Migrant CARE, SBMI & Jaringan Buruh Migran Desak UU No.9 Tahun 2019
Berita Baru, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Reublik Indonesia No. 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Peraturan Menteri ini merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 60, 61 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (4) dari UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Berdasar pembacaan kritis terhadap Peraturan Menteri tersebut dari sudut tata cara penyusunan perundangan/peraturan, kewajiban tentang pelibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundangan dan substansi perlindungan hak-hak pekerja migran, ditemukan titik-titik kelemahan yang membuat Peraturan Menteri ini tidak layak menjadi regulasi yang mengatur tata kelola penempatan pekerja migran.
Migrant CARE bersama dengan SBMI dan Jaringan buruh migran menemukan fakta-fakta yang memperlihatkan Peraturan Menteri ini mengandung Cacat Formil dan Cacat Materiil.
Cacat Formil terletak pada proses penerbitan Peraturan Menteri ini mendahului peraturan pemerintah yang seharusnya menjadi acuan dan tanpa melalui konsultasi publik dengan masyarakat. Cacat materiil terletak pada substansi Peraturan Menteri yang banyak bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Ditemukan beberapa konten dalam Peraturan Menteri ini bertentangan dengan roh dan semangat perlindungan hak-hak pekerja migran sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Konten-konten tersebut antara lain:
- Pasal 7 Permen 9/2019 mengatur adanya tahapan OPP (Orientasi Pra Penempatan), yaitu pengganti dari PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) yang merupakan pasal lama dalam UU No.39/2004 yang sudah dihapuskan oleh UU No 18/2017. Diaturnya kembali OPP akan membuka ruang dan peluang bisnis perusahaan penempatan pekerja migran sebagai pelaku utama.
- Pasal 12 ayat (1) Permen 9/2019 mengatur pemeriksaan kesehatan dapat dilakukan oleh P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia), sementara semangat Undang Undang membebaskan PMI untuk menentukan pilihan pemeriksaan kesehatan. Pasal ini akan menjadi peluang bisnis perusahaan
- Pasal 40 Permen 9/2019 menyebutkan keberadaan BP3TKI yang sudah dihapuskan oleh UU. Hal ini menujukkan bahwa permen ini disusun hanya merupakan reproduksi dari peraturan menteri sebelumnya yang bertentangan dengan semangat UU No. 18/2017.
- Pasal 24 Permen 9/2019 tidak sinkron dan tidak selengkap butir-butir perlindungan pada saat bekerja sebagaimana pasal 21 UU 18/2017, hanya mengatur laporan kedatangan dan kepulangan, verifikasi dan pembinaan. Terlihat bahwa ada substansi UU yang direduksi dan cenderung dikesampingkan.
- Pasal 38 Permen 9/2019 mengatur bahwa Menteri Ketenagakerjaan dapat membentuk tim khusus dalam pengendalian dan peningkatan kualitas pengawasan. Pasal ini melampaui isi sebuah permen, yang semestinya diatur oleh PP atau Perpres
Substansi Permen 9/2019 yang bertentangan dengan UU 18/2017 akan berdampak pada:
- Menghidupkan kembali bisnis swasta yang telah dihilangkan oleh UU PPMI.
- Biaya penempatan tetap akan mahal karena permen menghidupkan medical check up, pemeriksaan psikologi, OPP dan urus visa diserahkan ke swasta.
- Membuka peluang tumpang tindih peran antara pemerintah (baik pemerintah pusat, daerah dan desa) dan swasta.
- Memperpanjang birokrasi penempatan yang oleh UU sudah disederhanakan melalui LTSA
- Mengembalikan peran swasta dalam penempatan akan berpotensi mengakibatkan eksploitasi, pelanggaran HAM bagi pekerja migran, terutama perempuan
Berdasarkan hal tersebut diatas, kami, Migrant CARE, SBMI dan JBM mendesak pemerintah Indonesia:
- Pemerintah Indonesia harus segera membatalkan Permenaker No.9 Tahun 2019.
- Presiden Joko Widodo harus mengevaluasi kinerja Menteri Ketenagakerjaan RI sebagai bahan pertimbangan untuk penentuan Kabinet Kerja Periode II.
- Melakukan Audit menyeluruh seluruh kebijakan pemerintah yang terbit paska diundangkan UU No.18 Tahun 2017.
- Mengaudit proses penempatan pekerja migran paska penerbitan UU 18/2017