Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Di Stasiun Tugu,  Apa yang Kau Tunggu? | Puisi-Puisi Saifa Abidillah
Ilustrasi: Kibazor

Di Stasiun Tugu,  Apa yang Kau Tunggu? | Puisi-Puisi Saifa Abidillah



Di Stasiun Tugu,
Apa yang Kau Tunggu?

Kita tidak pernah benar-benar
menunggu kereta tiba, atau kota
menjadi sepi—

Kita hanya datang untuk berlalu
dan merasa bahagia karena sepi
berhasil pergi tanpa jeda.

“Di stasiun Tugu, apa yang kau tunggu?”
“Menunggu halu berlalu begitu saja,”
—Ilusi menimpali.   

Tidak mudah mendekati Ilusi,
dan membuatnya hahahihi manja.
Aku harus lebih pandai dari tupai,
lebih lihai dari tangkai yang menjuntai.

Jika tugas mencintai adalah mengayomi—
tugasku adalah, memecahkan rumus sepi
yang ranum di mata mungilnya yang jelita.  

“Aku ingin mengelilingi kota,
membunuh sepi di mataku,
dan memelukmu dengan ceria.”

Mungkin tak ada kata setia
layak menggantikan kata ‘iya’—

Iya, aku ada untuk cinta yang dungu.
Iya, aku selalu ada, untuk ia yang tidak
pernah memilih kata kembali.

Setelah lelah mengelilingi kota,
kita memutuskan duduk saja
di ketinggian parkiran Malioboro,

Tak jauh dari perlintasan rel kereta,
memandangi lalu lalang orang-orang,
yang mulai hilang ditelan malam hening.

Ilusi duduk di sampingku,
kugenggam lentik jarinya yang dingin,
dan kecemasan sedang sibuk
menjelma gerimis yang romantis.    

Sesekali, Ilusi menidurkan kepalanya
di bahu kiriku: “Aku sedang tidak ingin halu,
dan suatu saat nanti, aku ingin rindu.”

 Kita saling mencintai dengan
sembunyi-sembunyi, lebih rapi dari imaji,
lebih sunyi dari bunyi.    

Aku dan Ilusi tidak pernah memutuskan
untuk saling memiliki. Angin pergi, dan kita
sibuk berkemas merapikan sendiri-sendiri.

Basabasi, 2022

Klitih

Seperti rindu yang tiba-tiba datang
ingin membunuh dengan cara paling halu.   

Basabasi, 2022

Kisah Hantu Penunggu
Jembatan Merah

Bahkan kamu tidak sanggup melihatku,
matamu terlalu buta untuk menelisik—
aku ada, tak jauh di mana kau ada.   

Aku yang setia berdiri di perlintasan itu
memandangi bayi merahku,
rasa bersalah sedang memburu mataku.

“Pacarku memintaku
menggugurkan kandunganku,
kuliahku belum kelar,
dan aku belum siap menjadi ibu.”

Sebut saja, aku hantu penunggu bahasa,
dari pohon puisi yang angker itu.

Jika suatu waktu kau melintasi
jembatan merah penuh haru,
di situ ada kisah pilu tersembunyi
bernama aku, bukan kunti.

Lebih sunyi dari bahasa kota,
dari huru-hara Gejayan yang menawan
di mata orang-orang demonstran. 

Kamu bahkan tidak melihatku,
aku penunggu sunyi bahasa,
yang lebih pilu dari rindu,
lebih halu dari ilusi cinta penuh nafsu.   

 Bagaimana rasa bersalah tak mengintaiku,
bagaimana Tuhan tak menghukumku?

Basabasi, 2022

Berjalan Seperti Hantu
-Untuk George Orwell

Seperti Proteous tua,
orang-orang berjalan tanpa kepala
—tanpa masa depan. 

Hari-hari adalah kesedihan
yang dibukukan, disembunyikan
di rak-rak perpustakaan kota.

Basabasi, 2022

Jembatan Kereta di Serayu

Adakah telingamu masih mendengar
seseorang di kejauhan sedang
memainkan gamelan malam-malam?

Basabasi, 2022

Kepada Mata

Betapa pendek jarak pandangku
jika kau melihat mataku,
aku tak bisa melihat matamu.

Matamu adalah matahari
sebuah kehidupan yang
diinginkan banyak orang.

Basabasi, 2022

Pada Pantai Kesirat

Ada yang tak ingin terlewat
dan tak tercatat pada pantai Kesirat

Angin yang berat, dan ombak yang bengkak
pada tebing batu yang gagu. 

Sebuah muslihat dari rindu yang biru
dan garis cinta yang tak akurat.

Pada jalan yang menjalar
di punggung bukit Gunung Kidul,

Kita terus bertanya-tanya,
dalam dingin angin yang mengerikan.

Bagaimana kita bisa sampai di tempat ini
penuh siasat yang bullshit,

dan bagaimana kita memulai
sebuah kisah yang landai pada pantai?

