Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Catatan Akhir Tahun 2020 PSHK: Minim Partisipasi Rentan Represi
Direktur Advomasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam webinar Seri Diskusi FKP: Catatan Akhir Tahun PSHK, Rabu (23/12).

Catatan Akhir Tahun 2020 PSHK: Minim Partisipasi Rentan Represi



Berita Baru, Jakarta – Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan, bahwa PSHK mencatat ada enam isu hukum yang menggambarkan secara umum apa yang terjadi pada 2020.

“Dalam konteks ini kita melihat bahwa ada isu legislasi, lalu kedua terkait dengan penegakan hukum, anti korupsi, HAM dan demokrasi, tata kelola penanganan Covid-19, dan peradilan,” kata Fajri dalam webinar Seri Diskusi FKP: Catatan Akhir Tahun PSHK, Rabu (23/12).

Fajri menyebut dalam isu legislasi, pihaknya menyoroti tiga aspek yakni pemantauan proses, perencanaan dan pencapaian, dan refleksi metode omnibus dalam legislasi. Dari segi proses pembentukan UU di 2020 diwarnai dengan proses yang tidak transparan dan partisipatif.

Tidak transparan ini terjadi karena sulit bagi publik mendapatkan dokumen terkait pembahasan RUU, baik draft, Naskah Akademik, maupun dokumen hasil rapat pembahasan, serta tidak ada kanal resmi penyebarluasan draft RUU dan Naskah Akademik.

“Kita kalau ingat bahwa dokumen-dokumen yang tersebar, draft-draft, RUU, naskah akademik, maupun hasil-hasil rapat itu kita dapatkan kebanyakan dari aplikasi percakapan komunikasi Whatsapp atau melalui media sosial yang sebenarnya dari segi validitas itu harusnya diragukan,” ujar Fajri.

Adapun dokumen yang terpublikasi terjadi di luar jalur resmi dan dokumen yang tersebar minim akses bagi penyandang disabilitas. Contoh yang paling terlihat dari proses yang tidak transparan dalam proses legislasi adalah dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

Proses yang tidak transparan tersebut mengakibatkan menyempitnya ruang partisipasi publik, ditambah sulitnya publik karena waktu pembahasan yang singkat dan tergesa-gesa. Hal ini terjadi di tengah belum berhasilnya DPR dan Pemerintah membangun mekanisme partisipasi pada masa pembatasan di pandemi Covid-19 hingga kini.

Kemudian dari aspek penegakan hukum di tahun 2020 diwarnai dengan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat atas berbagai kebijakan pemerintah. Penegakan hukum juga kian bercorak untuk mengamankan dan melanggengkan implementasi kebijakan pemerintah.

Selain itu, pemerintah dalam menghadapi unjuk rasa, yang sebenarnya adalah ruang partisipasi publik, justru dihadapi dengan pendekatan keamanan serta aspek kelembagaan penegakan hukum cenderung didesain untuk kepentingan jangka pendek.

Untuk aspek peradilan, pemilihan Pimpinan Komisi Yudisial (KY) di tahun 2020 untuk periode 2020-2025 sedikit menumbuhkan harapan dari sisi regenerasi akan menguatnya peran KY, terutama dalam penegakan kehormatan hakim.

Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi, justru diwarnai dengan serangkaian pertanyaan dari publik akan independensi para Hakim Konstitusi.

“Perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang memperpanjang masa jabatan Hakim Konstitusi, dan pemberian penghargaan oleh Presiden kepada Hakim Konstitusi memperkuat dugaan adanya upaya ini, di tengah adanya upaya uji formil akan UU KPK dan UU CIpta Kerja,” kata PSHK dalam keterangan tertulis, Rabu (23/12).

Sementara catatan 2020 untuk Mahkamah Agung (MA) lebih kepada kebijakan internal dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam menyelenggarakan persidangan pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

Putusan MA yang meringankan vonis terdakwa korupsi Fahmi Darmawansyah, yang telah memberikan mobil pada Kepala LAPAS Sukamiskin dengan alasan kedermawanan menunjukkan ada yang hilang dalam logika anti-korupsi yang seharusnya ada di majelis hakim. Putusan tersebut juga merupakan sinyal negatif ke depan dari MA untuk isu pemberantasan korupsi.

