Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kucing-kucing di Kepala Diana | Cerpen: Malia Fai
Ilustrasi: The Dancing Cat

Kucing-kucing di Kepala Diana | Cerpen: Malia Fai



Aku dan Bob berbaring di ranjang yang sudah empat tahun kurang tiga bulan kami tiduri. Sambil menyangga kepala dengan telapak tangan, aku memiringkan tubuhku ke arahnya, mengamati Bob yang menghadap ke langit-langit kamar. Aku menaikkan kedua sudut bibir hati-hati, berusaha supaya caraku tersenyum tidak menyinggungnya, dan bertanya lembut apa yang sedang mengganggu kepalanya, mengapa ia terlihat cemas. Bob hanya menjawab kalau itu bukan masalah besar, dan aku tidak perlu khawatir berlebihan. Setelah mengecup keningku, ia memberiku punggung yang terbalut piyama lecek sewarna susu.

Sejak menikah dengan Bob, aku melatih diri untuk mengisi kepalaku dengan ketenangan. Bob yang meminta begitu awalnya, ia ingin hubungan ini menjadi hubungan paling menyenangkan dalam kehidupan kami. Aku dan Bob telah sepakat untuk selalu saling membuka diri. Barangkali, beberapa hal terasa runyam hanya karena kau terlalu sering memikirkannya sendirian, katanya suatu kali sambil meremas tanganku ketika kami memamah setangkup croissant untuk sarapan.

Aku membalikkan badan, menaruh siku di bawah kepala dan menutup mata. Tapi aku tidak tidur.

 Sesuatu menahanku untuk tetap terjaga. Sesuatu itu seperti cahaya lampu dan aku adalah ngengatnya.

Saat aku sibuk menghitung ritme napasku sendiri, aku merasakan gerakan Bob. Ia turun dari kasur. Sebenarnya, belakangan ia jadi punya kebiasaan pergi menyendiri di teras belakang pada tengah malam. Mungkin Bob mengira aku telah tertidur. Sebelum melakukannya, ia mampir ke dapur terlebih dulu untuk membikin kopi. Aku tahu karena aku selalu menemukan ketel setengah penuh di atas kompor saat terbangun keesokan harinya. Sebuah cangkir kotor juga tergeletak di dekat wastafel.

Meskipun aku ingin mengabaikannya, tapi ketel setengah penuh itu menggangguku. Menjerang air banyak-banyak untuk secangkir kopi bukan gaya Bob. Suamiku adalah lelaki yang praktis, begitu yang ia tunjukkan selama ini. Ia memperhitungkan dan membuat segala perencanaan secara matang dan tak senang menghamburkan apa pun. Apa yang sanggup mengganggunya?

Aku tak mau menekan Bob. Aku tak ingin memaksanya membagi hal-hal yang tidak ingin ia bicarakan denganku. Tapi aku telah berkata pada Bob pada suatu pagi, ketika aku melepasnya untuk pergi bekerja seperti biasa bahwa aku akan selalu mendengarkannya. Ia hanya menanggapi dengan sebuah gurauan, yang katanya, itu bukan hal yang akan membuat dunia kiamat lebih cepat. Bob tertawa dan gigi depannya yang besar-besar tampak berkilap. Setelah mengecup keningku, ia memberiku punggungnya yang terbalut kemeja berwarna langit musim panas.

Aku mencoba berpegang pada gurauan itu, pada suara tawa Bob yang terasa jauh. Aku mengesampingkan setitik keraguan yang bercokol di kepalaku. Namun sekali lagi, aku adalah seekor ngengat yang tergoda cahaya lampu.

Aku menyayangi Bob. Aku akan mencoba berbicara padanya lagi. Tapi aku tidak melihatnya di kursi mana pun yang ada di teras. Di atas meja hanya ada secangkir kopi yang masih panas. Uap dari permukaan cangkir membumbung ke udara, lalu malam pelan-pelan menelannya. Aku melihat sekeliling, dan di kejauhan kutemukan sebaris cahaya yang mengintip dari pintu gudang perkakas yang tak tertutup sempurna.

