Komnas HAM: UU ITE Jadi Ancaman Serius terhadap Kebebasan Sipil
Berita Baru, Jakarta – Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyoroti dampak negatif Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap kebebasan sipil. Ia menilai, UU ITE yang disahkan pada 2008 telah menjadi alat pembatasan ruang sipil di Indonesia.
“Dalam 10 tahun terakhir, undang-undang yang sangat mengancam ruang kebebasan sipil adalah Undang-Undang ITE,” ujar Atnike dalam diskusi bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Senin (9/12).
Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil
Atnike menjelaskan, UU ITE sering digunakan untuk membatasi kebebasan sipil di berbagai isu, termasuk kritik terhadap pemerintah. Selama satu dekade terakhir, Komnas HAM mencatat adanya upaya sistematis untuk membatasi ruang sipil melalui penutupan organisasi, ancaman pemenjaraan, dan bahkan penghilangan nyawa terhadap pembela HAM.
“Hal ini menciptakan efek ketakutan (chilling effect) yang pada akhirnya menghalangi masyarakat menggunakan hak-hak dasar mereka, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul,” tambahnya.
Komnas HAM juga menerima setidaknya 48 pengaduan terkait penyampaian pendapat di muka umum dalam periode 2021 hingga 2023. Pengaduan tersebut meliputi intimidasi dalam diskusi ilmiah, penangkapan, dan penahanan massa saat demonstrasi.
Pentingnya Mematuhi Standar Internasional
Menurut Atnike, salah satu cara mempertahankan kebebasan sipil adalah memastikan undang-undang dan kebijakan pemerintah sesuai dengan standar internasional tentang hak asasi manusia. Ia menekankan pentingnya peran publik dalam mendorong negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak warga.
“Kita perlu membantu masyarakat melihat ruang kebebasan sipil sebagai sumber daya yang vital. Kehadiran perspektif ini akan memotivasi negara untuk lebih menghormati dan melindungi hak asasi manusia,” jelasnya.
Diskusi tersebut menjadi pengingat bahwa kebebasan sipil adalah fondasi utama demokrasi, yang harus terus diperjuangkan di tengah tantangan regulasi seperti UU ITE.