Antara Banjir dan Kekeringan: Dilema Bendungan GERD Setelah Setahun Beroperasi di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Berita Baru, Internasional – Pemerintah Etiopia mengumumkan pada Juli 2020 lalu bahwa Bendungan Renaisans Besar Etiopia (GERD) akan mulai beroperasi, menimbulkan dilema dan kekhawatiran dampak kekeringan di negara-negara tetangga, terutama Sudan dan Mesir.
Di satu pihak, Etiopia melihat GERD sebagai jalur kehidupan penting bagi kehidupan masyarakatnya. Dari sekitar 110 juta penduduk di negara itu, hampir setengahnya belum mendapat pasokan listrik. Bendungan GERD menjadi solusi utama untuk pembangkit listrik tenaga air.
Namun, di lain pihak, Sudan dan Mesir melihat GERD sebagai ancaman nyata terhadap pasokan air mereka. Pada April 2021 lalu, Mesir dan Sudan menolak kehadiran Bendungan GERD karena khawatir kekeringan, mengingat kehidupan mereka juga bergantung dari aliran dari Sungai Nil.
Sudan dan Mesir sudah mengusulkan agar sejumlah pihak seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan PBB menjadi mediator tambahan dalam perundingan yang difasilitasi Uni Afrika (AU). Kedua negara itu mengatakan Etiopia menolak usulan tersebut.
Akan tetapi, setahun pasca beroperasinya bendungan $4,6 miliar itu, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan tidak ada ancaman kekurangan air dan kekeringan yang terjadi di Mesir dan Sudan lantaran ‘Addis Ababa memiliki hujan lebat’.
“Menurut citra satelit dan data hidrologi yang diperoleh oleh CSIS dan ISciences, limpasan yang mendekati rekor di daerah tangkapan Nil Biru memungkinkan Etiopia untuk mengisi reservoir yang melimpah di belakang bendungan pembangkit listrik tenaga air senilai $4,6 miliar sambil melepaskan cukup air melalui gerbang untuk menenangkan kebutuhan Sudan dan Mesir,” kata laporan CSIS, Jumat (3/9).
CSIS menjelaskan bahwa dalam citra satelit yang diambil pada 1 Juli 2020, Sungai Nil tampak seperti garis tipis mengular di belakang bendungan. Lalu hanya 43 hari kemudian, pada 13 Agustus 2020, bentangan sungai yang sama telah tumbuh lebih dari 15 kali dan menjadi waduk yang penuh—dari 8 km persegi menjadi 114 km persegi, Etiopia mampu mempertahankan luas waduk dari Agustus 2020 hingga akhir Juni 2021, meskipun penurunan limpasan dimulai pada September 2020.
“Tingkat curah hujan yang memecahkan rekor antara Juli dan September 2020—musim hujan di Etiopia—menghindari krisis besar, memungkinkan pemerintah Etiopia untuk mencapai tujuannya mengisi reservoir dan pada saat yang sama melepaskan lebih banyak air melalui gerbang GERD daripada yang mungkin terjadi diharapkan. Ini membantu Etiopia mengimbangi beberapa kerugian hilir ke Sudan dan Mesir,” tulis laporan CSIS.
Pada April 2021 lalu, Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed Ali bahkan megatakan bahwa Bendungan GERD bahkan membantu negara Sudan untuk mencegah banjir.
“Etiopia, dalam mengembangkan Sungai Abbay untuk kebutuhannya, tidak bermaksud merugikan negara-negara riparian yang lebih rendah. Hujan deras tahun lalu memungkinkan pengisian GERD pertama yang berhasil sementara kehadiran GERD itu sendiri tidak diragukan lagi telah mencegah banjir parah di negara tetangga Sudan,” katanya pada 18 April 2021.
Meski demikian, Menteri Irigasi Sudan Yasir Abbas membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa Bendungan GERD tidak berpengaruh pada banjir tahun ini, melainkan itu adalah upaya Sudan untuk melakukan mitigas banjir.
Secara signifikan, Bendungan GERD mengurangi aliran hilir ke Sudan dan Mesir. Beberapa analis menyebut bahwa hujan deras tampaknya telah menyelamatkan Etiopia dari skenario kekeringan.
Bagaimana Jika Curah Hujan di Tahun Ini Menurun?
