Tulis Naskah Film Tilik, Bagus “Bacep” Sumartono: Jagat Film Kita Butuh Humor
Berita Baru, Tokoh – Bayangkan truk itu adalah Indonesia, berjalan di atas jalan takdirnya yang penuh kelokan. Kadang menanjak, kadang menurun; berjalan di tengah kota atau di jalan-jalan kecil pedesaan. Kadang harus berhenti karena gangguan dari luar atau kebutuhan para penduduknya untuk sedikit mengambil waktu rehat.
Dan anggap saja ibu-ibu yang berada di bak terbuka itu, dengan kerudung beraneka warna, adalah pulau-pulaunya. Bisa juga sebagai provinsinya, atau apa saja yang kita anggap sebagai penopang negara. Bukan hanya warna kerudungnya, tetapi mereka memiliki watak yang berbeda-beda, kadang begitu ribut, kadang hanya diam, kadang pula berseteru. Tetapi apa pun itu, dalam ruang yang begitu sempit, perseteruan pasti akan berdamai.
Sederhananya, pertengkaran dua tokoh sentral antara Bu Tejo dan Yu Ning beserta para koloninya memang harus terjadi. Karena di atas truk yang penuh dengan muatan ibu-ibu dan harus menempuh perjalanan panjang, tak mungkin untuk terus berdiam. Harus ada perbincangan. Dan ibu-ibu paling suka membincangkan hal-hal paling mencolok di sekitar mereka. Itulah Dian, gadis perawan yang telah berumur, dengan cara berpakaian menor bagi warga desa.
“Bisa saja tema gosipnya kita ganti, misal tentang apa saja selain masalah percintaan antara Dian dan bekas suami Bu Lurah. Tetap saja mereka akan bertengkar. Tetapi akhirnya tetap sama, setelah bertengkar pasti akan berdamai lagi. Lah, mereka harus berdamai karena setelah tilik ke rumah sakit, mereka akan kembali pulang dalam satu truk yang sama.”
Begitulah penulis naskah film Tilik, Bagus “Bacep” Sumartono, menceritakan bagaimana dia memaknai film tersebut ketika kami berjumpa pada Jumat (8/01). Namun baginya, suatu karya seni tidak bisa dimaknai hanya dengan cara penciptanya. Seperti bola salju yang bergulir, akan ada banyak penafsiran yang tidak terduga.
Beberapa bulan setelah film tersebut trending di jagat maya, ditonton oleh puluhan juta akun di Youtube, potongan-potongan percakapannya menjadi emotikon di Wasap, tak henti-hentinya diperbincangkan. Apalagi di masa pandemi, kehadiran film ini memberi oase di tengah kecemasan yang merundung.
“Saya senang dengan bagaimana orang-orang memaknai Tilik. Saya tidak nyangka akan begitu banyak cara orang menafsirkannya. Ada yang nyangkut-nyangkutin ke feminis karena pemerannya kebanyakan perempuan, ada juga yang nyinggung agama karena ibu-ibu itu pakai jilbab semua.”
Baginya, respons seperti itu sah-sah saja. Sebab dalam film tersebut, bertaburan simbol-simbol yang terbuka untuk ditafsirkan. Bagi Mas Bacep, keberhasilan film itu justru karena semua orang bisa mengambil porsi pikirannya dalam simbol yang disediakan.
Namun Mas Bacep sendiri menyiapkan segalanya begitu matang. Film yang diproduksi oleh Ravacana Films bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY itu mulai dikerjakan pada tahun 2018. Namun naskahnya telah disiapkan sekitar satu tahun sebelumnya.
Semisal penggunaan jilbab. Menurutnya, jilbab tidak lagi menyimbolkan agama. Sebab semua perempuan di desa mengenakan atribut tersebut. Jadi tak mungkin melibatkan ibu-ibu desa tanpa mengenakan jilbab karena itu tak sesuai dengan realitas desa.
Tetapi pemilihan bentuk dan warna jilbab adalah perkara lain. “Saya memikirkan bagaimana film ini bisa ditonton oleh orang Turki misalnya. Corak pakaian mereka kan cerah-cerah. Nah, saya memilih warna jilbab yang mencolok agar cocok dengan mata orang-orang Turki.”
Begitu juga dengan karakter dalam film Tilik. Bagi Mas Bacep, sejatinya tak ada pemeran antagonis dalam film itu. Bagaimanapun cara Bu Tejo berbicara, cara dia mencurigai Dian, itu tidak mencirikan bahwa dia antagonis. Sebab baginya, apa yang dia bicarakan benar menurut pemahamannya. Begitu juga Yu Ning yang berusaha mempertahankan citra baik Dian, meski memang Dian menjalin hubungan dengan bekas suami Bu Lurah.
“Tinggal dari sudut pandang mana kita menilainya,” tutur Mas Bacep.
Jagat Film Kita Butuh Humor
Masa-masa ketika Tilik diproduksi, dunia perpolitikan di Indonesia kian memanas menjelang kontestasi Pilpres 2019. Ini bersamaan dengan pola perpolitikan yang mulai bergeser ke arah politik keagamaan setelah Aksi 212 pada 2016. Di tingkat paling kecil, di pedesaan, pemilihan kepala desa dan lurah juga tak ubahnya pemilu lain yang penuh intrik dan persaingan.
Hoaks, berita yang tidak jelas validitasnya, serta caci maki antarkubu menghiasi dinding sosial media dan pembicaraan setiap hari. Ditambah dengan semangat keberagamaan yang berbaur politik membuat masyarakat sangat cepat tersinggung.
