Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

BEM RI Desak Pemerintah Evaluasi Penyaluran BBM Bersubsidi

BEM RI Desak Pemerintah Evaluasi Penyaluran BBM Bersubsidi



Berita Baru, Jakarta – Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Indonesia (BEM RI) melihat dampak dari naiknya harga minyak dunia tidak hanya dialami Indonesia. Negara-negara lain termasuk negara-negara maju di Eropa juga mengalami situasi yang sama. 

“Harga-harga komoditas meroket secara signifikan, termasuk BBM, gas, dan pupuk. Situasi ini berpengaruh kepada seluruh kawasan dan negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia,” kata Koordinator Pusat BEM Republik Indonesia, Abdul Muhtar kepada Beritabaru.co, Rabu (31/8).

Menurutnya, pada tataran nasional, fenomena global tersebut juga mempengaruhi postur dan membebani APBN Tahun Anggaran (TA) 2022, yang telah menyisihkan dana Rp.502 triliun untuk keperluan subsidi dan kompensasi bagi BBM, gas, dan listrik. 

“Jika pemerintah mempertahankan harga BBM dan gas bersubsidi seperti saat ini, yang jauh berada di bawah harga keekonomiannya, maka pada TA 2023 yang akan datang, pemerintah diharuskan untuk “top-up” Rp.198 triliun, sehingga total subsidi dan kompensasi akan mencapai Rp.700 triliun,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Abdul Muhtar, pada APBN Tahun Anggaran 2022,  pemerintah masih diharuskan  menyisihkan dana untuk Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp.695,2 triliun, belum lagi dana untuk terus memitigasi Pandemi Covid-19. 

“Hal yang sama juga akan dilakukan oleh pemerintah untuk Tahun Anggaran 2023,” tuturnya.

Ia pun memandang, dengan kondisi ini pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam beberapa minggu ke depan. 

“Yaitu apakah tetap mempertahankan harga BBM dan gas bersubsidi, dengan kemungkinan terburuk APBN sebagai instrumen penggerak pertumbuhan ekonomi kehilangan fungsi dan daya dorongnya, atau menaikkan harga komoditas tersebut, yang diimbangi dengan kenaikan BLT/Bansos bagi masyarakat yang membutuhkan, agar konsumsi domestik dan inflasi tetap terjaga,” jelas Abdul Muhtar.

Lebih lanjut ia menyebut, berdasarkan ‘common sense”, kenaikan harga tampaknya tidak dapat dihindari, demi menyelamatkan keuangan negara, mengingat dana subsidi BBM Tahun Anggaran 2022 juga akan terserap habis pada bulan November 2022 yang akan datang.

Menurut Abdul Muhtar, penting diteliti juga kembali siapa sebenarnya mayoritas pengguna BBM Bersubsidi? Benarkah rakyat kecil, rakyat miskin, yang selama ini digaungkan untuk mendapatkan pembelaan?

“Faktanya pada BBM Bersubsidi, contohnya Pertalite, pengguna terbesarnya hingga sekitar 80% adalah mobil pribadi. Mereka adalah golongan masyarakat kategori menengah keatas,” tuturnya.

Jika rakyat kecil atau rakyat miskin pengguna Pertalite, sambungnya, dikategorikan mereka yang hanya bisa memiliki sepeda motor, faktanya penyerapan pertalite oleh sepeda motor tidak lebih dari 30%. 

“Ini artinya, subsidi BBM selama ini sebenarnya paling banyak dinikmati oleh orang kaya. Makin kaya dia, makin besar kapasitas mesin mobilnya, maka paling banyak dia menikmati subsidi BBM. Makin miskin dia, hanya bisa beli sepeda motor atau bahkan sepeda motor pun tak punya, maka makin sedikit dia menikmati subsidi di negeri ini,” urai Abdul Muhtar.

Menurutnya, sulit dihindari kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Para pelaku retail tidak ingin kehilangan sedikit margin keuntungannya, sehingga membebankan naiknya ongkos transportasi akibat kenaikan harga BBM, pada barang kebutuhan pokok yang dijualnya. Dan ini tentu menambah beban rakyat, utamanya rakyat kecil. 

“Maka dari itu, solusi yang mungkin bisa ditempuh pemerintah adalah meringankan beban kenaikan harga itu, langsung pada rakyat kecil atau rakyat miskin yang paling merasakan dampaknya. Yakni dengan mengalihkan anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi itu pada Bantuan Sosial (Bansos) pada rakyat miskin,” kata Abdul Muhtar.

Melihat situasi dan kondisi ini, baik secara global maupun nasional tersebut, Abdul Muhtar menegaskan bahwa aliansi BEM RI mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi penetapan anggaran subsidi energi yang sangat besar pada Tahun Anggaran 2022 yang mencapai Rp.502 triliun, dimana subsidi energi tersebut sebagian besar atau sekitar 80%-nya dinikmati masyarakat mampu atau orang-orang kaya.  

“Mendesak Pemerintah untuk mengalihkan anggaran subsidi energi yang sangat besar tersebut untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif, misalnya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur energi dan sektor produktif lainnya yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup masyarakat miskin di negeri ini,” katanya.

“Sudah saatnya Pemerintah secara berani dan tegas melakukan pengurangan subsidi energi dan direalokasi menjadi anggaran yang diperlukan masyarakat miskin seperti Bantuan Sosial (Bansos) atau Bantuan Langsung Tunai, fasilitas Kesehatan dan pendidikan agar dana APBN lebih dirasakan masyarakat. Alihkan subsidi dari si kaya ke si miskin yang benar-benar membutuhkan,” pungkas Abdul Muhtar.