Beberapa analis mengatakan hujan deras tahun lalu menyelamatkan Etiopia dari konflik. Namun, akan berbeda cerita jika curah hujan tahun ini menurun. Jika menurun, maka Etiopia mungkin tidak mempunyai pasokan air untuk mengisi reservoir dan memberikan cukup air untuk menglir ke hilir dan ‘menenangkan’ Mesir dan Sudan.
Pada Agustus 2021 kemarin, Sudan kembali memberi peringatan kepada Etiopia, menuntut negosiasi baru dengan kehadiran Uni Afrika (AU) yang lebih besar—sesuatu yang telah berulang kali ditolak Etiopia.
Badan Kemanusian PBB Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) pada 31 Agustus 2021 kemarin mengatakan anjir besar telah mempengaruhi sekitar 380.000 orang di Sudan Selatan, dengan sungai yang meluap menenggelamkan rumah-rumah dan menggusur keluarga di Sudan.
OCHA juga memperingatkan hujan lebat dan banjir diperkirakan akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang di Sudan Selatan.
Dalam laporan update banjir yang diterbitkan baru-baru ini, OCHA mengatakan antara 4 dan 6 September 2021, lebih dari 61.000 orang (12.000 keluarga) dilaporkan terkena dampak banjir di 53 desa di wilayah Aj Jabalain Negara Bagian Nil Putih.
“Mereka termasuk 35.000 pengungsi Sudan Selatan di daerah Alganaa, menurut temuan penilaian kebutuhan multi-sektoral antar-lembaga yang dilakukan pada 8 September 2021. Beberapa pengungsi di kamp pengungsi Alganaa dan komunitas tuan rumah telah pindah ke ruang terbuka terdekat dan pengungsi Al Alagaya kamp di wilayah Aj Jabalain,” tulis laporan pada Rabu (8/9).
Dihubungkan dengan Tanah
Kantor Berita Mesir Egypt Independence melaporkan pada Rabu (1/9) bahwa Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengatakan solusi untuk Bendungan Renaisans Besar Etiopia (GERD) akan segera tercapai “dalam kerangka hukum internasional”, dan memuji prakarsa yang diajukan oleh Aljazair untuk menyelesaikan krisis.
Aljazair telah menyerukan pertemuan langsung antara Mesir, Sudan dan Etiopia untuk mencapai solusi atas perbedaan mereka atas masalah tersebut.
Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menyatakan optimismenya tentang keberhasilan inisiatif Aljazair mengenai GERD, menyerukan negara-negara yang bersangkutan untuk ‘menanggapi’ dan ‘menunjukkan kebijaksanaan dan logika untuk menemukan solusi damai untuk krisis.’
“Sudan berada pada risiko terbesar jika terjadi sesuatu pada GERD,” katanya dalam wawancara dengan saluran Saudi al-Sharq pada hari Minggu (29/9).
Hamdok mengecam setiap saran solusi militer untuk masalah-masalah kontroversial dengan Etiopia di perbatasan dan bendungan, menekankan bahwa “negosiasi dan dialog tetap menjadi solusi dasar untuk perbedaan dengan Etiopia.”
“Kami bertetangga dengan Etiopia, dihubungkan oleh tanah, geografi, sejarah, dan hubungan bersama, dan saya yakin masalah ini dapat diselesaikan melalui dialog,” katanya.
Menteri Luar Negeri Aljazair, Ramtane Lamamra, melakukan tur Afrika pada akhir Juli yang meliputi Etiopia, Sudan dan Mesir untuk berkenalan dengan posisi semua pihak mengenai masalah ini, dan diberi pengarahan tentang perkembangan di wilayah tersebut.
Selama konferensi pers yang diadakan akhir Agustus di Aljazair, Lamamra mengatakan bahwa “Aljazair siap membantu Mesir, Sudan dan Etiopia untuk kembali ke situasi normal dalam negosiasi Bendungan GERD di Sungai Nil.”
Situasi di Etiopia sendiri kini sedang terlibat dalam perang saudara yang mematikan dan bentrokan perbatasan yang berulang antara Etiopia dan Sudan atas wilayah al-Fashaga yang disengketakan.
“Ke depan, AU harus terus menekan pemerintah Etiopia untuk melanjutkan negosiasi dengan tetangganya—sesuatu yang secara aktif dicari oleh Sudan dan Mesir. Sebagian besar sengketa teknis telah diselesaikan, tetapi protokol mitigasi kekeringan dan mekanisme penyelesaian sengketa masih dibahas, dan akan menjadi lebih mendesak di tahun-tahun mendatang,” komentar CSIS.