Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Kritisi Sikap Indonesia di COP-29

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Kritisi Sikap Indonesia di COP-29



Berita Baru, Jakarta – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menggelar aksi di depan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Peringatan Global Day of Action for Climate Justice. Aksi ini ditujukan untuk menyampaikan tuntutan terkait keadilan iklim, terutama di tengah berlangsungnya perundingan COP-29 di Baku, Azerbaijan.

ARUKI menyoroti sikap Delegasi Republik Indonesia (Delri) di COP-29 yang dinilai belum menunjukkan komitmen nyata dalam mengatasi krisis iklim. Menurut ARUKI, pidato Hashim Djojohadikusumo, yang mewakili Delri, terkesan lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi daripada solusi berbasis keadilan dan keberlanjutan.

“Pidato Hashim Djojohadikusumo sarat dengan solusi sesat, seperti Proyek Strategis Nasional, Perdagangan Karbon, dan teknologi penyimpanan karbon (CSS/CCUS), yang tidak sejalan dengan prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR),” ujar Risma Umar dari Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice. Ia menambahkan bahwa COP-29 telah berubah menjadi ajang bisnis proyek-proyek iklim yang tidak menguntungkan masyarakat dan hanya memperparah utang negara.

Selain itu, ARUKI juga menyoroti berbagai proyek iklim seperti Food Estate, Geothermal, dan Pertambangan Nikel yang disebut lebih mengutamakan keuntungan ekonomi bagi elit politik dan pebisnis, tanpa memperhatikan dampak sosial-ekologis yang dirasakan masyarakat miskin.

“Pemerintah Indonesia gagal menjadikan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama dalam perundingan COP-29. Tidak ada agenda perlindungan bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh krisis iklim,” tegas Fanny Trijambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI Nasional. Ia menambahkan bahwa tidak ada penghormatan terhadap aksi-aksi rakyat dalam mitigasi dan adaptasi iklim, yang justru seharusnya menjadi bagian penting dari solusi iklim.

Senada dengan Fanny, Torry Kuswardono dari PIKUL juga menyampaikan kritik tajam kepada pemerintah Indonesia yang dinilai belum menagih tanggung jawab negara-negara maju atas krisis iklim. “Pemerintah seharusnya menuntut tanggung jawab Global Utara untuk mengganti kerugian yang dialami masyarakat akibat krisis iklim melalui mekanisme pendanaan seperti loss and damage,” ujarnya.

Sementara itu, Moko dari 350 Indonesia mengkritik target energi terbarukan yang disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo dalam pidatonya di COP-29. “Pengembangan energi geothermal, PLTA skala besar, dan nuklir, yang disebutkan dalam pidato, terbukti merusak lahan dan ekosistem lokal serta menyebabkan deforestasi,” ungkap Suriadi Darmoko dari 350 Indonesia. Menurutnya, transisi energi seharusnya berbasis komunitas dengan mempertimbangkan potensi lokal, sehingga tidak menciptakan masalah baru.

Selain persoalan lingkungan, ARUKI juga menyoroti minimnya perhatian Delri terhadap kelompok rentan seperti nelayan, perempuan, dan penyandang disabilitas. “Krisis iklim mempengaruhi kehidupan nelayan tradisional. Survei tahun 2023 menunjukkan 72% nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, dan 83% mengalami penurunan keuntungan,” jelas Hendra Wiguna dari KPPMPI. Ia juga mengungkapkan bahwa kelompok nelayan dan masyarakat pesisir sangat terdampak oleh perubahan iklim, namun hal ini tidak menjadi fokus dalam pembahasan COP-29.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan, yang menyebut perempuan sebagai kelompok paling rentan dalam menghadapi krisis iklim. “Pengetahuan perempuan dalam aksi adaptasi dan mitigasi iklim tidak pernah diakui dan diperhitungkan,” tuturnya.

Tuntutan ARUKI juga menyentuh aspek industrialisasi yang memicu migrasi paksa dari masyarakat terdampak. Yunita Rohani dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyoroti bagaimana proyek-proyek besar dalam respons iklim justru menyebabkan hilangnya lahan dan mata pencaharian masyarakat, yang memaksa mereka menjadi pekerja migran dengan risiko terjebak dalam situasi kerja paksa.

ARUKI mendesak Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo untuk segera menghentikan proyek energi fosil, mempercepat penutupan PLTU batubara, serta mendukung pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, perempuan, dan kelompok rentan lainnya dalam menghadapi krisis iklim.

“Proyek transisi energi tidak boleh merampas hak hidup masyarakat, terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya,” tegas Yunita Rohani.