Kemen PPPA Minta RUU TPKS Prioritaskan Korban
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meminta Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) memprioritaskan korban. Hal tersebut berupa perlindungan dan pemenuhan hak korban, maupun rasa keadilan bagi korban.
“Ini adalah kemajuan penting dalam hukum pidana yang memperlihatkan perspektif korban dalam pemidanaan. Kami juga mengapresiasi kecermatan DPR RI yang mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan istilah keadilan restoratif untuk menyatakan larangan melakukan penyelesaian di luar pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati dikutip dari JawaPos, Minggu (3/4/2022).
Menurutnya, pembahasan tentang sita dan perampasan harta pelaku untuk memenuhi restitusi menempati porsi pembahasan cukup mendalam. Khususnya mengenai kedudukan harta, baik pelaku individu maupun pelaku korporasi.
“Di satu sisi, sangat penting untuk memastikan tidak ada korban baru sebagai dampak perampasan tersebut, dalam hal ini keluarga pelaku. Namun pengaturan tentang perampasan harta tersebut juga harus memenuhi hak korban serta memberikan efek jera. Sehingga dapat menjadi sebuah langkah pencegahan tindak kekerasan seksual di masyarakat,” katanya.
Pemerintah dan DPR RI juga menyepakati bahwa keterangan saksi dan/atau korban merupakan alat bukti yang sah bila disertai dengan satu alat bukti sah lainnya. Ditambah hakim memiliki keyakinan bahwa tindak pidana itu benar terjadi.
Kemudian dalam pembahasan tentang pendampingan korban dan saksi, pemerintah telah menambahkan rumusan dengan memasukkan Pekerja Sosial sebagai pihak yang bisa melakukan pendampingan dengan mengacu pada UU 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial dan UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Kehati-hatian yang ditunjukkan dalam proses pembahasan sidang ketiga ini memperlihatkan bahwa DPR RI dan pemerintah sudah satu pemahaman bahwa apa yang kita susun ini harus benar-benar berperspektif korban. Artinya, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan korban baik kebutuhan akan rasa keadilan maupun kebutuhan akan suatu proses peradilan yang fair,” jelas Ratna.
Ratna menambahkan, kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang memiliki dimensi fisik dan psikis sekaligus, maka perumusan tentang pendampingan dan alat bukti yang tersedia maupun yang merupakan hasil dari pendampingan merupakan hal yang krusia. Termasuk pentingnya merumuskan kebutuhan korban penyandang disabilitas.
“Untuk itu perumusan tentang pendamping menjadi penting, baik itu individu dengan profesi khusus, lembaga pelayanan, peran LPSK untuk memastikan korban didampingi oleh pihak yang berkompeten serta memenuhi kebutuhan korban. Kami juga menyambut baik semua masukan yang diberikan dan akan segera menindaklanjuti serta menyempurnakan beberapa isu atau permasalahan yang masih belum terakomodasi dalam perumusan RUU TPKS ini melalui pembahasan yang lebih lanjut,” pungkas Ratna.