Ketika aku sudah berdiri di depan pintu gudang, samar-samar aku mencium bau anyir. Aku mendorong pintu, membukanya selebar tubuhku. Kenop pintu terasa beku dan kasar, perpaduan sempurna dari logam berkarat dan udara malam. Rasa takut merambatiku entah dari mana, mungkin dari pintu gudang yang cat kelabunya mulai terkelupas. Untuk sesaat aku merasa ada seseorang yang berdiri di belakangku, lalu membisikiku agar berbalik menuju kamar untuk menyembunyikan diri di balik selimut. Lupakan kekhawatiran. Lupakan kecurigaan. Lupakan bau anyir. Sembunyikan diri di balik lembutnya kain yang hangat. Tapi kakiku melakukan pilihan lain, masuk lebih dalam demi mencari Bob.

Aku sudah lama tak pernah memasuki gudang ini dan satu-satunya yang kutangkap adalah kesemrawutan. Di deretan rak besi yang ada di sisi kiriku, benda-benda yang seharusnya dibuang masih teronggok di sana. Pigura usang di dalam kardus, sepatu kets yang kehilangan pasangannya, guci hadiah perkawinan yang retak, dan sederetan alat pertukangan milik Bob. Seluruh benda-benda itu penuh debu. Aku mendongak ke langit-langit dan melihat sarang laba-laba menguasai kabel lampu. Di dekat sebuah lemari tak berpintu di ujung rak, ada kursi kayu yang kakinya patah. Aku melangkah lebih jauh ke dalam ruangan.

Di depan sebuah tangga terbuka yang menjurus ke ruang bawah tanah, bau anyir tercium semakin tajam. Aku menuruni tangga-tangga kayu yang berderit.

Semula aku hendak membuka mulut untuk memanggil Bob. Tapi kuurungkan karena aku mendengar benda keras saling terbentur. Apakah terjadi sesuatu pada Bob? Tidak. Itu tidak mungkin. Bob pasti baik-baik saja. Aku harus tetap tenang dan Bob harus baik-baik saja. Aku berusaha meyakinkan diriku meski perasaanku bertolak belakang dengan apa yang baru saja coba kupikirkan.

Di dua anak tangga terakhir aku berhenti. Dari sudut ini aku menyaksikan dengan jelas tubuh Bob yang telanjang. Tangan kanannya memegang pisau besar. Aku tahu itu bukan salah satu pisau yang ada di dapur karena aku tidak pernah membeli pisau daging sebesar itu. Pisau itu berlumuran darah dan tubuh Bob juga berlumuran darah. Aku ingin membohongi diriku kalau darah di sekitar perutnya adalah jus raspberry kesukaannya, tapi tidak ada wangi raspberry di ruangan ini. Apakah ini nyata? Benarkah bau dan segala hal yang terjadi di depan mataku? Perutku bergolak saat kulihat Bob mengayunkan pisau itu ke meja, ke sebuah—apakah itu kucing?—Ya Tuhan!

Kepala kucing itu seketika terpisah dari tubuhnya. Percikan darah muncrat bersamaan ke tubuh Bob, ke meja, ke lantai. Aku menutup mulut. Kurasakan getaran aneh di tengkukku saat Bob mulai menjilati darah yang menempel di jemarinya. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Apakah ia Bob suamiku? Benarkah ia Bob yang dengan lembut mengelus kepalaku dan menciumi wajahku? Sungguhkah itu Bob yang tinggal bersamaku? Mengapa ia melakukan ini? Apa yang merasukinya?

Pertanyaan demi pertanyaan menggerogoti kepalaku.

Aku melihat ke arah yang lain. Di balik punggung Bob, menggantung beberapa tubuh kucing tanpa kepala yang sudah dikuliti dengan posisi ekor di atas. Darah menetes dari bagian leher yang menghadap ke lantai. Tetesan-tetesan itu menciptakan genangan merah pekat di lantai semen. Di seberang meja tempat Bob berdiri ada kandang kosong bercat hitam. Sebuah suntikan bertengger di atas jeruji.

Aku gemetar.

Kulihat Bob menggeser kepala kucing itu ke pinggir meja. Ia menaruh pisau dagingnya lalu mengambil silet yang sedari tadi ada di meja bagian kiri. Bob mulai menguliti kucing tanpa kepala itu. Ia terlihat menikmati darah yang belepotan di jari-jarinya. Sesekali ia menjilati. Sesekali ia mengusapkan ke tubuhnya sendiri.

Kurasakan perutku makin bergolak. Namun aku tak bisa memuntahkan apa-apa.

