Keteladanan KH Saifuddin Zuhri Melawan Korupsi
Dilansir dari Mata Air Keteladanan, Yudi Latif menjelaskan bahwa Bung Karno pernah menawarkan kepada Bung Hatta yang ingin pergi haji bersama keluarga untuk naik haji dengan pesawat terbang dan biayanya ditanggung oleh negara. Tanggapan Bung Hatta tegas menolak. Ia menolak dan memilih naik haji sebagaimana umumnya, yakni dengan naik kapal laut- pada waktu itu.
Dari mana biaya naik haji Bung Hatta dan keluarganya? Jika mau pilih enak, tentu Bung Hatta ambil saja tawaran dari Bung Karno. Tapi, inilah Bung Hatta, Ia memilih berangkat haji dengan biaya sendiri, biaya itu Ia peroleh dari uang yang Ia kumpulkan dari honorarium tulisan dan bukunya.
Di tengah kabar yang tengah mengguncang Komisi Pemberantasan Korupsi tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN menuai kontroversi. Lembaga yang sepak terjangnya jelas dan memiliki misi besar dalam memberantas korupsi ini, lagi-lagi bermasalah. Permasalahannya adalah adanya maksud buruk pelemahan KPK sebagai lembaga independen yang menangani korupsi di Indonesia.
Persoalannya bukan pada alih status pegawai lama menjadi ASN, karena itu sudah diatur oleh negara. Persoalannya yang meruncing adalah pada pelaksanaan Tes Wawancara Kebangsaan (TWK) yang diduga digunakan alat untuk mengeliminir pegawai KPK sebelumnya, yang masih berkomitmen dan masih melakukan penyidikan korupsi.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai, pelaksanaan TWKyang akan beralih menjadi ASN terdapat unsur kesengajaan. Dalam pernyataan yang ditandatangani Ketua Rumadi Ahmad dan Sekretaris Marzuki Wahid tersebut, dikatakan bahwa ada perbedaan cara, materi, dan durasi waktu pelaksanaan TWK.
“Mencermati cerita-cerita dari pegawai KPK yang diwawancarai terkait cara, materi, dan durasi waktu wawancara yang berbeda-beda, tampak terdapat unsur kesengajaan untuk menarget pegawai KPK yang diwawancarai,” tulis rilis kemarin.
Menurut Lakpesdam PBNU, fakta tersebut menunjukkan bahwa TWK tampak sebagai screening atau litsus zaman orde baru atau mihnah pada masa khalifah Abbasiyah. Oleh karena itu, TWK dinilai terlihat digunakan untuk mengeluarkan dan menyingkirkan sejumlah pegawai KPK yang berseberangan dengan penguasa atau mengancam pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan korupsi yang ditangani KPK. “Jika ini terjadi, maka ini adalah ancaman sangat serius terhadap pelemahan KPK yang justru dilakukan internal KPK dan pemerintah sendiri,” kata dia.
Dari sanalah, urusan korupsi di negeri ini karena saking membabibutanya sehingga berbagai cara dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Korupsi di negeri ini pada indeks kasus yang cukup tinggi. Secara moralitas, politisi kita sudah kehilangan nalurinya. Lihat saja, kalau ada yang terjerat kasus korupsi dan menjadi tipikor, pasti beberapa saat penangkapan mereka masih saja menunjukkan pesonanya.
Korupsi bukan hal yang sepele, sepertinya bangsa ini perlu belajar dari banyak tokoh bangsa seperti Bung Hatta. Selain itu, ada juga dari kalangan ulama juga banyak yang memberikan keteladanan untuk melawan korupsi. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Pena kita, KH. Saifuddin Zuhri.
KH. Saifuddin Zuhri adalah kiai NU yang pernah menjabat sebagai menteri agama zaman Soekarno. Saat itu komitmennya dalam pemberantasan korupsi sangat gencar. Komitmennya dalam mengedukasi orang tentang antikorupsi juga besar.
