, bisa diantisipasi dan diminimalisir bila BP2MI bersama perusahaan Penempatan Awak Kapal Perikanan Migran (P3MI) dapat memastikan perusahaan sudah menerapkan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

MSelain itu, menurut Edy juga harus mematuhi hak-hak PMI, tidak terkecuali bagi perusahaan yang menerima PMI secara perorangan. 

Lebih lanjut, Edy cukup mengapresiasi upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ABK Indonesia yang mengalami kecelakaan di perbatasan Cina dan Jepang.

“Pemerintah juga jangan lupa memberikan perhatian dan pengawasan lebih bagi PMI awak kapal perikanan milik Taiwan atau yang berbendera negara lain. Agar hal serupa tidak terjadi,” ujarnya. 

Edy pun juga mengusulkan agar ada moratorium pemberian izin PMI yang akan bekerja di kapal milik Taiwan. Terutama yang dilakukan secara perseorangan. Belajar dari moratorium pemberian izin PMI yang akan bekerja di Malaysia dan Arab Saudi, harusnya hal ini bisa juga diterapkan di Taiwan. 

Hal ini dilakukan sembari pemerintah melakukan kajian ulang tentang kebijakan penempatan secara perorangan. “Khusus Pasal 3 ayat 5 PP No. 22 Tahun 2022 dapat diubah,” tambah Edy. 

Dia juga meminta pemerintah mendesak pemerintah Taiwan untuk menyelesaikan masalah ini.  Menurutnya, seluruh WNI berhak mendapatkan perlindungan dimanapun dia berada.