Ambisi Indonesia Jadi Pemain Besar Kendaraan Listrik: Untung Bagi Pelaku Industri, Buntung Bagi Rakyat
Berita Baru, Jakarta – Koalisi masyarakat sipil (KMS) yang terdiri WALHI Sulawesi Selatan (Sulsel), Jaringan Tambang (JATAM) menilai langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak tiga perusahaan raksasa Eropa, untuk berinvestasi dalam proyek hilirisasi kendaraan listrik di tanah air menjadi sumber petaka baru bagi rakyat Indonesia.
“Ambisi Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain besar kendaraan listrik menjadi ancaman besar bagi keselamatan warga dan lingkungan di kepulauan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, hingga Papua Barat,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma (JATAM) dalam keterangan persnya, Rabu (19/4).
“Lebih jauh, percepatan produksi kendaraan listrik itu juga akan memicu perluasan pembongkaran pulau yang kaya batubara, seperti Kalimantan,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi telah menggelar pertemuan bisnis dengan tiga perusahaan raksasa asal Eropa, mulai dari BASF, Eramet, hingga Volkswagen pada Minggu, 16 April 2023, waktu Jerman.
Dijelaskan BASF merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kimia, akan menggandeng perusahaan tambang sekaligus metalurgi multinasional Prancis, Eramet, untuk membangun pabrik bahan baku baterai listrik di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Sementara Volkswagen melalui anak perusahaan, PowerCo bakal berinvestasi dengan menggandeng PT Vale Indonesia (INCO), produsen mobil Amerika Serikat Ford Motor Co, dan Zheijiang Huayou Cobalt asal China untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik di Sulawesi Selatan.
Selain itu, PowerCo bakal berinvestasi dengan portofolio lainnya bersama dengan Eramet dan Kalla Group untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik, berikut akan bekerja sama dengan Merdeka Copper (MDKA) untuk proyek hilirisasi nikel menjadi baterai listrik.
Jejak Buruk Eramet di Halmahera Tengah
Menurut Ki Bagus Hadi, rencana investasi dari BASF yang menggandeng Eramet dengan nilai investasi mencapai US$ 2,6 miliar (Rp 38,39 triliun) untuk membangun industri baterai kendaraan listrik di Maluku Utara.
Selain itu BASF dan Eramet mengklaim akan menerapkan praktik industri yang memperhatikan aspek ESG (Environment, Social and Governance).
“Padahal, alih-alih menerapkan ESG dalam operasinya, Eramet sendiri memiliki jejak kotor dalam investasinya di Indonesia, khususnya di pertambangan dan smelter nikel,” ungkap ungkap Ki Bagus Hadi.
Sejak 2006 Eramet mengakuisisi PT Weda Bay Nikel (WBN) dan mulai melakukan eksplorasi di kawasan Teluk Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, bekerjasama dengan PT ANTAM.
Pada 2008 Weda Bay Nickel mulai melakukan pembebasan lahan warga dengan dihargai hanya Rp2.500 hingga Rp9.000 per meter persegi. Pada proses pembebasan lahan ini, petugas lapangan PT IWIP diduga sering memanipulasi luasan lahan warga untuk menekan biaya dari perusahaan.
Hingga pada 2017 lalu, Eramet menggandeng Tsingshan Group asal China membentuk perusahaan gabungan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) untuk mengelola pertambangan dan pengolahan nikel di Teluk Weda.
Proses pembebasan lahan untuk pengembangan kawasan industri PT IWIP pun berlangsung cepat, tak terkontrol. Lahan-lahan warga di Desa Lelilef Sawai dan Desa Gemaf yang penuh dengan tanaman pala, cengkeh, kelapa, dan langsa pun dirampas perusahaan.
“Warga yang menolak lahannya dibebaskan diintimidasi dan dikriminalisasi, salah satunya dialami Hernemus, warga Lelilef Sawai yang dipenjara selama setahun pada 2013 lalu. Hernemus dituduh melakukan pengancaman terhadap karyawan perusahaan yang melakukan pembebasan lahan,” ungkap Adlun Fiqri, selaku perwakilan Warga Halmahera Tengah.
Aktivitas PT IWIP juga telah mencemari empat sungai yang menjadi sumber air utama warga, yakni Ake Wosia, Ake Sake, Seslewe Sini, dan Kobe. Hal yang sama juga dengan kawasan pesisir dan laut yang hancur akibat aktivitas PT IWIP.
Bendungan tempat penampungan limbah B3 milik PT IWIP di Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, jebol dan diduga tumpah hingga mengalir ke laut pada 30 Januari 2022. Ditambah lagi perairan laut Lolaro, dekat kawasan PT IWIP, salah satu wilayah tangkap nelayan, sejak beroperasinya PT IWIP, para perempuan nelayan alami kesulitan akibat ikan yang semakin berkurang karena limbah tambang hasil pembukaan lahan mencemari laut.
Aktivitas pertambangan PT WBN di dalam kawasan hutan juga menjadi penyebab banjir yang terus berulang setiap tahun. Yang paling parah terjadi pada 8 September 2021, banjir besar merendam rumah-rumah warga di Lelilef Woebulen dan Trans Kobe di Kecamatan Weda Tengah.
