Anjing Yang Malang
Anjing Yang Malang
Oleh: Aljas Sahni H
Cerpen, Seekor anjing melolong pilu. Bila para manusia mengerti bahasa anjing, barangkali mereka akan ikut berkabung atas kesedihan si anjing. Namun, seperti manusia-manusia pada umumnya, mereka tak menggubris perihal remeh-temeh tersebut. Jangankan mempelajari bahasa anjing, atau mendengar lolongan menyedihkan itu, melihat anjing itu pun mereka tak sudi, atau bahkan ingin segera membunuh anjing malang itu.
Sungguh memprihatinkan nasib si anjing. Selain kudisan, satu mata luka hingga buta sebelah, si anjing juga berjalan pincang sebab tembakan dari pistol seseorang bernama manusia. Si anjing tak mengerti, mengapa manusia begitu jahat? mengapa manusia setega itu? dan mengapa tiada murah hati sama sekali untuk si anjing yang telah hina ini?
Si anjing hanya seekor anjing. Si anjing hanya dapat melolong panjang dan pilu, tanpa dimengerti para manusia, dan hanya dimengerti oleh para anjing yang juga tak mengindahkan nasib malang si anjing. Si anjing bisa apa, selain melolong mendongak menatap awan. Seolah Tuhan berada di atas sana, dan sudi kiranya mendengarkan keluh kesahnya.
“Mengapa aku begitu hina dina, Tuhan?” begitulah kira-kira bunyi lolongan si anjing. Namun, Tuhan tak menjawab sepatah kata pun. Tuhan malah mengutus hujan turun. Awalnya hanya gerimis, namun gerimis kian cepat dan menjadi hujan deras yang mengguyur tubuh berbulu si anjing. Maka, lengkap sudah penderitaan si anjing: hina, kudisan, buta sebelah, pincang, dan Tuhan pun tak menjawab pertanyaanya, malah mengirim hujan yang membuat si anjing gemetaran karena dingin.
Si anjing pun tak tahu-menahu, mengapa anjing adalah makhluk paling hina. Entah sebab kesalahan nenek moyang anjing, atau memang takdir itu harus diemban oleh para anjing. Entahlah, para anjing tak pernah membaca dan memang tak tahu membaca. Sehingga, kehinaan pada diri si anjing, seperti sebuah kutukan dalam keluguan si anjing.
Hujan kian deras, dan si anjing belum jua menemukan tempat berteduh. Si anjing berjalan terpincang-pincang, sementara bulu tubuh si anjing nyaris tak kuat menanggung beban dingin. Andai, gonggong si anjing, ia masih berada di rumah itu, rumah tempat si anjing tumbuh, dirawat, dan diberi makan enak. Barangkali, si anjing takkan kelaparan dan kedinginan seperti ini.
Namun, di satu sisi si anjing takut untuk kembali. Si anjing sudah tahu akal bulus manusia. Habis manis sepah dibuang, itulah sifat yang dimiliki manusia dalam kepala si anjing. Si anjing diambil dari sang ibu sejak kecil, dijual, dan dipelihara oleh seorang laki-laki yang tampak baik. Ya, tampak baik seperti malaikat, namun hati busuk seperti iblis.
Si anjing menganggap, lelaki itu sebagai pengganti sang ibu. Si anjing telah lama kesepian di dalam kandang toko yang kecil dan pengap. Sehingga, tatkala lelaki itu datang menjemput, dan membawa si anjing ke rumah yang besar, si anjing seperti diselamatkan oleh seorang malaikat. Si anjing berjikrak-jingkrak dan menggonggong kecil, senang bukan main. Apalagi, tatkala lelaki itu memberi nama si anjing. Maka nyatalah, si anjing menganggap lelaki itu seperti ibu, malaikat dari segala malaikat.
Lelaki itu merawat si anjing dengan kasih sayang. Si anjing suka bermanja-manja pada lelaki itu. Kadang, si anjing menghampiri tempat tidur lelaki itu dan menjilati mukanya. Sehingga, lelaki itu terbangun, cekikikan, dan mata sipit merem melek. Dan saat itu, lelaki itu akan mengusap-usap kepala si anjing, persis seperti seorang ayah pada anaknya. Lelaki itu berjalan, mengambil susu dan makanan khusus untuk si anjing.
Sungguh romantis kehidupan si anjing dengan lelaki itu. Namun, segala yang indah takkan bertahan lama. Semua bermula, tatkala si anjing telah dewasa, tak kecil lagi dan tak imut lagi. Namun, bukan sebab tak imut lagi yang memicu renggangnya kehidupan si anjing dan lelaki itu, melainkan sebuah kudis.