Mainmain, 2020-2022

Sungai Mudal

Hanya kegilaan yang benar-benar
akan menyatukan kita,

Tentang hal yang tak masuk asal,
dan sulit disangkal,

bahwa kita adalah kisah
bukan kasih yang benar bersih, 

yang tak sengaja ditulis Tuhan 
dengan mata terbuka.

Dan mungkin hanya angin hutan,
hanya dingin perasaan yang terbantun
di air terjun.

“Apakah kita sedang bermain-main
dengan harapan?”

Mainmain, 2020-2022

Gunung Andong

Setiap pendaki adalah pemburu matahari,
deru sepi yang meledak di semak-semak. 

Dingin yang dianyam pohon-pohon,
awan-awan yang disulam udara malam.

Tubuh ringkih yang dipeluk dingin kata.
Dan kamu yang hibuk,

sibuk menghitung
jumlah batu pada langkah kaki.  

Dan kecemasan harus disingkirkan
dari licin hujan yang membekas

di basah tanah, dari lembah indah
yang tak terjamah rumah-rumah.

Alkindi, 2022

Pada Pantai Watulumbung

Pada ceruk pantai yang aduhai,
kutemui sepasang batu,
seperti kata yang sedang menunggu.

Menunggu di depan pintu,
tak menggerutu atau mencaci:
“Kapan kau akan kembali untukku?”

“Aku kangen.”
Ucap kata berkaca-kaca.
“Aku mohon, kamu tidak pergi lagi.”

“Aku lelah mencari kamu.
Menunggu bukan perkara mudah.”
Lalu kata memelukku,
sebagaimana aku memeluk pantai.

Sedang aku tidak punya
kata-kata lagi selain pelukan.

“Untuk mencintai tidak butuh
kata, atau suara, biarkan rasa
yang bekerja.”

Mainmain, 2022

Hibiscus

Ibumu adalah bunga sepatu,
merah menggoda, penuh tanda tanya.

Ibumu, laut yang menyimpan matahari,
mataair yang memancar
dari cahaya hutan agama.

Ibumu, ketenangan sebuah danau,
gemuruh gunung berapi
yang mencemaskan masyarakat dunia.

Ibumu, adalah perlambang
kegetiran terhadap hidup yang gaib,
magrib yang gesit. 

Ibumu adalah seseorang yang paling
mencintaimu.

Mainmain, 2022

Aku dan Mata Malamku

Aku dan mata malamku
duduk berdua, senada dan tak bicara.

Aku dan mata malamku
saling memendam
rasa kangen yang tertimbun dingin.

Aku dan mata malamku
saling mengagumi dalam diam,

malam yang menyembunyikan
kesedihan dari rasa kantuk
yang bertumpuk di meja makan.

Aku dan mata malamku
ingin tinggal lebih lama,
dan tak ingin tanggal dalam gema.

Aku dan mata malamku,
suara yang tertahan di udara,
bara yang tak ingin melupakan nyala.

Alkindi, 2022

Penuh

Mencintaimu adalah mencintai
adalah kesabaran yang diajarkan
nabi-nabi.

Sebagai jalan lapang,
sebagai ladang ketenangan.

Tapi apakah cinta, melulu soal
kedamaian, dan kegembiraan?

Tidak cintaku, kecemasan
dan kegetiran sepenuhnya
menjadi milikku.

Mencintaimu, lebih tepatnya
adalah usaha mencintai
kecemasanku sendiri.

Aku berusaha memeluk 
kecemasanku, sebagaimana aku
ingin memelukmu penuh cinta.

Menenangkan diriku sendiri,
dan mengatakan bahwa aku
Selalu ada untuk cinta,
untuk kita, hari ini dan esok hari.

Mainmain, 2022

Tempat Terbaik
untuk Patah Hati

menjauh dari keramaian
duduk sendiri di tengah-tengah sepi
dan memejamkan mata.

Tidak ada sesuatu yang perlu
dicemaskan, atau didengarkan,
kecuali detak jantung sendiri.

Cinta adalah ilusi mata
yang mesti dijauhi.
Tidak ada yang perlu dipercaya,
atau merasa perlu dipercaya.

Segalanya adalah kegelapan
dari harapan yang plinplan.
Dan kebohongan terbesar dalam
mencintai adalah tidak dicintai.

 Kebohongan demi kebohongan
dilakukan dengan sengaja:

“Segalanya butuh pengorbanan,
butuh pembuktian?”

Mainmain, 2022

Gerimis Pada Sebuah Kafe

Tidak terdengar deru angin pada hijau padi,
hanya desis gerimis yang lebih liris
berbicara rencana hari esok yang rontok.

Berbicara tentang pertemuan
dan kisah cinta yang merah jambu,
pada rumput basah di pematang,
pada bunga-bunga di taman keheningan.

Tidak ada melankolia di sini,
tidak ada kamu,
dan manusia terlalu sibuk berbicara
tentang dirinya sendiri.

Tentang hal-hal yang belum
dan telah usai.

Mainmain, 2022


Saifa Abidillah lahir di Sumenep, kini tinggal di Yogjakarta. Bekerja sebagai editor, dan konten kreator. Buku terbaru Kuil Bawah Laut (Penerbit Basabasi, 2021).