Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Covid-19
(Foto: istimewa)

COVID-19 dapat Memicu Kemiskinan Lebih Parah dari Krisis 1998



Berita Baru, Jakarta – Merebaknya kasus corona virus disease 2019 atau COVID-19 mulai ditanggapi oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 27 Januari 2020, di mana ketika itu Kota Wuhan di Provinsi Hubei China telah dinyatakan karantina.

Saat itu Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa virus corona belum terdeteksi di Indonesia. Dalam rakaman awak media, banyak pejabat tinggi negara justru terkesan tidak khawatir dengan virus tersebut, sehingga sebagian diantaranya menjadikan bahan bercandaan.

Sampai akhirnya pada 2 Maret 2020, ketegangan mulai terasa ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan sendiri bahwa dua orang wargan negara Indonesia telah positif terinfeksi COVID-19. Dalam pengumuman yang disiarkan langsung oleh sejumlah media televisi tersebut, Presiden menyatakan Indonesia telah siap menghadapi COVID-19.

Berdasarkan pembaruan informasi dari Gugus Tugas Penanganan COVID-19 tingkat nasional, sampai hari Selasa (31/3) telah teridentifikasi 1.528 kasus dan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 136 orang. Adapun 81 orang lainnya dilaporkan telah berhasil disembuhkan.

Dalam pidato melalui videoconference dari Istana Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (31/3), Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah telah menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit dengan faktor resiko yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dan oleh karenanya, pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat.

9,2 juta pekerja informal Paling Terdampak COVID-19

Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Outreach – The SMERU Institute Athia Yumna menjelaskan bahwa wabah COVID-19 memiliki efek jangka pendek pada angka kemiskinan dan jumlah orang miskin. Untuk efek jangka panjang, menurutnya sangat ditentukan oleh seberapa respon pemerintah dan masyarakat.

COVID-19 dapat Memicu Kemiskinan Lebih Parah dari Krisis 1998
Athia Yumma

Athia menguraikan bahwa dampak COVID-19 telah melanda sektor informal di wilayah perkotaan di wilayah episentrum wabah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Berdasarkan data yang ia olah dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Agustus 2019, ia menjelaskan bahwa ketiga daerah tersebut memiliki 32 persen pekerja informal dibandingkan total pekerja informal di Indonesia.

“Ketiga provinsi tersebut memiliki 9,2 juta pekerja informal atau sekitar 48% dari seluruh pekerja informal di Jawa atau 32% dari seluruh pekerja informal di Indonesia”. Tutur Athia.

Selain itu, merujuk kepada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan September 2019, Athia menguraikan bahwa ketiga provinsi tersebut juga merupakan rumah bagi hampir 50 persen orang miskin perkotaan di Jawa atau sekitar 30 persen orang miskin perkotaan seluruh Indonesia.

Mencermati perkembangan yang ada sekarang, lanjut Athia, maka seharusnya dampak awal dari COVID-19 terhadap angka kemiskinan dapat dipantau dari data SUSENAS Maret 2020. Namun sayang, berdasdarkan informasi dari BPS, pengumpulan data SUSENAS pada Maret 2020 yang sedang berjalan terpaksa dihentikan.

“Skenario terburuknya, kita baru akan dapat update terbaru angka kemiskinan pada September 2020”.  Ucapnya.

Ia memprediksi, jika kebijakan karantina wilayah tidak bisa dilaksanakan, atau penduduk migran perkotaan mudik ke daerah atau kampungnya, maka dampak wabah ini terhadap kemiskinan juga akan menjalar ke wilayah perdesaan. Tidak hanya di Jawa, tetapi juga di seluruh Indonesia.

“Peningkatan angka kemiskinan atau jumlah orang miskin baru secara jangka pendek baru akan terlihat pada data SUSENAS September 2020. Jika mau melakukan proyeksi harus dilakukan dengan pemodelan berbagai scenario, sayangnya belum bisa kami lakukan sekarang”. Tutupnya.

Kemiskinan Bisa Naik Tiga Kali Lipat

Sementara itu Direktur Eksekutif The Prakarsa Ahmad Maftuchan juga memberikan beberapa analisis terkait dampak COVID-19 yang semakin merebak di Indonesia. The Prakarsa sendiri merupakan sebuah lembaga riset-advokasi independen yang dikenal intens mempromosikan penggunaan instrumen Multidimensional Poverty Index (MPI) untuk menilai tingkat kemiskinan secara mendalam.

COVID-19 dapat Memicu Kemiskinan Lebih Parah dari Krisis 1998
Ahmad Maftuchan

Menurut Maftuchan, fakta lapangan terkait dampak buruk COVID-19 di Indonesia tidak terbantahkan. Apabila pemerintah tidak membuat pendekatan yang luar biasa, maka akan meninggalkan situasi sulit dalam jangka panjang.

Ia juga memprediksi dampak paling mengerikan dari pandemik COVID-19 ini adalah pengaruhnya terhadap kemiskinan. Berdasarkan perhitungannya, Maftuch menilai potensi peningkatan kemiskinan bisa lebih parah dari masa krisis ekonomi tahun 1998.

“Angka kemiskinan bisa naik drastis, bahkan dapat melampaui kemiskinan pada masa krisis ekonomi tahun 1998. Bisa melampaui 30 persen lebih, atau tiga kali lipat dari kondisi saat ini”. Jelas Maftuch.

Untuk mengatasi persoalan ini, Maftuch mengusulkan agar pemerintah segera memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak dengan menggunakan pendekatan universal. Agar tidak terbebani dengan exclusion error and inclusion error dalam penyaluran, ia mengajukan agar kelompok tertentu seperti lansia, difabel, kepala rumah tangga perempuan diberikan bantuan secara universal, tanpa terkecuali.

“Jenis bantuanya berupa uang cash dan barang. Keduanya harus sama-sama diberikan. Bantuan tunai dan non tunai harus diberikan, sehingga masyarakat terjamin logistiknya, dan tetap mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Ungkapnya.

Untuk menjaga agar masyarakat tidak terlalu terpuruk dalam jurang kemiskinan, Maftuch menyarakan agar pemerintah memberikan bantuan tunai dengan nilai setara dengan garis kemiskinan, yaitu Rp2 juta rupiah. [Hp]