Aliansi Masyarakat Sipil Desak Kepolisian Setop Kasus Jerinx
Berita Baru, Jakarta – Aliansi Masyarakat Sipil mendesak kepolisian agar menghentikan kasus tersangka I Gede Ari Astina alias Jerinx. Hal tersebut dikarenakan ada masalah dalam penggunaan pasal penuntutan.
Pernyataan Jerinx terhadap penanganan Covid-19 yang kontraproduktif, menurut Aliansi perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.
“Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/8).
Aliansi menyebutkan setidaknya ada tiga masalah dalam proses kasus hukum terhadap Jerinx.
Pertama, dalam hal penggunaan pasal 28 Pasal 28 ayat (2) (UU ITE) yang berisi tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagai perbuatan yang dilarang.
Ketentuan pada pasal tersebut seharusnya digunakan untuk menjerat ekspresi yang termasuk niat penghasutan untuk melakukan tindakan kebencian, kekerasan, atau diskriminasi.
Lebih lanjut, Aliansi Masyarakat Sipil menjelaskan ada enam hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan sebuah ekspresi sebagai ujaran kebencian. “Yakni, konteks di dalam ekspresi tersebut; posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut,” sebutnya.
Ungkapan Jerinx dinilai tidak memenuhi unsur tersebut. Khususnya terkait unsur niat, yang menjadi tolak ukur pembeda ekspresi yang sah dengan ujaran kebencian.
“Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini mengharuskan aparat penegak hukum berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya serius, sehingga dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi,” jelasnya.
Kedua, penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang distribusi konten elektronik yang memuat pencemaran nama baik.
Menurut Aliansi Masyarakat Sipil, pasal ini seharusnya mengacu pada Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dua pasal tersebut mengatur soal pencemaran nama baik individu.
Sedangkan dalam kasus Jerinx, pihak yang diduga tercemar nama baiknya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang merupakan institusi.
Di samping itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga merupakan delik aduan absolut. Artinya, harus pihak terkait yang melaporkannya, bukan perwakilan.
“Secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya (Jerinx),” kata Aliansi.
Aliansi pun mendesak Kejaksaan, yang kelak akan menerima berkas kasus dari kepolisian, untuk menolaknya karena kesalahan dalam penerapan pasal-pasal itu.
“Kejaksaan sebagai ‘Dominus Litis’ yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara ini, harus dengan tegas menolak perkara, sebab pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat,” tutur pernyataan itu.
Ketiga, masalah penahanan yang tak perlu. Meski memang pasal yang dikenakan terhadap Jerinx memiliki sanksi lebih dari lima tahun penjara, Aliansi menilai tidak ada urgensi penerapannya. Terlebih, sistem peradilan tengah mengurangi pemenjaraan demi menghindari Covid-19.
“Penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan,” kata Aliansi. “Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan,” lanjut pernyataan itu.
Aliansi Masyarakat Sipil ini sendiri terdiri atas sejumlah LSM, yakni ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, LeIP.