Fenomena ini, bagi Mas Bacep, justru paling dirasakan oleh orang-orang di pedesaan. Bagi orang yang hidup di kota dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang memadai, segala infomasi masih bisa di-crosscheck dan tak langsung diterima begitu saja.
“Lah, kalau di desa akses interntet susah, tingkat pendidikan yang rendah juga membuat orang-orang menerima informasi dengan apa adanya. Orang di desa bisa bertengkar antarsaudara karena perbedaan pilihan politik. Bahkan bisa enggak ngajak ngobrol saudara sendiri,” demikian keluh Mas Bacep.
Hal tersebut sangat meresahkan Mas Bacep yang beberapa tahun terakhir mulai melakukan edukasi bagi penduduk desa di daerah Dlingo, Imogiri, Bantul. Baginya, masyarakat perlu disadarkan tentang hakikat politik dan agama agar tidak terjebak dalam pertikaian terus-menerus. Begitu juga dengan berita hoaks yang begitu cepat menyebar lewat grup-grup media sosial yang berpotensi menjadi pemecah belah di tengah masyarakat.
Tetapi bukan menghadirkan film dengan alur dan latar yang sangat politis, merekam peristiwa-perstiwa politik, Mas Bacep justru berusaha mengedukasi masyarakat untuk kembali ke budaya humor. Bagi Mas Bacep, humor mampu mendinginkan perseteruan yang terjadi di tengah masyarakat.
“Dalam jagat perfilman nasional, humor yang disajikan selalu saja humornya orang kota. Atau kalau enggak humor-humor kering yang dibuat-buat.”
Bagi Mas Bacep, satu-satunya cara agar humor kembali bermakna dan segar adalah dengan mengangkat percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Dalam penulisan naskah film ini, Mas Bacep blusukan langsung ke tempat-tempat tongkrongan orang-orang di desa atau mendengarkan ibu-ibu bergosip di prosesi-prosesi hajatan.
Bahan-bahan itu lalu dikumpulkan dan disajikan dalam semangat perwayangan. Bagi Mas Bacep, film ini tak lain hanyalah pengalihan media wayang ke digital. Cara dia menggarap alur yang seolah statis, tetapi konfliknya justru difokuskan pada obrolan antartokoh, juga menghilangkan tokoh antagonis, kesemuanya merupakan teknik seorang dalang menghadirkan tokoh dalam cerita pewayangan.
“Dan humor ini ternyata sangat bermanfaat dalam keadaan apa pun, terutama di masa pandemi ini. Orang-orang butuh waktu rehat dari ketakutan dan kecemasan. Setelah agama, mungkin yang paling penting untuk sekarang adalah hal-hal yang bisa membuat kita tertawa dan berbahagia. Salah satunya lewat humor.”
Mengangkat Bahasa daerah
Mas Bacep menceritakan, pengerjaan film Tilik dilaksanakan pada tahun 2018 setelah mendapatkan dana dari Dana Keistimewaan (Danais) Dinas Kebudayaan DIY. Beberapa penghargaan telah diraih, seperti Piala Maya Kategori Film Pendek Terpilih (2018), menjadi Official Selection di Jogja-Netpac Asian Films Festival 2018, serta Official Selection World Cinema Amsterdam 2019.
Selama dua tahun, Tilik masih diikutkan ke berbagai festival film di tingkat internasional, sehingga baru bisa diunggah ke Youtobe pada 17 Agustus 2020.
Selain renspons penonton yang begitu banyak, film ini juga membuka arah baru dalam penggarapan film-film pendek di Indonesia dengan berani menggunakan bahasa daerah. Setelah trending di sosial media, beragam film pendek mulai muncul di Youtube dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Bagi Mas Bacep, ini pesan tersendiri yang ingin ia sampaikan dalam Tilik. Film Indonesia, menurutnya, adalah film yang menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Sebagaimana penduduk di negeri ini, pada dasarnya mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama, sementara bahasa Indonesia hanyalah bahasa kedua. Jadi untuk bisa sampai ke penonton, haruslah menggunakan bahasa daerah.
“Akan sangat berbeda jika suatu humor disampaikan dalam bahasa daerah dibandingkan jika menggunakan bahasa Indonesia. Nah, kalau orang-orang yang enggak berbahasa Jawa kesusahan menonton film Tilik, kita tambahkan subtitle saja,” tuturnya.
Selain mengkat tema pedesaan, film ini juga menggunakan pemeran hampir keseluruhannya orang-orang yang menetap di desa, yakni masyarakat Saradan, kelurahan Terong, Dlingo, Bantul. Ada lima pemeran yang merupakan aktris professional, yaitu Bu Tejo, Yu Ning, Bu Tri, Yu Sam, dan istri Gotrek (supir truk).
Bukan hanya untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan kondisi pedesaan, tetapi juga untuk kepentingan penyutingan. “Bayangin susahnya cari talent profesional yang bisa nyopir truk. Makanya kita pakai Mas Gotrek karena memang dia sopir truk yang sudah terbiasa melewati jalan yang dijadikan lokasi syuting.”
Kesuksesan Tilik tidak bisa dilepaskan dari keberanian mereka untuk mendobrak perfilman Indonesia dan mencari cara baru untuk berkomunikasi dengan masyarakat. “Kita buat film untuk masyarakat, makanya harus betul-betul dari masyarakat. Semoga makin banyak lagi film maker yang mau ngangkat isu-isu pedesaan dan bangga menjadi orang desa,” tutup Mas Bacep. [Aswar]