Ceracau Si Gila | Puisi-Puisi Muhammad Ali Fakih
Ceracau Si Gila
Dunia penuh mawar
dan aku ingin menciumnya sepanjang hari:
mencium bibirmu yang adalah kesedihanku
Cinta serupa musik yang memancar
dari kilatan pedang para pemabuk
Dan dari ujung pedang itu meneteslah
darahku dan darahmu
Saat musim kemarau tiba
orang-orang mencela, “Betapa menyedihkan pohon ini!
Meski tanpa daun dan buah
akarnya makin mencengkeram tanah”
Han Na o Han Na, katakan kepadaku
kematian macam apa
yang tak akan menundukkan kepala
di hadapan mata si gila?
Sungguh menyenangkan usiaku lewat sia-sia
karena membayangkanmu
Tersenyum-senyum sendiri melihat wajahmu
meloncat dari satu benda ke benda lain
Menangis tersedu-sedu di kala teringat
kau dan aku tak mungkin bisa bersama
Agama kita beda, suku kita beda
Tapi langit toh mengabarkan keindahannya lewat awan
Hutan berbicara dalam cericit burung-burung
Mari berlayar bersamaku, Han Na
Hapus air matamu dan rebahlah ke pundakku
Prahara akan ditanggung oleh setiap perahu di laut mana pun
Prahara akan ditanggung oleh setiap perahu di laut mana pun
Jogokariyan, 2014
Di Puncak Bukit Seruni
Di puncak bukit Seruni
aku berteriak
memanggil namamu
Aku panggil namamu berkali-kali
Padahal kau berada di sampingku
tertawa-tawa kecil dan berucap: gila!
Betapa jika kau tahu
Aku ingin suaraku membawa namamu
menembus gumpalan kabut di lembah-lembah
di pohon-pohon pinus yang diselimuti hawa dingin
Menembus cakrawala riang dan duka cita
Aku ingin suaraku dan namamu
sampai di masa depan dan bernyanyi
untuk kedatangan kita
dengan cinta yang penuh
Tak akan ada lagi pertengkaran
atau rasa kesal atau kemarahan memburu kita
Kita akan murni sebagai musik
mengalun dari dalam jiwa yang tunggal
Tetapi jika aku datang sendiri, aku akan berkata:
Jangan bersedih, o suara dan nama
Jiwanya ada dalam tubuhku
Sebab jika tidak, aku tak akan pernah ke mari
Aku tak akan pernah datang ke dunia ini
Lihatlah ke dalam mataku
mimpi-mimpinya masih menyala
Matanya yang sipit saat tersenyum
pipinya yang kembung saat cemberut
dan keseluruhan dirinya
masih tersimpan rapi
dalam ingatanku
Jangan menangis, o suara dan nama
Aku telah cukup bahagia bahwa nasib
pernah mempersembahkannya kepadaku
Bahwa semenjak dari puncak bukit Seruni
telah kuhadiahkan nafas dan usiaku
untuk seorang perempuan
Bogor-Yogyakarta, 2013
Zhu Ni Sheng Ri Kuaile, Siocia
[1]
Alam bisu, lembab, dan luguMalam, dan segala yang bernama malammenampung bahasa benda-benda langitdi mulutku yang gemetar dan kebak oleh cinta
Ucapkan! – seru mereka
Dan aku pun berteriak
kepada sosok yang kucipta dalam benak:
“Zhu ni sheng ri kuaile, Siocia!”
[2]
Cahaya lampu jalan terbaring
di daun-daun pohon palma
dan pulas di atas alunan instrumentalia
Sedang aku, mimpi yang tercipta dari namamu
bertanya kepada waktu: cukupkah usia
barkata banyak tentang dirimu?
Tetapi waktu, dengan wajah layu, hanya mendesah:
“Zhu ni sheng ri kuaile, Siocia!”
[3]
Samar-samar musik memainkan udaraDan ketika kuiringi ia dengan nyanyisesosok peri mengangkat suarakuke langit Jakarta, 27 tahun yang lalu
Tatkala suara tangis bayi pecah
dan ucapan dikirim dari segala arah:
“Zhu ni sheng ri kuaile, Siocia!”
[4]
Pada jam itu, saat segalanya terbaring
O kelahiran yang menatap surga
kau dengarkah nyanyiku berlayar
di danau air mata seorang perempuan?
Saat segalanya terbaring
tak kau dengarkah bedug masjid dan lonceng gereja
dipukul pada saat yang sama
untuk cinta yang memancar dari kalimat yang sama:
“Zhu ni sheng ri kuaile, Siocia!”
[5]
Aku bernyanyi dan kau tertawa
Sedang malaikat, mahluk yang tolol soal cinta itu
menitikkan air mata
ketika ia buka lembaran takdirmu
di mana tak terbubuh namaku
Tetapi aku akan terus bernyanyi
hingga kelak tak dapat kudengar suaramu lagi
dan hanya di hadapan potretmu aku dapat berkata:
“Zhu ni sheng ri kuaile, Siocia!”
Selalu Ada yang Menarikku dari Belakang
Selalu ada yang menarikku dari belakang
tapi ketika aku menoleh, ia sudah tak ada
Aku hanya melihat ujung jauh
yang menyimpan pedih itu
Pohon-pohon berbaris sepanjang jalan
Melambaikan daun-daunnya kepadaku
Aku menangis, aku menangis
tapi untuk siapakah air mata ini
Di langit masih tercatat tempat-tempat itu
di mana aku, seperti juga malam
tak pernah mampu lari dari kegelapan
Di depan, di manakah gerbang?
Di hati, ke mana lagikah sunyi?
Matahari telah begitu condong
dan bayangan tubuh kian memanjang
Sementara lonceng belum berbunyi
dan mungkin tak akan berbunyi lagi
Dasuk, 2009
Muhammad Ali Fakih, lahir di Sumenep (Madura). Tulisan-tulisannya berupa puisi, esai, cerpen dan artikel dimuat di sejumlah buku antologi bersama serta di beberapa media cetak dan elektronik. Buku puisinya antara lain Di Laut Musik (Cantrik Pustaka) dan Ceracau Si Gila (Penerbit Basabasi).