“Perluasan wilayah penambangan oleh PT. WBN juga telah menyingkirkan kelompok indigenous people O’hongana Manyawa atau Tobelo Dalam. Salah satunya terjadi di Ake Jira, hutan sebagai rumah dan sakral bagi Tobelo Dalam, dicaplok perusahaan untuk perluasan wilayah pembongkaran nikel,” terang Adlun Fiqri.
Jejak Buruk Vale di Sulawesi Selatan
Sedangkan Volkswagen melalui PowerCo akan berinvestasi untuk pembangunan smelter nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Sulawesi Selatan untuk produksi komponen baterai kendaraan listrik. PowerCo akan bekerjasama dengan PT Vale Indonesia, Ford dan Huayou Group asal China.
Direktur WALHI Sulsel Muhmamad Al Amin menyampaikan, investasi ini juga tidak lepas dari jejak kotor industri kendaraan listrik, khususnya oleh PT Vale dan Huayou Group, yang mempertaruhkan keselamatan warga di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Pada 2018 lalu, lanjutnya, aktivitas PT Vale menyebabkan Danau Mahalona tercemar berat akibat sedimentasi tanah bekas penambangan. Hingga saat ini, lumpur-lumpur tersebut masih berada di Danau Mahalona dan memicu pendangkalan pada danau tersebut.
Sedangkan pada Agustus 2021, operasi PT Vale juga mencemari perairan Pulau Mori, Sulfur PT Vale tumpah dan mencemari pesisir dan Pulau Mori.
Pada 2016, PT Vale diduga merampas lahan pertanian dan merusak kebun-kebun merica masyarakat Desa Asuli, Kecamatan Towuti, Luwu Timur. Kala itu, PT Vale berjanji akan memberi masyarakat program ekonomi sementara, hingga masyarakat mendapatkan pemulihan hak ekonomi sosial, sebagaimana standar perlindungan PT Vale Indonesia.
“Namun saat ini, kompensasi, ekonomi alternatif dan pemulihan hak sosial ekonomi yang dijanjikan oleh PT Vale Indonesia kepada hampir 200 kepala keluarga warga Desa Asuli, tak kunjung direalisasikan,” ujarnya.
Kemudian, PT Vale melakukan kriminalisasi terhadap tujuh aktivis dan masyarakat adat lingkar tambang pada Maret 2022. Kriminalisasi terhadap warga ini bermula ketika masyarakat adat lingkar tambang menggelar demonstrasi menuntut pertanggungjawaban PT Vale atas kegiatan tambang nikel di atas tanah adat masyarakat.
“Masyarakat juga menuntut agar PT Vale Indonesia membuka data mengenai program CSR yang selama ini dijalankan oleh manajemen perusahaan,” kata Muhammad Al Amin.
Terus Keruk Batubara Atas Nama Kendaraan Listrik Rendah Emisi
Ki Bagus Hadi menyebut semua ini sangat ironis, sebab segala penghancuran yang terkait dengan industri kendaraan listrik di atas, ditutupi dengan topeng label rendah karbon, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Padahal untuk memasok energi di smelter nikel produsen komponen baterai kendaraan listrik tersebut, dibutuhkan jutaan ton batubara yang dikeruk dari hutan-hutan Kalimantan, mengorbankan warga dan ruang hidupnya.
“Untuk kebutuhan operasi PT IWIP di Halmahera Tengah saja misalnya, perusahaan tersebut membangun PLTU batubara dengan total kapasitas 750 MW. Lebih besar dari kapasitas salah satu PLTU utama di Jawa, PLTU Cilacap, yang berkapasitas 700 MW,” katanya.
Sama halnya dengan di PT IMIP, lanjut Muhammad Al Amin, salah satu anak perusahaan Tsingshan Group di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Untuk operasionalnya, PT IMIP membutuhkan pasokan batubara hingga 9 juta metrik ton tiap tahunnya untuk mengoperasikan PLTU yang berkapasitas hingga 3.200 MW.
Situasi ini diperparah dengan ketentuan di Peraturan Presiden No. 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Meskipun Perpres ini mengatur tentang pemensiunan dini PLTU batubara, namun Perpres ini juga memberikan keistimewaan dengan masih mengizinkan pembangunan PLTU batubara baru yang terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah atau smelter pengolahan hasil tambang,” kata Muhammad Al Amin.
Laju investasi di sektor baterai kendaraan listrik, kemudian ditambah dengan berbagai insentif kebijakan untuk terus membangun PLTU batubara ini, akan semakin menempatkan wilayah tapak ekstraksi batubara, seperti Kalimantan, dalam bencana krisis sosial ekologis berkepanjangan.
“Kami menilai, ajakan investasi dari Presiden Jokowi kepada sejumlah perusahaan raksasa asal Eropa itu, tidak dalam rangka untuk kesejahteraan warga lokal, sebaliknya justru sebagai sumber petaka baru bagi warga dan ruang hidupnya,” disebut Ki Bagus Hadi.
“Investasi dengan nilai yang fantastis itu, hanya akan menambah keuntungan bagi pelaku industri, termasuk segelintir elit politik Jakarta yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam rantai investasi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia,” tambah Muhammad Al Amin.