Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kisah Kemurungan Dunia | Puisi: Faisal Kamandobat
Gut Feeling by EyeYah Magazine

Kisah Kemurungan Dunia | Puisi: Faisal Kamandobat



Kisah Kemurungan Dunia

I

Silsilah kemurungan dunia
Bermula
Ketika Adam takjub
Menyaksikan segala yang ia namai
Lantas menjadi miliknya

Sejak itu
Anak cucunya sulit berlaku adil
Berbagi di dunia baru
Setelah jatuh dari firdaus

Di firdaus
Tetes keringat bukan mata uang
Untuk mendapatkan lebih
Daging domba dan butir garam—
Hidup cukup mengikuti
Lingkaran tahun

Dengan sikap setia
Pada ladang dan perburuan
Berbagi hasil kerja semusim
Dengan kerabat dan ternak
Serta Penguasa
Jagad kecil seluas rasa syukur

Menjalani hidup dengan mengalami
Lebih murni
Daripada dengan memikirkan—
Kita akan mengenal segalanya
Setiap kali melihat sesuatu
Diri tak tersendiri dari alam
Merasa satu kerabat
Dengan tumbuhan dan binatang

Demikianlah
Pada masa cahaya bintang
Belum disalin ke dalam bahasa
Ilmu dan puisi belum membanjiri dunia
Cukup mengikuti hukum alam
Manusia bisa menjadi bijak dan bahagia
Sebagaimana burung terbang
Dan ikan berenang

II

Kita meninggalkan zaman purba
Tanpa ucapan selamat tinggal
Dan terimakasih
Kita hapus surat wasiatnya
Dan menganggap warisan-warisan mereka
Sebagai temuan kita

Kita jelajahi peta buta
Menaklukkan bangsa-bangsa dan waktu
Memasuki dongeng-dongeng magis
Kuil-kuil suci dan  paras-paras keramat
Dari kubur batu, kubur waktu
Kita angkut sosok-sosoknya
Untuk diurai teka-teki aksaranya
Demi menemukan jalan rahasia
Menuju firdaus yang silam

Tapi tata-cara yang kita lakukan
Justru menjauhkan dari tujuan—
Kita mengambil sosok-sosoknya
Mengumpulkan wawasan-wawasannya
Tapi meninggalkan cahaya
Dan semangatnya
Seperti hukum Zeno, kita semakin berjarak
Di saat kita semakin dekat

Dan museum-museum dunia
Menjadi kuil pengasingan
Bagi anak-cucu Adam—
Mereka telah mempelajari
Warisan para moyang
Tapi kunjung bisa
Bicara dengan alam
Berdoa dengan aneka tumbuhan
Serta warna-warni dan aroma bunga

Mereka tak lebih bahagia
Dari buah ketela
Yang setia pada cara alam bekerja
Dan menemukan Tuhan
Lewat setiap musim dan cuaca
Yang memberinya daging dan warna

III

Seribu milenium belum cukup
Untuk membuat Adam
Menjadi dewasa
Entah berapa tahap evolusi lagi
Agar ia merasa sempurna
Sementara revolusi-revolusi
Selalu melahirkan derita yang sama

Untuk melunasi rasa bersalah
Atashilangnya surga
Kuil-kuil baru perlu didirikan
Ritual-ritual baru dibuat
Dan cara hidup baru diperkenalkan
Semua dibuat semaju mungkin
Agar tidak terlalu jauh dari tujuan

Jika pada masa sebelumnya
Manusia dan alam hidup sejajar
Maka untuk menaklukkannya
Manusia mesti lebih tinggi
Dari seluruh alam dan hukum-hukumnya
Menggantikan posisi para dewa
Yang telah mereka pindahkan
Ke dalam museum dan alun-alun

Agar semakin dekat dengan Tuhan
Seluruh aturan lama pun dipugar:
Mitos-mitos digubah dengan sains
Yang lebih teruji dan meyakinkan
Agama yang rumit diganti
Dengan ideologi yang lebih praktis
Adat diubah jadi negara dan undang-undang
Agar meriah dan menghasilkan uang
Ritual-ritual diganti menjadi festival

Perlu berabad-abad untuk menerapkan
Seluruh tatanan baru
Diperlukan perang yang tidak sedikit
Dengan jutaan pahlwanan dan pengkhianat
Para pemodal, penemu dan penjelajah
Juga penjara dan kamp kerja paksa
Di sudut-sudut dunia

Sekarang, hampir seluruh penduduk bumi
Telah menjadi buruh
Dari puataran mesin, uang dan barang
Para lelaki telah lupa menjadi ayah
Dan perempuan enggan menjadi ibu
Sebagian kecil yang lain
Menjadi seniman, aktivis, politisi
Dan orang-orang papa

IV.

