PBNU Setuju Pasal Penghinaan Presiden dan Wapres dalam KUHP
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) setuju pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sekretaris LPBH NU, Abdul Hakam Aqsho menegaskan pada prinsipnya PBNU setuju apabila delik pada pasal tersebut adalah delik aduan. Dalam artian penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dapat diproses secara jika yang bersangkutan melaporkan.
“Dengan demikian tidak semua orang dapat melapor,” kata Abdul Hakam Aqsho dalam keterangan tertulisnya usai menghadiri Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI), bertajuk ‘Kajian Kritis Atas 14 Isu Krusial RUU KUHP’, dikutip Kamis (13/10).
Selain itu LPBH NU menekankan penerapan delik pasal penghinaan kepala negara dan wakilnya tersebut dikecualikan jika perbuatan dilakukan pelaku atas motif membela diri atau demi kepentingan umum.
Dipantau dalam TVMUI, LPBH NU juga menekankan agar delik ini disosialisasikan dengan baik, terutama kepada aparat penegak hukum agar lebih ditekankan pada aspek pencegahan dan tidak secara menyeleweng dipakai untuk mengkriminalisasi pihak tertentu.
“Penerapan delik ini perlu dipastikan agar tidak justru menyasar tokoh agama dan aliran kepercayaan,” paparnya.
Perihal contempt of court, meski setuju PBNU memberikan usulan delik ini tidak boleh digunakan untuk membatasi kebebasan atau mengkriminalisasi setiap orang yang berupaya memperjuangkan keadilan untuk diri pribadi, orang lain, atau publik melalui cara-cara yang damai dan beradab.
Termasuk tidak boleh pula dengan delik ini untuk membatasi kebebasan atau mengkriminalisasi jurnalis atau media massa yang melakukan peliputan persidangan dengan melakukan tugas dan kode etik profesinya.
Berikut bunyi pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
Pasal 218 ayat 1 berbunyi, Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 218 ayat 2 berbunyi, Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sementara Pasal 220, (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Diketahui, pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Sebab keberadaan pasal ini (baik itu delik aduan ataupun delik biasa) dinilai sedikit banyak akan menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah.