Ismi Dwi Astuti dan Perjalanan Panjang PUG di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Pakar gender (gender expert) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ismi Dwi Astuti Nurhaeni mengatakan bahwa Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia telah berlangsung sejak awal paruh kedua abad XX.
Hal ini ia sampaikan dalam podcast seri ke-3 yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Kelompok Kerja (Pokja) PUG KLHK, dan Beritabaru.co dengan tajuk Implementasi Gender dalam Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat (24/12).
Pada kisaran tahun 1980, kata Ismi, untuk memberdayakan perempuan pendekatan yang digunakan adalah women and development.
Pendekatan tersebut menuai kritik dari beberapa pihak. Sebagian menyebut, pihak yang diperhatikan terbatas pada perempuan, sedangkan laki-laki diabaikan.
Menurut Ismi, kritik tersebut wajar sebab pada masa itu, kebanyakan orang masih memahami gender sebatas pada perempuan.
Dari segi sumbangsih, pendekatan awal ini bukan tanpa dampak. Kondisi terkait perempuan membaik, tegasnya, hanya saja perubahan posisi belum tercapai dalam arti keterlibatan perempuan dalam pembangunan tidak optimal.
“Faktornya adalah relasi gender ya. Kondisi membaik, tapi kasus kekerasaan terhadap perempuan masih banyak terjadi. Intinya, kesempatan ada, tapi dukungan untuk mengambil kesempatan itu tidak ada dan ini penyebabnya adalah timpangnya relasi gender,” jelas Ismi.
Setelah ada evaluasi, maka pendekatan diganti menjadi gender and development. Harapannya, pendekatan ini bisa memicu lahirnya dukungan-dukungan yang pendekatan pertama tidak bisa menggapainya.
Pada tahun 2000, Ismi melanjutkan, kesadaran baru muncul di kalangan pegiat gender, yakni bagaimana penetrasi PUG akan lebih mudah tercapai jika ada integrasi antara nilai-nilai keadilan gender dan kebijakan.
Dari situ, lahirlah Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Republik Indonesia.
“Pada tahun ini, kesadaran baru muncul. Ternyata soal gender ini tidak bisa dilakukan dengan hanya asal perintah, tapi harus diintegrasikan dalam kebijakan pemerintah, maka ya hasilnya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 itu,” kata Ismi.
“Dan sejak tahun itu, mestinya gender sudah diintegrasikan,” imbuhnya dalam podcast yang dipandu oleh Davida Ruston Khusen, host Beritabaru.co.
Meski demikian, PUG di Indonesia selepas satu dasawarsa berjalan pasca terbitnya Instruksi Presiden tersebut tidak berjalan secepat di luar negeri.
Akibatnya, pada 2012 diterbitkanlah Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). PPRG murni disusun untuk mendorong percepatan PUG di Indonesia agar bisa seimbang dengan yang terjadi di luar negeri.
“Istilahnya itu percepatan PUG melalui PPRG yang hari ini oleh Kementerian driver sedang dipersiapkan untuk menjadi regulasi yang sifatnya Peraturan Presiden (Perpres). Jika sudah menjadi Perpres, maka kekuatan hukumnya lebih kuat,” papar Ismi.
Dari sini, perempuan yang juga seorang profesor di bidang Administrasi Publik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta (Fisipol UNS) ini, menyampaikan bahwa sebenarnya dari segi kebijakan semua tentang gender sudah jelas. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah di level implementasi.
Ismi dan KLHK
sebagai gender expert di KLHK, Ismi menilai bahwa posisinya di KLHK sebatas sebagai teman diskusi. Sebab nature gender sudah mulai terbangun dengan baik di KLHK.
“Jadi, saya di KLHK ini ya ketika mereka membutuhkan penajaman-penajaman seperti pada bagian apa sih sebaiknya isu gender dimasukkan dan semacamnya,” ujarnya.
Adapun soal fasilitas di KLHK, Ismi melihat bahwa ketersediaan fasilitas seperti ruang laktasi dan penitipan anak belum cukup. Pasalnya, bicara PUG, bicara adanya pemerataan hingga level tapak.
“Dan yang sedang kami lakukan hari ini adalah yang terakhir itu, yakni bagaimana PUG bisa sampai level tapak. Misalnya, perempuan harus kita pastikan mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki terkait hak kelola hutan,” jelas Ismi.
Meski demikian, di tingkat eselon I, di banyak kementerian, pihak yang dominan masih laki-laki. Jarang sekali, katanya, ada perempuan memiliki jabatan di eselon I.
Dan dalam hal ini, Ismi mengandaikan perlunya pembukaan peluang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk menempati jabatan eselon I.
Sepanjang bacaan Ismi, di eselon II dan III, banyak perempuan inovatif dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Mereka sangat mampu untuk menjabat di eselon I. Hanya saja, yang tidak mereka dapatkan secara cukup adalah kesempatan.
“Jadi, kuncinya adalah berilah perempuan kesempatan. Insya Allah, mereka bisa!” pungkasnya.