Kebakaran Pasar Baru dan Banjir di Tuban, Normatifnya Pewartaan Media Massa
Opini – Tanggal 4 Maret 2020, Kabupaten Tuban mengalami berbagai problem serius. Pertama adalah soal terbakarnya Pasar Baru Tuban, dan kedua yakni banjir yang sempat melanda wilayah Kota Tuban. Jika melihat pola dari problem tersebut, maka kita akan terbawa oleh pewartaan yang itu-itu saja. Infromatif sih iya, tapi kurang detail dan tidak ada upaya untuk melakukan analisis mendalam.
Seperti terkait kebakaran, selalu saja narasi yang dibawa oleh media terjebak dalam pernyataan normatif, seperti arus listrik pendek, putung rokok atau kompor meleduk. Tapi, tidak ada sisi kritis di dalamnya, misal melakukan investigasi mendalam. Mencoba mewawancarai orang di sekitar atau orang-orang yang ada di sekitar sana. Minimal mencoba membongkar logika, soal apakah ada kemungkinan lain selain hal itu.
Karena ada hal menarik jika berkaitan dengan kebakaran pasar, jika bicara hal yang normatif, maka kita perlu bertanya bagaimana sekuritas (keamanan) pasar, khususnya mitigasi kebakaran. Lalu, apakah ada cek dan kontrol dari pengelola agar meminimalisasi potensi kebakaran. Ini penting sebagai satu pelajaran, agar ke depan tidak terulang.
Selain itu, media juga hendaknya mempertanyakan, apakah mitigasi berjalan dengan sesuai prosedur, minimal ada SOP. Ini Selain itu penting juga soal peringatan dini, hingga relasinya dengan kesiapan Pemkab Tuban soal pemadam kebakaran. Pasalnya ini menjadi hal yang penting untuk jadi keresahan atau yang dirisaukan. Pasalnya narasi media pada umumnya terlalu normatif, tidak mencoba untuk menggali lebih dalam sebagai sarana refleksi.
Bahkan kalau lebih jauh bisa dikembangkan pertanyaan kritis? Apakah ini murni kebakaran? atau jangan-jangan ada hal lain. Misal ada dugaan pembangunan, relokasi hingga hal-hal terkait. Karena pola umum kebakaran pasar mayoritas selalu dibarengi dengan upaya pengembangan pasar, hingga relokasi pasar. Ini menjadi topik hangat yang akan membongkar suatu tragedi.
Selain pasar, tentu masalah banjir. Kota Tuban yang diguyur hujan hampir dua jam lebih, di beberapa jalan protokol bak berubah menjadi aliran sungai. Mulai sepanjang Pasar Baru Tuban, SMKN 1 Tuban, DPRD Tuban hingga RSNU. Berubah menjadi layaknya aliran sungai. Media pada umumnya mungkin akan memberitakan, peristiwa banjir dan konteks cepat surut.
Bukan itu, ada masalah serius yang dapat dianalisis lebih jauh. Banjir di kota Tuban sudah berapa kali terjadi? Pada intensitas hujan seperti apa? Apakah di tahun sebelumnya dengan intensitas hujan serupa juga mengalami banjir? Lalu apa yang menyebabkan? Mengapa ada yang menyebabkan? Hingga bagaimana prosesnya?
Tentu ini akan menampar banyak pihak, seperti dinas terkait yang mengurusi soal tata ruang, lingkungan hingga pembangunan. Lalu, kita akan dibawa ke satu pola narasi, lantas Perda Tata Ruang Kabupaten apakah sudah beres? implementasi Perda pun akan turut terkoneksi. Sehingga melihat banjir bukan sekedar peristiwa, atau yang penting cepat surut. Tetapi harus melihatnya inheren dengan transformasi kota, sampai pada tataran kebijakan.
Di sini kita akan dibawa pada sisi kritis, melihat peristiwa tak sekedar bencana. Tapi mengapa dan bagaimana bencana itu hadir. Di sini kita akan tahu apalah ada yang salah dengan regulasi? atau jangan-jangan ada sisi politis elite yang menghasilkan regulatory capture (proses pembuatan regulasi hingga seperti saat ini). Karena informasi tak sekedari memberitahu, tetapi juga mengajak berpikir analitis, sebagai bagian dari nalar kritis untuk mencari tahu problem serta solusinya.
Sudah seharusnya media merubah paradigmanya, tak sekedar mewartakan tetapi sebagai bagian dari kontrol, khususnya dalam konteks negara demokrasi. Karena media merupakan tumpuan dalam memberikan edukasi. Salah satu peran media adalah mencerdaskan masyarakat.
Sebagaimana dikatakan oleh Donohue dan Olien (1973) dalam “Mass media functions, knowledge and social control,” bahwa media massa tak sekedar mewartakan.Tetapi juga ada konteks pengetahuan, yakni mendorong suatu informasi mendalam guna menambah wawasan terkait suatu problem.
Selain itu sebagai bagian dari menginformasikan, ada juga peran di mana media dapat dijadikan sebagai medium untuk kontrol sosial. Hingga media yang tak bisa lepas dari konteks sosial politik. Secara umum media memiliki peran penting yakni informasi dan edukasi, sebagai bagian dari konteks kontrol itu sendiri.
Sudah seharusnya ada pembaruan pewartaan, tidak hanya sekedar mengejar sesuatu yang cepat namun minim esensi. Tetapi juga harus memiliki peran penting sebagai kontrol atas realitas, tentu keberpihakan itu penting. Tetapi media tentu ada yang memiliki, silahkan baca Ross Tapsell (2017) “Media power in Indonesia” yang diterjemahkan “Kuasa media di Indonesia.” Memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan media massa di Indonesia.
Artikel ini juga bagian dari “self criticism” untuk kami di beritabaru.co, ke depan harus memiliki fungsi pengetahuan dan kontrol sosial. [*]