Gratitude | Puisi-puisi Ruby Merah
Gratitude
Biru dan merah bata menyala dari kiri dan kanan,
mereka menyebutnya warna api.
Tapi yang terasa bukan panas melainkan kesejukan yang ganjil
merambat di setiap indra perasa
membuat pori membesar dan mengecil.
Lalu riuh di kepalamu itu, mulai berdesau lagi,
kacau dan tidak beraturan,
namun yang kau rasa hanya tenang,
karena pola acak perlahan-lahan terbentuk.
Banyak yang mencoba merapikannya,
biarkan saja!
Dia indah dengan segala ketidak teraturannya,
menjalar membentuk rangkaian-rangkaian yang tidak pernah kau lihat sebelumnya
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Lambat laun kau mulai sadar sekitar,
dari lubang angin, kau dengar kucing berkelahi,
suara guyuran air dari kamar mandi,
bau pekat kotoran tikus dan semut-semut merayap
di dinding putih yang kusam dan retak.
Saat matamu sudah benar-benar terbuka lebar,
kini kau sadar kembali pada realita,
indah, terpilin-pilin dan kompleks.
Kau tersenyum membayangkan seorang teman bertanya,
“Kawan dari mana cerita ini dimulai?”
Kau tersenyum penuh dan menjawab,
“Kawan, cerita ini bisa dimulai dari mana saja
dan bisa berakhir dengan tidak terduga-duga,
kuyakin keduanya akan sama indahnya.”
Cikini, penghujung 28 Juli 2022
Monumen
Aku ingin menjadi tangisan panjang lalu hilang, menjadi cerita yang diceritakan ulang, menjadi monumen yang hanya untuk dikenang. Dengan sepiring daging panggang dan segelas wine, serta tawa sebagai musik pengiringnya.
Tapi Nona,
Begitu banyak kesedihan sehingga tangisan itu redam. Seperti memar di sekujur tubuh yang enggan memudar. Begitu banyak cerita sedih sehingga enggan membuka suara, apalagi bercerita.
Kemarau panjang, tanah pun tandus dan gersang, seperti duka berkepanjangan. Sudah lama tidak ada perayaan di tanah ini, yang ada hanya desau panjang tentang rindu yang tidak bertuan. Tanah ini hanya dipenuhi debu dan puing dari monumen yang tidak pernah dibangun.
Tapi suara itu tenggelam dalam keheningan, seperti bicara pada bayangan sendiri. Pemuda itu sadar, kekasihnya sudah lama pergi dan yang tertinggal hanya sebuah bayangan, tanpa ia sadar, monumen itu sudah tegak berdiri, tidak ada yang benar-benar ingat sejak kapan ia ada di sana.
2011-2022,
Yogyakarta – Jakarta
Chain
Bersama angin dari timur dia kuundang, dan enggan untuk kembali. Dia datang membawa cerita sendu dari masa lampau yang tertahan di ujung lidah, dengan mimpi-mimpi yang sederhana dan terdengar begitu nyata, sampai aku nyaris percaya.
Di telingaku ia berbisik, “mari melarikan diri, bergerak bersama semesta, dan dibuat terkejut oleh rencana-rencana yang kita buat sendiri.”
Oh, dia sungguh indah sampai aku lupa dengan belenggu di kakiku dan jerat yang ada di leherku. Ah, kita manusia memang suka mengikat diri dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Kakiku masih tertahan, tidak bergerak, ku tatap matanya dalam dan pikiranku entah sudah kemana.
Student Castle l, 17 Mei 2020
Ruby Merah adalah penulis lepas yang (pernah) bercita-cita menggapai moksa.