Generasi Muda sebagai Penerus dalam Memperjuangkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat*
Oleh: Wahyu Eka Styawan**
Berita Baru, Opini – Bumi adalah rumah kita bersama, tempat yang menopang kehidupan. Namun, sudahkah kita selaras dengannya? Ini yang aneh. Alih-alih selaras, selama ini kita justru menempuh jalan penghancuran diri. Kita menghancurkan rumah yang kita naungi, mulai dari meningkatnya emisi karbon hingga deforestasi dan degradasi lahan. Aktivitas antropogenik selalu memiliki efek rusak pada ekosistem dan keanekaragaman hayati pada lingkungan kita, bukan?
Tidak banyak yang mengetahui bahwa Majelis Umum PBB (General Assembly of United Nation) telah mendeklarasikan periode 2011-2020 sebagai “Dekade Keanekaragaman Hayati.” Kita berada dalam periode terakhir dari dekade yang penting ini. Terlepas dari beberapa rencana dan inisiatif strategis untuk memobilisasi orang di berbagai tingkatan, kita tertinggal jauh dalam mencapai target yang ditetapkan.
Tren negatif dalam konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem menunjukkan bahwa kita perlu berbuat lebih banyak. Kaum muda merupakan bagian besar dari populasi dunia. Banyak mereka yang berusia muda, khususnya anak-anak, sangat rentan terhadap risiko lingkungan yang terkait dengan penggunaan atau pemanfaatan jasa lingkungan, misalnya, akses ke air minum yang bersih dan aman atau udara bersih. Selain itu, kaum muda harus hidup lebih lama dengan beban ganda. Ini semua sebagai konsekuensi atas keputusan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan yang dilakukan oleh orang tua mereka atau generasi yang lebih tua.
Generasi mendatang akan lebih banyak terbebani dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka akan terbayang-bayang oleh keputusan terkait sejauh mana mereka telah mengatasi masalah seperti penipisan sumber daya, hilangnya keanekaragaman hayati, dan limbah radioaktif yang terus melekat sampai puluhan tahun.
Berefleksi dan membangun kesadaran lingkungan hidup
Berangkat dari hal tersebut, penting untuk melakukan sebuah refleksi bahwa perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa mengenali persoalan dan proses belajar. Sebab kaum muda adalah pusat dari perubahan itu sendiri, terutama ketika mereka ditempatkan dengan baik untuk mempromosikan kesadaran lingkungan. Hampir mayoritas dari mereka memiliki akses informasi tentang lingkungan yang lebih baik, apalagi didorong melalui pendidikan.
Selain mendorong melalui pendidikan, kaum muda saat ini telah menjalani seluruh hidup mereka di era yang mana isu-isu lingkungan menjadi makanan sehari-hari. Ini mencakup cara berpikir dan berperilaku mereka berdasarkan pengalaman, kerisauan, dan kekhawatiran akan masa depan.
Di era ini banyak anak muda yang merasakan dampak dari kerusakan lingkungan seperti masifnya bencana akibat krisis iklim. Pengetahuan yang dibalut dengan pengalaman akan mendorong mereka untuk memperkenalkan ide-ide segar dan pandangan yang lebih luas serta luwes untuk mengatasi permasalahan saat ini.
Karena kaum muda memiliki kesadaran yang lebih kuat tentang isu-isu dan kepentingan yang lebih besar dalam keberlanjutan jangka panjang terkait lingkungan, peran dan kontribusi mereka sangat dibutuhkan. Di banyak negara, generasi yang tumbuh dewasa secara politik pada 1970-an telah mengorganisir dan membentuk gerakan lingkungan bahkan berpolitik.
Meluasnya gelombang gerakan lingkungan secara global banyak di antaranya diilhami kemunculan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Konferensi ini adalah tonggak awal bagaimana secara global isu lingkungan mulai jadi perhatian.
Sebelumnya banyak negara terutama mereka yang tergolong negara maju telah dibuat geger oleh buku berjudul “Silent Spring” karya Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962. Buku ini memotret kerusakan lingkungan di Amerika Serikat akibat masifnya industri pertanian yang menghancurkan ekosistem. Dari buku ini juga gerakan lingkungan mulai tumbuh, serta menjadi salah satu faktor pendorong mengapa konferensi Stockholm diselenggarakan.