Dalam Riwayat Perjuangan KH. Syaifuddin Zuhri diceritakan bahwa selama menjabat sebagai Menteri Agama, KH. Saifuddin Zuhri dikenal sebagai pimpinan yang bersih, peduli, dan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alkisah, Mohammad Zainuddin Dahlan, tokoh masyarakat di daerah Purworejo, Jawa Tengah, sudah sejak lama memendam keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Sebagai seorang tokoh masyarakat, kiai yang suka membantu orang lain dan pejuang kemerdekaan, wajar jika Mohammad Zainuddin Dahlan mendapatkan fasilitas haji abidin atau haji atas biaya dinas. Satu hal lagi, selama masa perang revolus, Mohammad Zainuddin Dahlan adalah prajurit Laskar Hizbullah yang bertugas menjaga keluarga besar KH. Saifuddin Zuhri dalam pengungsian. Maklum, KH. Saifuddin Zuhri sendiri harus memimpin gerilya sehingga tidak mungkin memantau keluarganya secara penuh.
Suatu hari, untuk suatu keperluan datanglah Mohammad Zainuddin Dahlan menemui Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri. Mereka juga terikat dalam hubungan keluarga dekat, karena Mohammad Zainuddin tidak lain adalah adik ipar dari Prof. KH. Saifuddin Zuhri. Dalam kesempatan itu, dengan suara halus, Mohammad Zainuddin mengutarakan keinginannya untuk menunaikan ibadah haji. Prof. KH. Saifuddin Zuhri mendengar permintaan yang tulus itu dengan penuh perasaan, lalu memberikan jawaban tegas:
Sebagai orang sudah banyak jasa, dan mengingat kondisi perekonomianmu yang belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikanmu. Apalagi kamu juga pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi, ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantumu pergi haji melalui Departemen Agama.” “Satu hal apa itu?” Tanya Mohammad Zainuddin Dahlan. “Kamu adalah adikku. Coba kamu itu orang lain, sudah lama aku hajikan…” ujar Saifuddin Zuhri mantap. (Menapak Jejak, Mengenal Watak, Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2012)
Sudah pasti Mohammad Zainuddin Dahlan kecewa, namun kekecewaan itu terhapus dengan siraman kemuliaan prinsip, ketauladanan pemimpin penuh hikmah, dan semangat gerakan anti korupsi. Mohammad Zainuddin Dahlan pulang ke rumah dengan penuh kebanggaan, betapa kakak iparnya menjabat sebagai Menteri Agama dengan penuh amanah dan tanggung jawab serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Begitulah KH. Saifuddin Zuhri. Selain amanah dia juga terus hidup sederhana dan menjunjung tinggi kejujuran. Baik sebelum, semasa, dan seusai menjabat sebagai menteri. Faktanya, tak pernah Saifuddin hidup bergelimang kemewahan hingga akhir hayatnya. Bahkan saking sederhananya, sampai-sampai dia rela melakukan pekerjaan halal apapun, seperti menjadi pedagang beras, demi menghidupi keluarga.
Hal itu bisa dilihat pada akhir 1980an, jauh ketika sang kiai tak lagi menjabat sebagai menteri. Ketika itu, putra-putri nya merasa heran dengan kebiasaan Saifuddin. Setiap habis Shalat Dhuha, sekitar pukul 09.00, dia keluar rumah mengendarai mobilnya sendiri. Ke mana gerangan? Dan untuk urusan apa? Kegiatan ini berjalan cukup lama tanpa satupun anggota keluarganya mengetahui. Sampai suatu hari, salah seorang putranya berhasil memergoki apa yang dikerjakan sang ayah di luar rumah. Bukan kepalang kagetnya, ketika sang putra mengetahui yang dikerjakan oleh ayahnya selama ini.
Rupanya, KH. Saifuddin Zuhri pergi ke pusat perdagangan Glodok. Tanpa harus merasa jatuh gengsi, dia berdagang beras kecil-kecilan demi menambah keuangan keluarga. Berdagang kecil-kecilan, baginya jauh lebih mulia ketimbang harus mendapatkan harta secara tidak halal dan memanfaatkan jabatan. Begitulah sekelumit keteladanan dari Bung Hatta dan KH. Saifuddin Zuhri.
Penulis: Siti Fatimah (Alumni FISIP UNAIR)