Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sarah Monica bangkitnya kemurungan
Sarah Monica dalam acara bedah buku antologi puisi perdananya, “Bangkitnya Kemurungan,” pada Senin (20/11).

Sarah Monica, Diri yang Terus Mencari Kemurnian



Berita Baru- Sarah Monica merupakan aktivis, budayawan, serta penyair yang mengalami banyak tahap proses pembelajaran. Latarnya berasal dari Betawi yang kemudian pindah ke Bogor, membuatnya akrab dengan ekosistem perkotaan.

Menamatkan sarjana dan Pascasarjana di Universitas Indonesia, membuat Sarmon, panggilan akrabnya, melakukan perburuan kepada hal-hal baru dan asing di benaknya. Teori antropologi dari kampus ia gunakan untuk menyusuri lamat-lamat kebudayaan desa, sirkel pinggiran, hingga seniman dan budayawan.

Semangat penyusuran inilah yang menjadikan Sarmon memiliki lingkar pergaulan yang luas. Ia akrab dengan pesantren, bahkan termasuk menjadi jajaran pengurus pusat Lesbumi NU; lingkungan akademis yang membuatnya kerap melakukan riset budaya di berbagai daerah; hingga seniman kondang dengan pautan umur yang cukup jauh seperti Nasirun dan Uda Alfi, bisa ia akrabi.

Usaha menyingkap berbagai hal baru ini dirupakan oleh Sarah Monica dalam buku antologi puisi pertamanya yang berjudul, “Bangkitnya Kemurungan.” Di bedah di Svarga Coffee & Eatery, Jogja, pada Senin (20/11), puluhan orang yang hadir menyimak ‘kemurnian’ yang selama ini dijajaki.

Penulis lawas sekaligus pembedah, Heru Joni Putra, mengatakan bahwa keyword untuk membaca puisi-puisinya Sarmon adalah kemurnian. Yakni sebentuk perjalanan yang selalu dilakukan dalam upaya mencari ketransendenan yang menghampiri labirin-labirin masyarakat dari berbagai budaya.

Kemurnian itu didapat dari hasil perenungan yang mendalam. Genre yang diambil oleh Sarmon, kata Mas Heru, ialah puisi tentang puisi. Sebuah mode puisi yang jarang digunakan, penyair menggagaskan filosofinya tentang puisi, yang begitu nampak misalnya dalam puisi Sarmon berjudul “Kematian Puisi,” “Sarah Monica,” dan “Pengakuan.”

Memang cukup lama. Bangkitnya Kemurungan ditulis oleh Sarah Monica dalam rentang 13 tahun, dari 2010 hingga 2022. Rentang waktu yang cukup panjang ini menyuguhkan pembacaan atas perjalanan kehidupan yang penuh dengan kekacauan, penindasan, peperangan, serta kedukaan.

Bukan berguna atau tidak eksistensi puisi di tengah kacau balau kehidupan, buku karya Sarmon ini menjadi kawan perjalanan dalam dunia yang penuh duka, untuk terus menggali kemurnian-kemurnian, untuk hidup dalam tempo yang lebih lambat—tidak tergesa-gesa.

Tampak sekali, Sarmon memposisikan dirinya sebagai bagian dari semesta. Yang membuatnya merasa bahwa dirinya memiliki keterikatan yang kuat dengan entitas lain. Bahkan, ujar Mas Heru, Bangkitnya Kemurungan menjadi tanda bahwa penulis buku tersebut mampu menemukan kedalaman makna dan arti, ‘melebih’ makna dan arti yang disuguhkan dalam teori antropologi yang selama ini digeluti di kampus.

Raudal Tanjung Banua menyanjung Bangkitnya Kemurungan sebagai antologi puisi yang sudah matang, tidak tergesa-gesa, serta penuh dengan renungan spiritual. Dengan nada penuh nasihat, Nasirun berujar bahwa jalan Sarmon untuk menemukan dirinya lewat puisi. Jalan yang terus disusuri untuk mengenali diri yang sejati, yang akan mengantarkan pada muara Yang Transenden.

 

Sarah Monica 

Segalanya adalah tanya.

Di malam-malam menangis
di jalan-jalan panjang kerinduan
pergilah dalam pencarianmu
terbakarlah di palung dadamu.

Kau merasuki masa lampau
mencandu hikmah di bibir peristiwa.

Mata tempatmu belajar berbahasa
memenjarakanmu dalam semu
belantara segala nafsu.

Perjalananmu, Sarah Monica
menjauhi diri
demi mendekati keabadian,
mencuri misteri
dari bisik batu dan kebisingan,
mengintip kartu-kartu takdir
yang dimainkan Tuhan
lalu kau tertawakan.