KNPA-GEBRAK Dapati Banyak Kejanggalan dan Pelanggaran pada Kasus Kriminalisasi Masyarakat Adat Dayak Marjun
Berita Baru, Jakarta – Konflik agraria di Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur antara Masyarakat Adat Dayak Marjun dengan perkebunan sawit PT. Tanjung Buyuh Perkasa Plantation (TBPP) bermuara pada kriminalisasi warga.
Sabtu, 4 Juni 2022, Polres Berau dibantu Polsek Talisayan menangkap 6 (enam) orang, terdiri dari 4 Masyarakat Adat Dayak Marjun (Jamaludin, Shabir, Mansur, Amin) dan 2 (dua) lainnya yaitu Ketua DPC KASBI (Boni) dan pekerja sawit (Alek).
Penangkapan dilakukan berdasarkan laporan PT. TBPP, yang menuduh warga telah melakukan pemanenan dan pencurian sawit milik PT TBPP. Keenam warga dilaporkan melanggar Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bahkan Boni yang merupakan DPC KASBI Berau juga dilaporkan menggunakan Pasal 55 KUHP. Penetapan tersangka dan penangkapan yang dilakukan dengan penjemputan paksa pada 6 (enam) warga, dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana.
Kasus kriminalisasi yang menimpa Masyarakat Adat Dayak Marjun ini akan memasuki masa sidang putusan akhir pada Kamis, 8 September 2022, mendatang.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menilai terdapat banyak kejanggalan dan pelanggaran yang terjadi selama proses persidangan maupun mengenai status konsesi PT. TBPP.
Hal itu diungkap KNPA dan GEBRAK saat menggelar aksi demonstrasi di depan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Senin (5/9), dengan tajuk ‘Evaluasi dan Cabut Izin PT. TBPP, Hentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Masyarakat Adat Dayat Marjun’.
“Selama proses persidangan dan investigasi yang dilakukan oleh kami di Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), terdapat banyak kejanggalan dan pelanggaran yang terjadi selama proses persidangan maupun mengenai status konsesi PT. TBPP,” tulisnya dalam press rilis yang diterima Beritabaru.co.
Dalam proses investigasi, KNPA dan GEBRAK mendapati fakta PT. TBPP menanam sawit di luar HGU perusahaan, yaitu di atas Wilayah Adat Dayak Marjun seluas 1.800 hektar tanpa sepengetahuan dan persetujuan Masyarakat Adat Dayak Marjun.
“Data ini merupakan hasil tinjauan lapangan yg melibatkan berbagai instansi pada tanggal, 29 September 2021,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, selain menggusur Masyarakat Adat Dayak Marjun, operasi perusahaan juga telah merusak lingkungan. PT. TBPP melakukan pembabatan di kawasan hutan, kawasan sempadan sungai, mata air, hingga kawasan pesisir.
“Yang telah merusak ekosistem mangrove dan berdampak pada abrasi,” katanya.
Selain itu KNPA dan GEBRAK, menyebut, pada fakta persidangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang juga sebagai pelapor tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan HGU dan batas-batas HGU yang diklaim dan dikuasai PT. TBPP.
Bahkan, lanjutnya, JPU dalam uraian penuntutannya tidak menguraikan fakta persidangan. “JPU tidak memasukkan beberapa keterangan saksi maupun Para Terdakwa yang merupakan keterangan yang diberikan di dalam persidangan,” terangnya.
Bahkan, menurut KNPA dan GEBRAK, terdapat upaya manipulatif dari perusahaan, pemerintah dan penegak hukum dalam kasus ini. PT. TBPP menggunakan KUHP untuk mengkriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yang juga diamini oleh penegak hukum.
“Padahal seharusnya proses penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan tidak dapat menggunakan hukum pidana an sich,” pungkasnya.