Konsep Dewa dalam Serial One Piece dan Kebudayaan Jepang
Berita Baru, Manga – Serial One Piece merupakan seri manga Jepang karya Eiichiro Oda yang terbit pertama kali di majalah Weekly Shonen Jump pada 22 Juli 1997. Meski serial One Piece merupakan karya fiktif belaka, namun banyak bagian cerita yang terinspirasi dari legenda maupun kisah nyata. Keberadaan Dewa Eneru di episode 428-474 misalnya.
Konsep dewa yang dianut oleh masyarakat Jepang berbeda dengan konsep Tuhan kaum abrahamik. Yang mereka anggap sebagai dewa tidak selalu berupa person, sebuah individu, namun setiap entitas yang memiliki kekuatan supranatural. Karena itu, segala hal yang menakjubkan bisa disebut sebagai dewa termasuk matahari, bebatuan dan lain-lain. Dengan demikian, dewa bagi masyarakat Jepang, tidak bersifat mutlak berkuasa. Mereka, apapun wujudnya, merupakan entitas yang memiliki kekuatan supra, dan karenanya sangat mungkin untuk dikalahkan.
Konsep ketuhanan di masyarakat Jepang tercermin dari bagaimana Eiichiro Oda menggambarkan dewa Eneru. Dalam arc petualangan luar angkasa, kelompok bajak laut topi jerami berhasil mengalahkan musuhnya, dewa Eneru, seorang dewa petir dari Skypiea. Di episode selanjutnya pada serial Halaman Operasi Besar Luar Angkasa, Eneru kembali ke bulan dengan kapalnya Maxim. Di bulan, Eneru mencari takhta kerajaan yang dianggap menjadi hak dia sebagai dewa.
Dewa Eneru merupakan pemakan buah iblis Goro Goro no Mi. Buah iblis tersebut berleemn halilintas dan karena itu ia mampu mengendalikan, mengubah maupun membuat petir. Ia juga mampu mengubah tubuhnya menjadi kilat, mampu bergabung dengan materi padat seperti kayu dan emas. Dia juga bisa berubah menjadi halilintar dan menyetrum siapapun yang menyentuhnya.
Gambaran tentang dewa Eneru, mirip dengan dewa petir atau disebut Raijin dalam mitologi budaya Jepang. Dalam kepercayaan Shinto, dewa petir digambarkan memiliki wujud iblis dan bersifat jahat. Konsep ketuhanan masyarakat Jepang akan sulit dipahami bagi penganut agama monotheism.
Namun untuk bisa memahaminya, perlu diketahui bahwa dalam budaya Jepang terdapat konsep ara-mitama dan nigi-tama. Ara-mitama yakni sisi jahat dewa dan karena itu perlu diberi persembahan agar ia tidak marah. Nigi-tama adalah wujud ketenangan yang didapatkan dari sesembahan yang dilakukan manusia. Dengan demikian tak diragukan lagi bahwa Eiichiro Oda menggambarkan dewa Eneru, termasuk gaya penampilannya terinspirasi dari mitologi dewa petir masyarakat Jepang.