Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Etnis Tionghoa, Diskriminasi, dan Trauma Politik
sumber: isimewa

Etnis Tionghoa, Diskriminasi, dan Trauma Politik



Billy Setiadi


Etnis Tionghoa sering dianggap bukan orang Indonesia, dipinggirkan, dianggap sebagai warga kelas dua, bahkan dibenci. Padahal tak sedikit dari mereka sudah merasa benar-benar menjadi orang Indonesia dan bagian dari Indonesia. Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia bukan hanya pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tapi telah ada pada zaman Kolonial Belanda. Ini dapat dilihat pada tahun 1740 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. Kurang lebih 10.000 orang etnis Tionghoa dibantai habis. Ini bertujuan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan etnis Tionghoa. 

 Kebencian terhadap orang Tionghoa diduga mulai terpupuk dengan ditampilkannya pengusaha Tionghoa untuk dijadikan sapi perah pemerintah. Pemerintah pada saat itu memunculkan pengusaha Tionghoa yang kurang baik tetapi dijadikan mitra, dan di lain pihak kebencian terhadap etnis Tionghoa disebarkan. Tujuannya jelas membuat pengusaha Tionghoa menjadi sapi perah dan mereka akan terus terikat dengan sistem yang secara jenius dibangun pada pemerintah saat itu. Sama jeniusnya dengan menyebarkan budaya korup pada aparat terkait hingga para aparat pun terikat kontrak tak resmi dengan itu.

Pada masa Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956. Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.

Sebutan Cina untuk etnis Tionghoa oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat pemilik tanah kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-lobi penguasa Tionghoa pada waktu itu tidak bisa menghindar dari sebagian elit etnis Tionghoa. Rasa dendam terhadap etnis Tionghoa semakin memberi kekuatan baru bagi perjuangan meminggirkan etnis Tionghoa. Disisi yang lain, bangkitnya semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang menunjukkan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Republik Indonesia.

Peristiwa kericuhan yang meledak tahun 1946 setelah revolusi Indonesia sangatlah kejam karena saat itu orang-orang Cina dibenci tak hanya dianggap sebagai pesaing ekonomi orang-orang pribumi tetapi juga dibenci sebagai kawan Belanda. Pada saat itu sepertinya “Nasionalisme Ekonomi” mempunyai peran dalam pelaksanaan sentimen secara brutal. 

Peristiwa ini diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden di tahun 1960, No. 10/1959 yang melarang “Orang Asing”  untuk melakukan perdagangan retail di daerah-daerah pelosok, dan kemudian dengan pemberontakan komunis tahun 1965 di mana Beijing dituduh telah mendalangi peristiwa ini, serangan terhadap orang Tionghoa menjadi menyebar secara luas tanpa kecuali. Dan sejak saat itu, perasan anti ‘Cina’ telah tertanam mendalam.

Pada masa Orde Baru, diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut. Banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang bersifat sangat mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Ini tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia. Di masa Orde Baru kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar, dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang untuk diperbincangkan. Rasisme diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Implikasinya adalah segala hal dikatakan SARA tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa adanya tindak lanjut berarti dari pemerintah. Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam. 

Fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis. Semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia seakan-akan hanya menjadi isapan jempol belaka.  Kericuhan anti ‘Cina’ terus menerus terjadi seperti “Pukulan Telak,” dengan kejadian puncak paling parah terjadi pada Mei 1998. Mungkin sebagian besar dari etnis Tionghoa masih menganggap hal itu sebagia ‘pil pahit’ hingga saat ini.

Keterlibatan orang Tionghoa dalam politik lokal selayaknya sudah terjadi sejak lama, dan dengan keahlian ekonomi dan kekuatanmya dalam ekonomi lokal, jaringan bisnis dan koneksi internasional mereka, mereka seharusnya dapat dengan mudah menjadi pemain utama. Walaupun begitu kenyataannya hanya sedikit dukungan yang datang dari komunitas mereka sendiri, politik masih dianggap hal yang ‘tabu’ dalam linmgkup etnis Tionghoa. Salah satu faktornya adalah akibat trauma dari kejahatan politik pada masa periode akhir pemerintahan Soekarno dan awal-awal tahun pemerintahan Orde Baru Soeharto masih cukup kuat. Generasi tua dari kalangan Tionnghoa masih belum dapat melupakan trauma masa lalu. Ingatan akan kerusuhan Mei 1998 dan dampaknya pada kalangan muda Tionghoa yang tetap takut bahwa mereka akan menjadi korban lagi bila politik nasional menjadi goyah lagi. Seperti para tetua mereka, merka juga merasakan bahwa cara yang paling aman untuk melindungi diri sendiri adalah dengan cara tidak terlibat dalam politik. 

Ada juga kenyataanya bahwa keterlibatan politik mempunyai resiko, ketika kompetisi politik menjadi tegang, banyak calon berlomba untuk mendapatkan posisi mungkin mencari jalan menggunakan isu ras melawan saingannya. Resiko lain adalah kemungkinan yang terjadi bila seorang keturunan Tionghoa yang terpilih gagal mewujudkan janji janjinya, kemungkinan akan ada konsekuensi yang harus ditanggung komunitasnya dan juga akan menciptakan streotipe buruk calon politisi lainnya dari keturunan. Karena faktor suku belum pernah dibahas secara terbuka sebagai sebuah subyek bahan pembicaraan dalam ajang politik Indonesia.

Setelah kerusuhan Mei 1998, situasi politik telah berubah, dan orang Tionghoa diperbolehkan untuk memasuki ajang politik di tingkat nasional dan juga di tingkat regional dan lokal, ini menunjukkan kelonggaran kebijakan pemerintah terhadap mereka. Ini tak bisa terlepas juga dari jasa-jasa Presiden ke-4 Indonesia, K.H Abdurrahman Wahid yang membela hak-hak kaum minoritas dan menegakan keadilan untuk kaum minoritas. Walaupun begitu, masih banyak dari masyarakat mempunyai sekumpulan ingatan dan juga sentimen dan antipati terhadap orang Tionghoa. Mungkin dengan lajunya demokiratisasi di Indonesia, satu periode transisi diperlukan untuk menyiapkan penyesuaian yang baik bagi semua pihak yang terkait. Oleh karena itu dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun ke depan seharusnya digunakan untuk membentuk komite bersama dari anggota publik dan akademisi terpilih dari berbagai suku bangsa termasuk orang Tionghoa, yang akan bekerja untuk menemukan cara terbaik dalam menghadapi ketegangan suku dan agama dalam sistem politik demokrasi Indonesia.

Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini jelas merupakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Padahal salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Walaupun mereka orang keturunan (bukan asli indonesia) tapi mereka telah berasimilasi dan mereka merasa diri mereka adalah orang Indonesia. Maka sudah selayaknya mereka mendapat perlakuan yang sama, dilindungi seperti warga negara Indonesia yang lain (pribumi); karena mereka juga bagian dari Bangsa Indonesia, Warga Negara Indonesia. Dan mari sama-sama bersatu dan berjuang untuk Indonesia yang lebih baik.


Penulis adalah pegiat perdamaian dan aktivis muda budhis Indonesia, asal Banten.