Di Indonesia, kesadaran mengenai pentingnya keberlanjutan lingkungan mulai muncul memasuki medio 70an, di mana mulai banyak yang resah dengan kerusakan lingkungan, terutama semakin berkurangnya kawasan hutan dan mulai maraknya pencemaran oleh industri. Lalu memasuki tahun 1978, melalui inisasi Emil Salim selaku Menteri Lingkungan Hidup dibangunlah wadah koordinasi yang dinamakan kelompok sepuluh.
Kelompok ini diisi oleh orang-orang yang peduli dengan lingkungan hidup Indonesia dari berbagai profesi dan organisasi. Nantinya dari kelompok ini akan melahirkan organisasi lingkungan bernama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau dikenal WALHI pada 15 Oktober 1980. Organisasi ini menjadi konsorsium organisasi-organisasi yang peduli dengan masa depan lingkungan hidup di Indonesia, menjadi ruang dan wadah bagi elemen masyarakat sipil, pemuda, dan tentunya organisasi pecinta alam.
Pascaberdirinya WALHI mulai banyak organisasi lingkungan bermunculan, kondisi tersebut paling tidak memantik munculnya kesadaran tentang upaya penyelamatan lingkungan sebagai salah satu bekal untuk mendorong masa depan yang lebih baik. Perlu regenerasi untuk memperbanyak semangat penyelamatan lingkungan, karena kita tahu perjuangan untuk mendorong lingkungan hidup yang baik dan sehat sifatnya jangka panjang, bahkan sepanjang usia kita hidup.
Maka untuk memerangi pemudaran gerakan lingkungan, generasi baru perlu tampil ke depan. Mereka akan menghadapi tantangan karena tekanan dibawa ke arah yang berlawanan. Komersialisasi setiap bidang kehidupan juga mempengaruhi kaum muda. Selain itu, teknologi yang semakin menjauhkan orang dari dampak lingkungan dari keputusan konsumsi mereka tumbuh sejalan dengan globalisasi, lalu bertindak sebagai penghalang kesadaran lingkungan.
Anak muda harus bergerak demi lingkungan hidup
Mewakili keprihatinan generasi mendatang adalah pekerjaan rumah tersendiri, terutama dalam konteks pembuatan kebijakan di masa sekarang. Mereka hanya berpikir untuk jangka pendek tanpa melihat konsekuensi dari kebijakan yang mereka ambil.
Seringkali kebijakan mereka hanya berbicara ekonomi untuk jangka pendek yang bertumpu pada pengurasan habis-habisan sumber daya alam. Dalih yang digunakan masih sama yakni kesejahteraan, padahal apa yang mereka pikirkan sifatnya jangka pendek, tidak melihat apa konsekuensi yang dihasilkan dari eksploitasi besar-besaran sumber daya alam.
Sebagai kaum muda, terkadang kita merasa tidak memiliki kuasa, tidak berdaya dan tidak mampu mengambil tindakan, atau melakukan hal-hal yang benar-benar penting bagi kita, karena pemerintah dan perusahaan besarlah yang seringkali mengambil keputusan penting. Sementara perubahan besar hanya mungkin terjadi jika negara dan perusahaan mengubah kebijakan dan tindakan mereka, kita sebagai individu juga memiliki potensi untuk membuat perbedaan, baik melalui tindakan kecil atau inisiatif yang lebih besar.
Jangan lupa bahwa konsumen mendikte pasar, dan mereka dapat secara signifikan memengaruhi cara barang diproduksi dan diperdagangkan jika mereka memutuskan untuk mengubah kebiasaan konsumsi mereka. Sama halnya dalam sebuah negara, bahwa warga negara terutama kaum muda adalah yang punya kuasa untuk menentukan sebuah perubahan.
Sebagai penutup jangan alergi dengan politik, karena saat ini pemuda sebagai konstituen untuk jangka panjang, memiliki pengaruh yang dapat memanggil dan memaksa para pemimpin politik untuk memperhitungkan konsekuensi lingkungan jangka panjang dari keputusan mereka saat ini
*Catatan ini sebagai refleksi atas 42 tahun berdirinya WALHI dan pengantar diskusi deklarasi Mapala Panorama ITSNU Pasuruan pada 14 Oktober 2022
**Penulis adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur