5 Poin “The Devil Judge” Gambarkan Kotornya Praktik Politik dan Hukum
Berita Baru, Entertainment – Serial “The Devil Judge” yang diperankan oleh Ji Sung, Park Jin-young, Kim Min-jung, dan Park Gyu-young mengangkat masalah-masalah yang berkelindan dalam lingkup dunia politik dan penerapan hukum dengan latar Korea Selatan.
Jauh dari bumbu romansa, “The Devil Judge” menyuguhkan cerita emosional dibalik kerja pengadilan. Tokoh utamanya, Kang Yo-han (Ji Sung) dikenal sebagai pemberi hukuman yang sadis di tengah kondisi masyarakat yang timpang. Ia ditokohkan sebagai pahlawan yang menyeret dan menghukum siapapun yang menciderai kemanusiaan dan melanggar aturan.
Dari 16 episode itu, setidaknya kita dapat mencatat 5 poin besar dari drama ini yang terasa relevan dengan praktik politik dan hukum sehari-hari.
Persekongkolan elit
Sejak awal drama, kita disuguhi relasi para elit yang menjadi tokoh sentral dan memegang pengaruh pada masyarakat. Diantara mereka adalah Jung Sun-ah (Kim Min-jung), asisten Seo Jeong-hak di sebuah yayasan bernama Social Responsibility Foundation (SRF).
Kemudian Menteri Kehakiman Cha Kyung-hee (Jang Young-nam) yang ambisius menjadi Presiden Korea Selatan, Ketua Grup Minbo Min Yong-sik (Hong Seo-joon), Ketua Saram Media dan pemilik saluran televisi Park Du-man (Lee Seo-hwan), serta Presiden Korea Selatan Heo Joong-se (Baek Hyun-jin).
Mereka memiliki pengaruh penting di negaranya, namun memilih menutup mata dari kekacauan yang ada dan malah bekerja sama demi memperkaya dan memperkuat diri sendiri.
Media feat. politisi
Apa jadinya jika ditengah kekacauan masyarakat, politisinya berkomplot dengan pemilik media demi melancarkan kepentingan politisnya? Jika politik pemilik media tidak berjalan searah dengan kepentingan publik, tentunya ini akan melanggengkan ketidakadilan di masyarakat.
Dalam drama tersebut, Park Du-man dan Min Yong-sik selaku konglomerat media bersekongkol dengan politisi yang menguntungkan mereka. Akhirnya, fungsi media massa sebagai pengawas jalannya sistem politik pemerintahan tidak berjalan optimal. Pada titik tertentu, mereka juga berpengaruh terhadap jalannya penegakan hukum yang adil.
Pemanfaatan preman
Dengan kuasa yang ia miliki, Presiden Korea Selatan bahkan mempekerjakan sekelompok preman yang dikepalai JukChang. Memanfaatkan pengikutnya di Youtube, JukChang menggiring opini masyarakat terhadap isu tertentu. Golnya satu: menyerang siapa saja yang berseberangan dengan Presiden.
Tak hanya melalui media Youtube, ia dan gerombolannya juga secara brutal menyiksa orang-orang yang secara sosial tergolong kurang mampu, seperti pekerja imigran. Dia secara kurang ajar menyebut drinya pemuda patriotik dan revolusioner.
Apakah kamu pernah menaksir adanya pemanfaatan preman dalam sistem pemerintahan di negara tertentu? Sekelompok orang yang digunakan pejabat untuk beraksi di jalanan, ‘menumpas’ langsung orang-orang yang mengkritik elit?
Berkelit dari konsekuensi penegakan hukum
“The Devil Judge” mengusung latar belakang pengadilan. Dalam tiap persidangannya, drama ini mengangkat kasus-kasus berbeda meski semuanya berhubungan, antara lain pencemaran lingkungan, pemukulan, hingga kejahatan serius dan menjijikkan yang dilakukan oleh Presiden Korea Selatan.
Di semua persidangan, kita bisa melihat bagaimana semua pihak yang notabene adalah sosok-sosok mampu dan dekat dengan pejabat, berusaha sebisa mungkin menjauhi konsekuensi hukum atas perbuatan mereka, sekalipun harus membayar mahal untuk itu.
Pemandangan ini rasanya umum kita lihat di kehidupan nyata, ketika pejabat berupaya sekuatnya agar tidak diadili atas kejahatan yang mereka lakukan. Kalaupun akhirnya dibui, mereka menggunakan akses dan kuasanya agar tetap bisa happy di penjara. Familiar kah kamu dengan kondisi itu?
Tawaran ‘progresif’ “The Devil Judge”
Menembus metode konvensional, “The Devil Judge” menampilkan satu aspek yang menarik. Dalam potongannya, drama ini menampilkan penggunaan internet secara masif, salah satunya ada adegan Presiden menayangkan vlog siaran langsung untuk menunjukkan tur di Blue House.
Lebih dari itu, “The Devil Judge” juga punya potongan premis yang unik: masyarakat dapat menonton persidangan secara langsung bahkan mengekspresikan pendapatnya melalui voting yang ada di sebuah aplikasi bernama DIKE.
Pemanfaatan teknologi online dalam drama ini menarik buat ditilik. Jelas itu langkah yang baik, guna mendukung transparansi persidangan. Rakyat dapat mengungkapkan pendapatnya atas kasus-kasus tertentu dan memilih apakah terdakwa benar-benar bersalah?
Di sisi lain, penggunaan teknologi macam DIKE juga perlu terus dievaluasi. Apakah ini dapat berjalan dengan objektif dan bebas dari manipulasi suara masyarakat? Bagaimana menurutmu?