Wahid Foundation Gandeng Disdik Jateng Galakkan Toleransi di Sekolah
Berita Baru, Jawa Tengah – Wahid Foundation terus menggalakkan sikap toleransi di kalangan siswa, salah satunya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Tengah menggelar webinar dengan tajuk “Dinamika Isu Keberagaman di Lingkungan Pendidikan”, pada Rabu (3/3) siang.
Direktur Wahid Foundation Mujtaba Hamdi saat menjadi Keynote Speaker menyampaikan bahwa agama Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, sehingga sikap toleransi harus menjadi karakter mulai sejak dini.
“Muslim di Indonesia yang mayoritas harus mampu memayungi perbedaan di tengah kemayoritasannya. Ini menjadi cermin Islam bagi dunia,” kata Mujtaba Hamdi.
Merespon Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait aturan seragam di sekolah, Mujtaba menegaskan bahwa sekolah merupakan ruang publik yang dapat diakses secara setara oleh berbagai kalangan.
“Menurut kami SKB Tiga Menteri telah tepat dan proporsional. Ia tidak mewajibkan dan tidak melarang,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Hari Wuljanto menyampaikan, yang harus ditekankan kepada siswa selama proses pendidikan adalah kearifan lokal nusantara.
“Sekolah berfungsi untuk membangun karakter peserta didik dalam membangun peradaban,” tuturnya.
Hari juga menekankan, untuk membiasakan siswa dalam menghargai perbedaan, maka guru harus menyediakan ruang yang lebar bagi pendapat siswanya.
“Di sekolah boleh berbeda-beda. Boleh berbeda dalam berpendapat. Guru tidak dapat menyalahkan pendapat siswa. Ini melatih perbedaan melalui keberanian berpendapat,” terangnya.
Untuk menyemai keberagaman, kata Hari, harus dibiasakan hidup dalam situasi yang berbeda. Maka menurutnya nyaman dengan keberbedaan itu harus dilatih dan dibiasakan.
“Kehidupan sekolah harus menjadikan tempat yang nyaman dan aman dalam mengembangkan pola hidup siswa yang baik. Kita ingin menjadikan sekolah untuk menyemai kebinekaan dan nasionalisme,” jelas Hari.
“Ini tugas kita semua dalam mencegah sikap radikalisme dan intoleransi,” pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi Perlindungan Anak Retno Listyarti saat menjadi pemateri dalam acara itu juga menjelaskan sikap intoleransi di sekolah mulai marak sejak tahun 2014 hingga saat ini. Ia mengatakan akar masalah dari permasalahan ini salah satunya desain pembelajaran yang tidak dirancang untuk menghargai perbedaan.
“Siswa yang terbuka terhadap praktek intoleransi ketika di kelas diajar oleh guru yang memiliki pandangan politik pribadi yang dibawa ke dalam kelas,” tutur Listyarti.
Terkait SKB Tiga Menteri, Listyarti mengatakan, sesungguhnya kasus yang sudah terjadi terkait larangan maupun mewajibkan atribut agama di sekolah.
Salah satunya, kata Listyarti, pada 2014 lalu, SMAN 2 Denpasar melarang siswi memakai jilbab lewat tata tertib sekolah sehingga yang menggunakan jilbab dianggap melanggar sekolah, serta beberapa sekolah-sekolah lain.
“Jadi sebenarnya dari tahun 2014 hingga saat ini secara terus menerus ada kasus pelarangan dan mewajibkan atribut keagamaan di sekolah,” jelasnya.
Ia mengajak para guru untuk menjadi model toleransi bagi seluruh siswa di sekolah dalam mempraktekkan nilai demokrasi.
“Keingintahuan besar anak terhadap ideologi apa pun harus didampingi secara intens oleh orang tua. Tidak dapat seluruhnya mengandalkan sekolah,” pungkasnya.