Koalisi PPA NTB Desak Tindakan Tegas atas Kekerasan di Pondok Pesantren
Berita Baru, Jakarta – Sejumlah aktivis dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTB mengadakan pertemuan untuk membahas kasus kekerasan yang kerap terjadi di pondok pesantren (ponpes) di NTB serta cara penanganannya. Beberapa organisasi yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain InSPIRASI NTB, LBH APBIK NTB, PBHBM, SANTAI NTB, SOBAT NTB, dan PBHM NTB.
Pertemuan ini mengungkap data dari Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa ponpes menempati posisi kedua sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual terbanyak. Oleh karena itu, seluruh pihak diharapkan ikut serta dalam menciptakan lingkungan aman bagi perempuan dan anak, terutama lembaga yang memiliki wewenang langsung atas ponpes, seperti Kemenag dan pemerintah daerah.
Ketua Umum PBHM NTB, Yan Mangandar Putra, menegaskan pentingnya perhatian bersama untuk segera menghentikan kekerasan dan tidak membiarkan munculnya korban kekerasan di ponpes. “Jangan ada lagi upaya menutupi hanya karena alasan menjaga nama baik lembaga,” ujarnya dalam keterangan persnya yang dikutip Senin (8/7/2024).
Koalisi PPA NTB saat ini siap memberikan bantuan langsung atau menghubungkan korban dengan lembaga layanan lain seperti UPTD PPA, terutama dalam pendampingan psikososial kepada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). “Termasuk layanan konseling dengan psikolog, dan anggota koalisi PPA NTB yang memiliki layanan bantuan hukum seperti LBH APIK NTB, PBHM NTB, LBH PELANGI, dan LPA MATARAM bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada ABH, baik sebagai anak saksi maupun anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana,” jelas Yan.
Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) NTB, Suharti, menyampaikan kekecewaannya terhadap Kemenag NTB yang tidak menanggapi permohonan hearing yang rencananya akan dilaksanakan pada 8 Juli 2024 untuk membahas permasalahan kekerasan di ponpes. “Kenyataannya tidak ada tanggapan, dalam waktu dekat kami berencana akan mengirimkan lagi suratnya. Apabila tidak ditanggapi, maka akan mengadukan Kemenag NTB ke Ombudsman RI terkait dugaan maladministrasi dengan mengabaikan surat tersebut. Ada kesan Kemenag NTB ingin lari dari tanggung jawab terkait maraknya kasus kekerasan di ponpes, padahal mata rantai kekerasan di ponpes harus segera diputus,” jelasnya.
Direktur Yayasan Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB, Nurjanah, merincikan tuntutan Koalisi PPA terhadap Kemenag NTB dan seluruh ponpes di NTB. Mereka mendesak pembentukan satgas untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di ponpes yang melibatkan berbagai unsur termasuk media dan masyarakat sipil; evaluasi ponpes terkait tata kelola kelembagaan yang ramah perempuan dan anak; ketersediaan ruang khusus bimbingan konseling yang layak, serta tempat pengaduan.
“Selanjutnya, wujudkan Kemenag yang transparan dengan publikasi hasil temuan satgas serta monitoring dan evaluasi berkala terhadap ponpes terkait implementasi tata kelola kelembagaan yang ramah terhadap perempuan dan anak,” jelasnya.
Pertemuan ini menekankan bahwa penting untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan dan memberikan perlindungan maksimal kepada semua siswa, terutama di ponpes yang seharusnya menjadi tempat aman dan mendidik.