Entah bagaimana, si anjing tetiba kudisan. Si anjing menjilati dan menggaruk-garuk tubuhnya, merasa tak nyaman dan gatal. Dan keresahan mulai menyelimuti si anjing. Keresahan itu muncul tatkala lelaki itu mulai mengetahui penyakit kudis si anjing. Tentu, lelaki itu tak mau tertular penyakit kudis si anjing. Seperti manusia pada umumnya, lelaki itu juga tak mau ambil repot.
Mulailah ketakutan menyelimuti si anjing, tatkala lelaki yang ia anggap malaikat, meringkusnya dengan karung. Si anjing meronta-ronta hendak keluar dari karung itu. Namun, karung itu diikat erat, dilempar begitu saja ke dalam bagasi mobil, dan lantas mobil itu melaju entah ke mana. Si anjing nyaris mati karena kehabisan oksigen. Namun, sebelum perihal itu terjadi, si anjing dilepaskan di tempat gelap dan terlihat mengerikan. Si anjing menyalak, dan kedua bola matanya mencoba mencari sosok lelaki yang ia anggap malaikat.
Si anjing menemukan lelaki itu masuk mobil. Si anjing menyalak mencoba memanggil. Dan ya, si anjing hanya dapat menatap mobil lelaki itu melaju pergi. Si anjing telah dibuang. Untuk bertahan hidup, si anjing mengorek-ngorek tempat sampah, mencari tulang-tulang yang dapat ia makan.
Di luar sana, si anjing makin tak terawat. Kudis si anjing makin menjadi, tubuhnya sangat bau dan kumal. Si anjing menjalani hari-hari sepi di jalanan, tak ada manusia yang memungut, dan tak ada anjing-anjing yang menemani. Si anjing bisa apa, selain melolong panjang dan pilu.
Suatu hari, si anjing melewati sebuah rumah. Langkah si anjing terhenti, ia melihat anjing betina. Anjing betina itu sungguh jelita, dengan bulu putih dan memiliki mata kecil yang elok. Berahi si anjing perjaka itu terangsang. Si anjing memasuki pagar rumah, mengejar si betina, dan memperkosa si anjing betina.
Namun nahas, percintaan pertama si anjing tak seindah yang diharapkan. Sang pemilik anjing betina memergoki perilaku sembrono si anjing. Sang pemilik merah padam, ia mengambil sebuah pisau dapur, hendak membunuh si anjing yang telah menodai anjing betinanya.
Untung si anjing dapat mencium kedatangan bahaya itu, sekonyong-konyong ia berlari menghindar. Namun sial, Sang pemilik melempar pisau itu hingga mengenai dan menyabet mata kanan si anjing. Si anjing menyalak kesakitan. Kini butalah sebelah matanya.
Si anjing tak dapat menyalahkan siapa pun, ia hanya seekor anjing, dan seekor anjing hanya dapat melolong. Si anjing bahkan merasa bersalah, sebab ia telah memperkosa seekor anjing betina tanpa izin sang pemilik. Si anjing merasa berdosa. Kini ia merasa matanya tak lagi berlumur darah, melainkan berlumur dosa.
Si anjing ingin bertobat. Ia melihat sebuah tempat peribadatan, dan si anjing ingin memasuki tempat peribadatan itu. Maka masuklah si anjing kudisan dan buta sebelah ke tempat peribadatan itu dengan baik-baik, namun tak disambut baik oleh penghuni tempat peribadatan itu.
Suasana riuh rendah tercipta di tempat itu. Sesuatu yang langkah, dan bahkan membuat semua orang histeris, melihat seekor anjing memasuki tempat peribadatan. Mereka mengusir si anjing dengan berbagai cara, seolah si anjing tak boleh bertobat, dan pantang memasuki tempat beribadatan.
Si anjing dipukul dengan sapu, dihardik, bahkan dibacai doa-doa. Si anjing pun ketakutan, ia meringkuk, dan menyalak kecil, hingga pada akhirnya terpaksa ia harus pergi. Seorang pemabuk, jarang beribadah dan jarang memasuki tempat peribadatan mengetahui perihal itu. Kebetulan ia memegang sebuah pistol—sebenarnya untuk jaga-jaga takut ada geng musuh—dan kebetulan pula berisi peluru. Ia mengejar si anjing yang berlari cukup gesit. Ia menarik pelatuk dan dor, sebuah peluru mengenai kaki si anjing. Ia tertawa puas dan memuji kebolehannya, saat melihat si anjing pincang.
Ya, manusia memang terlalu jahat, si anjing kudisan, buta sebelah, pincang, dan basah kuyub itu melolong panjang. Tengah malam itu, para manusia terlelap hangat di dalam selimut, tanpa memedulikan lolongan pilu si anjing kedinginan. Ya, seperti manusia pada umumnya.
Anjing Yang Malang ditulis oleh: Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura.Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta salah satu pendiri Sanggar Becak.