Air mataku mulai mengalir dan membasahi wajah serta tanganku yang membekap mulutku sendiri. Perasaan gugup, bingung, takut dan tidak percaya menguasai diriku. Aku benar-benar tak bisa menggerakkan seinci pun tubuhku dari anak tangga.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Air mataku terus mengalir. Aku merasakan tubuhku memberat. Seakan seluruh benda-benda yang ada di gudang ini diletakkan di pundakku. Aku sempoyongan.

Tanganku meraba-raba mencoba meraih sesuatu yang sekiranya bisa kujadikan pegangan agar aku tetap berdiri. Tapi nihil. Aku kehilangan keseimbangan dan terjengkang di tangga kayu.

Aku membuka mata. Kulihat cahaya buram yang menyilaukan di atas kepalaku. Beberapa kali aku mengerjap. Aku melihat bayangan yang mendekat ke wajahku. Bayangan itu mendengus. Aku mengerjap lagi. Kepalaku berdenyut. Jantungku berdegup kencang. Perlahan-lahan, aku mulai bisa melihat dengan jelas.

Aku melongok ke samping dan Bob berdiri di situ. Memegang suntikan. Bob menatapku dongkol, seperti caranya menatap seseorang yang merusak hari Minggunya. Mulutku baru hendak membuka ketika Bob menghunjamkan suntikan itu ke perutku, menusukkannya sekali, tiga kali, lalu entah berapa lagi. Aku melolong seketika. Aku mencoba menghalau tangan Bob dengan tanganku. Namun saat aku mencoba menggerakkan tangan, rasa sakit itu muncul dan kulihat jari-jariku sudah tidak ada. Apakah Bob yang memotongnya?—Astaga!

“Sungguh sayang sekali. Aku berhasil merobek perutmu tapi aku tak menemukan bayi kita di dalamnya.”

Bob menyeringai.

Apakah Bob akan membunuhku? Pandanganku makin buram. Aku mengerang.

Bob menyeringai lagi.

Salah satu tangannya tiba-tiba menarik rambutku. Samar-samar kulihat bayangan tangan lainnya mengayunkan pisau daging ke wajahku. Sesaat sebelum semuanya menjadi gelap, Bob membisikkan sesuatu dengan amat lirih dan lembut yang terdengar seperti … kebebasan.

Namun aku tidak tahu pasti.

***

“Baik. Ya, sepertinya dia segera bangun. Tidak, tidak meracau seperti biasanya. Tidurnya tenang sekali. Keningnya membiru, mungkin terbentur lantai kayu. Ya, sudah diberi salep. Dia tengkurap saat kutemukan di gudang perkakas. Tentu saja kami bisa datang Jumat siang. Kau sungguh baik. Maaf, kami selalu membikin cemas. Sudah, minggu lalu dia meminta supaya membakar boneka-bonekanya di halaman belakang. Setelah itu dia sering menyeduh kopi tengah malam, tapi tak pernah meminumnya. Dia juga sering bertanya apakah pekerjaanku bermasalah. Dia meminumnya secara teratur. Kemungkinan menaikkan dosisnya? Apakah akan baik-baik saja? Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu terima kasih, Dokter. Baik, sampai jumpa.”

Bob meletakkan ponsel di samping krim pelembap wajah kemudian berbalik. Diana sudah membuka mata. Ia lekas menghampirinya lantas merengkuhnya.

Diana mengamati telapak tangannya yang pucat, keduanya masih utuh dan bersih. Ia menghirup leher Bob, wangi vanila menguar seperti saat ia mengecup pipi suaminya sebelum berangkat bekerja.

“Bob, apakah kau baik-baik saja?”

Bob belum sempat menanggapi saat Diana buru-buru melanjutkan,

“Bob, kau tidak akan menyakitiku bukan?”

“Tidak. Tidak akan pernah. Aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku melakukan perbuatan mengerikan semacam itu.”

Ia menjawab lirih sambil mengusap dan menciumi kepala istrinya.

Di punggung Bob, matahari pagi mulai meninggi, menerobos masuk ke kamar melalui celah kecil dari tirai yang tidak tertutup sempurna.


Malia Fai. Lahir pada 17 September. Tinggal di Bali. Sedang menikmati hidup dengan belajar menulis. Mari saling menyapa melalui Facebook: Malia Fai.