Selanjutnya dari aspek Anti-Korupsi, sorotan pada situasi internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dominan terjadi pada 2020. Pengunduran diri sejumlah pegawai KPK yang selama ini berperan terhadap kinerja KPK, teguran tertulis kepada Ketua KPK karena dinilai melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK hingga pengajuan pengadaan mobil dinas baru bagi komisioner KPK menjadi alasan yang mendasari besarnya keresahan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Fakta bahwa KPK berhasil menangkap 2 orang Menteri atas dugaan tindak pidana korupsi di penghujung 2020 menuai harapan, tetapi harus tetap didukung oleh aspek kelembagaan yang kuat, baik secara kepemimpinan atau tata kelolanya.

Untuk aspek HAM dan demokrasi pada 2020 diwarnai dengan beberapa isu seperti pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terus berjalan di tengah penolakan berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pelaksanaan Pilkada merupakan bentuk nyata dari pemaksaan kepentingan politik praktis diatas kepentingan kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti berdampak negatif karena selama pelaksanaan Pilkada penyebaran virus Covid-19 terjadi, terutama antara penyelenggara dan para calon, yang diantaranya berdampak jatuhnya korban jiwa.

Isu lain dalam bidang HAM dan demokrasi adalah kebebasan berpendapat dalam mengungkapkan kritik terhadap kebijakan Pemerintah yang cenderung mendapatkan kriminalisasi atau bahkan serangan digital menunjukan bahwa perbedaan pendapat justru dihadapi dengan pendekatan politik dan keamanan. Sedangkan itu penuntasan kasus HAM masa lalu sampai 2020 masih menjadi jargon tahunan yang didengungkan, tanpa ada tindak lanjut yang terukur.

Untuk tata kelola penanganan COVID 19 di dapat dilihat dari tiga catatan, yaitu: Aspek kelembagaan yang masih menitikberatkan kepada pendekatan ekonomi jangka pendek semata dibandingkan dengan pendekatan Kesehatan. Penanganan COVID 19 berpengaruh terhadap segala aspek pemerintahan, sehingga tidak berlebih apabila Presiden seharusnya turun langsung memimpin kelembagaan penanganan COVID-19, atau pendelegasian seharusnya diberikan kepada Menteri Kesehatan.

Pelaksanaan PSBB masih birokratis dan tidak sinergis antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari penetapan PSBB yang justru bebannya banyak diberikan kepada pemerintah daerah, padahal data dan sumber daya terkumpul di Pemerintah Pusat. Seharusnya Pemerintah menentukan daerah mana saja yang harus melakukan PSBB atau lebih ketat dari PSBB, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Pengambilan kebijakan yang tidak konsisten, yang tercermin dari adanya larangan Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah yang ingin menerapkan PSBB berdasar kepada kondisi di wilayahnya, pembatasan yang diperlonggar dengan mengatasnamakan penggunaan protokol Kesehatan dan jargon “new normal”, penggunaan anggaran KL untuk rapat berkumpul di kantor atau hotel hingga pelaksanaan Pilkada yang memancing berbagai kerumunan dalam jumlah besar.

Berdasarkan hasil pemantauan isu hukum pada 2020, PSHK merumuskan 6 tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan Reformasi Hukum di 2021, yaitu sebagai berikut:

  1. Untuk DPR dan Pemerintah dalam menciptakan proses legislasi yang transparan dan partisipatif;
  2. Untuk DPR dan Pemerintah dalam menciptakan perencanaan legislasi yang realistis dan menjawab kebutuhan di masa pandemi COVID 19 saat ini;
  3. Untuk Pemerintah dalam melaksanakan agenda Reformasi Regulasi, khususnya merealisasikan Badan Regulasi Nasional dan revisi secara menyeluruh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  4. Untuk Pemerintah dalam mendorong terealisasikannya reformasi kelembagaan aparat penegak hukum;
  5. Untuk Mahkamah Konstitusi dalam mengembalikan independensi KPK melalui Putusan terhadap Uji Formil dan Materiil terhadap Revisi UU KPK; dan
  6. Untuk Mahkamah Konstitusi dalam membangun kepercayaan publik dengan menunjukan sikap independen dan mampu menghasilkan putusan yang berkualitas di tengah sempitnya ruang partisipasi dalam pembentukan UU.