Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ketua PBNU Ungkap Relasi NU dan PKB

Ketua PBNU Ungkap Relasi NU dan PKB



Berita Baru, Jakarta – Amin Said Husni, sebagai Ketua PBNU mengungkap tidak sedikit orang gagal paham terhadap pernyataan dan langkah Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, tentang relasi NU dan PKB.

Menurut Amin Husni, banyak yang mengira NU meninggalkan PKB. “Padahal ya nggak begitu maksudnya,” tulisnya dalam akun Instagram pribadinya @aminhusni, Sabtu (6/2), kemarin.

Lebih lanjut ia menjelaskan, “Relasi NU dengan PKB itu alami sekali. Karena dulu PKB itu diinisiasi, bahkan dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU,” ujarnya, mengutip perkataan Gus Yahya saat wawancara dengan CNN.

Amin Husni berpandangan, relasi NU dan PKB merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan. Meskipun begitu, “NU tidak boleh menjadi alat dari PKB atau dikooptasi oleh PKB. Tidak boleh, kata Gus Yahya lagi,” sambungnya.

Selanjutnya, Amin Husni mengunggah foto Surat Tugas Tim 5 PBNU dengan No. 925/A.II.03/6/1998. “Begini. Adalah fakta sejarah juga bahwa ‘keterlibatan’ PBNU dalam pembentukan PKB pada tahun 1998,” katanya, Minggu (6/2).

Keterlibatan itu untuk, “Membantu keinginan warga NU untuk membentuk satu parpol yang dapat mewadahi aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama,” ungkap Amin Husni dengan mengutip Surat Tugasnya sebagai tim asistensi (poin 3 pada gambar).

“Saya ingat, ketika itu muncul banyak sekali inisiatif-inisiatif dari warga NU untuk bikin parpol baru. Salah satu inisiatif yang paling lengkap berasal dari Lajnah Sebelas yang diketuai Kiai Cholil Bisri—ayahanda Gus Yahya, Ketua Umum PBNU—ada juga dari PWNU Jawa Barat. Dan yang lainnya,” ungkapnya.

Amin Husni menegaskan, posisi PBNU ketika itu adalah sebagai fasilitator untuk menyatukan berbagai inisiatif warga NU agar tidak bikin parpol sendiri-sendiri.

“Dengan kata lain, peran PBNU saat itu adalah ‘membikinkan’ satu parpol untuk warga NU, yaitu PKB. Para deklaratornya adalah pengurus PBNU, atas nama warga NU, bukan sebagai PBNU (cek alinea terakhir naskah Deklarasi PKB),” jelasnya.

‘Membikinkan’, menurut Amin Husni, artinya PBNU melaui Tim Lima dan Tim Asistensinya membuatkan segala sesuatunya—mabda’ siyasinya, AD-ART-nya, Naskah Deklarasinya, hingga ‘jabang bayi bernama PKB’—itu siap dideklarasikan. “Setelah itu, PKB leluasa mengurus dirinya sesuai aturan yang ada,” terangnya.

“Harapannya, PKB bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh, yang benar-benar mengerti segala macam masalah yang dihadapi warga NU, memahami apa kebutuhan warga NU, dan mampu memperjuangkan aspirasi warga NU secara efektif. Itulah mandat dari NU untuk PKB!” imbuh Amin Husni.

Selanjutnya, ia menjelaskan mengenai PBNU dan segenap jajaran strukturalnya tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, termasuk di PKB. Berikut penjelasan Amin Husni yang kami kutip secara utuh:

Ketika menyebut “NU” saja, seringkali kita mencampuradukkan dua hal: yaitu jama’ah NU dan jam’iyah NU. Jama’ah NU adalah sebutan lain dari warga NU, atau sering juga disebut dengan nahdliyin (orang NU).

Sedangkan jam’iyah NU adalah organisasi NU dengan segenap struktur kepengurusannya, norma-norma yang mengaturnya, termasuk cita-cita, visi, dan idealisme-nya.

Betul, pada tahun 1998, PBNU sebagai organ jam’iyah NU menugaskan Tim Lima dan Tim Asistensinya untuk “membikinkan” satu partai (yang kemudian diberi nama PKB) untuk warga (jama’ah) NU, agar bisa menjadi wadah aspirasi politiknya.

Jika diilustrasikan, kira-kira PBNU itu bilang begini, “Tim Lima, tolong bikinkan satu partai buat warga NU, untuk menjadi wadah aspirasi mereka.”

Tidak ada hubungan struktural antara PKB dengan jam’iyah NU. Tapi, jelas ada relasi yang kuat antara PKB dengan jama’ah (warga) NU. Yakni relasi aspiratif, yaitu hubungan timbal balik antara partai dengan konstituennya. Warga NU memberikan dukungan, sedangkan PKB memperjuangkan aspirasi warga NU.

Ini rumus umum: Siapa memperjuangkan kepentingan warga NU, dia pasti akan dapat dukungannya. Sepanjang PKB bisa menjadi wadah aspirasi dan mampu memperjuangkan kepentingan-warga warga NU secara efektif, sebetulnya tidak perlu ada kekuatiran akan ditinggalkan oleh nahdliyin.

Adapun NU sebagai jam’iyah, tidak bisa dan tidak boleh ditarik-tarik untuk menjadi alat kepentingan politik praktis PKB. Misalnya dengan mengeluarkan fatwa: semua warga NU wajib memilih PKB. Tidak bisa begitu.

Sebab, jam’iyah NU harus tetap istiqomah dalam menjalankan politik kebangsaan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Khidmah NU sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah adalah khidmah inklusif, khidmah untuk semua.

Jam’iyah NU harus tetap menjadi perekat persatuan dan persaudaraan. Oleh karena itu Jam’iyah NU tidak boleh terjebak di dalam sekat² kepentingan. Itulah salah satu substansi dari khittah NU.