Misi kita di bumi telah gagal
Kita tak berhasil menjadi Adam
Di planet ini—
Karena ulah kita, bumi
Tampak seperti pengelana lusuh
Di lintasan sunyi jagad raya

Sejumlah insan terpilih
Yang tak mau larut dalam keluhan kuno
Menganggap firdaus Adam
Bukan berupa kebajikan masa silam
Tapi hunian baru di luar bumi

Peta jagad raya telah digelar
Kapal-kapal dipersiapkan
Seperti kain, ruang dan waktu akan dilipat
Manusia akan berubah jadi pijar api
Atau kilatan cahaya
Yang menembus dinding kesunyian
Pada gugusan alam semesta

Dan jika firdaus itu ternyata tiada
Mereka akan membuatnya
Dengan mimpi, rasa bersalah dan derita
Dan seperti semua revolusi
Akan lahir para pahlawan, korban
Dan model negara baru—
Sebagaimana azas kepantasan dan keharusan
Yang berlaku

Kelak, seluruh bumi akan menjelama
Museum kesunyian
Yang diziarahi anak cucu Adam
Barang-barang masa kini
Akan menjadi artefak dan cenderamata
Bagi para pelancong dari planet lain

Sebagian insan yang tersisa
Akan dipertahankan cara hidupnya
Sambil sesekali diundang ke luar angkasa
Untuk memberi ceramah
Tentang jalan kebahagiaan sejati
Dan seperti biasa, semua tampak percaya

V.

Telah kubuka lebih banyak ruang
Dalam seniku
Untuk mimpi-mimpi yang patah
Kebenaran-kebenaran yang terbengkalai
Sejarah yang melata
Perahu-perahu kecil kemanusiaan
Di lautan sejarah penderitaan dunia

Mereka bicara tanpa nama-nama
Tanpa jenis kelamin dan kewarganegaan
Menjadi musafir tanpa tempat tinggal
Keyakinan dan suku bangsa
Mereka bernyanyi tanpa nada
Tiada yang mengenal
Dan mendengarkan

Sesekali mereka mengunjungi kita
Muncul dalam mimpi-mimpi
Yang menimbulkan igauan panjang
Gemanya dapat terlihat
Pada kedip bintang terjauh
Tapi sosoknya lebih dekat
Dari kata-kata yang kita ucapkan

Mereka adalah ruh yang tercecer
Dari buku-buku
Potongan gagasan yang terabaikan
Di pusat-pusat penelitian dan pengembangan
Narasi-narasi yang terbuang
Dari karya sastra
Nada yang lenyap dari sebuah komposisi

Kalian semua, masuklah
Ke dalam puisi-puisiku
Dan kendarailah gelombang zarah
Dari diksi-diksinya
Untuk menyapa anak-cucu Adam
Dari berbagai kawasan dan zaman

Kehadiran kalian tak akan menebus
Rasa bersalah atas hilangnya firdaus
Yang menyelimuti seluruh peradaban
Dengan kemurungan
Tapi setidaknya dapat membuka
Pintu kebahagiaan
Melalui jalan penerimaan

2017

Drama Tengah Malam

Lihat, bagaimana aku menjadi hantu:
Untuk menjelajahi bumi dan langit,
Jiwaku mesti mengendalikan
Jasad ketakutanku.
Kukenakan jubah putih
Sebagai sayap, sekaligus tanda
Aku berasal dari alam setengah abadi.
Seperti angin, wajahku penuh lamunan;
Aku menghuni dunia yang hampir mustahil,
Dan dari sanalah aku datang kepadamu.
Aku suka berdiam di pohon-pohon
Yang lebih besar dari pikiran manusia;
Atau berkemah di tanah-tanah kosong,
Rumah-rumah kosong, jiwa-jiwa kosong.

Seperti malam kelam tanpa batas,
Tanah airku segala yang membuat
Manusia merasa kecil dan terpencil.

Panggil aku dengan mantra dan sesaji!
Kutuk aku dengan mantra dan sesaji!
Aku ratu khayali, antara ada dan tiada,
Menguasai jagad sempit dan sementara
Kerajaan manusia.

Lakon yang kuperankan usai sudah.
Saatnya kakiku menginjak tanah,
Turun dari ranjang kecil di kamarku.

2012

Kelahiran

Aku puisi yang belum dituliskan;
Wujud gaib, tak berwajah, tak berkaki,
Seluruh diriku jantung yang tembus pandang,
Berdenyut, melata;
Sayapku mengembang penuh cinta,
Sehangat nafas, selembut angin,
Seluruh semesta tempat tinggalku.

Lihat, planet-planet tergelincir
Ke dalam nadaku;
Segala apa dan siapa, jejak langkahku.
Aku telah menjelajah wilayah
Yang sama luasnya dengan Tuhan,
Aku ingin berbagi rahasia
Yang sama ganjilnya dengan igauan;
Adakah kau mendengar?

Derita ini memanjat menara daging tubuhmu,
Hasrat itu menyala di ubun-ubun;
O, neraka di ketinggian!
Kuangkat dunia yang sekarat
Menahan mayat waktu,
Kubungkus jeritannya dengan
Lambang suci kemusnahanku,
Ke dalam sungai darah mengalirlah aku
Ke dalam matamu sirnalah aku.

Dan saat kau buka sejarah
Aku telah menjelma pagi dalam peristiwa matimu;
Menjumpai setiap wujud, membakarnya,
Menyulut batu matahari di otakmu;
Adakah kau mendengar ledakanku?

Aku puisi yang belum dituliskan;
Wujud gaib, tak berwajah, tak berkaki,
Seluruh diriku jantung yang tembus pandang,
Berdenyut, melata;
Memohon sepotong kata dari jiwamu
Untuk kukenakan dalam pesta
Kelahiran dunia ini.

2012


Kisah Kemurungan Dunia | Puisi: Faisal Kamandobat

Faisal Kamandobat adalah seorang kurator pameran; penyair dan peminat seni rupa, peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI), Jakarta.