Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bupati Jember, Hendy Siswanto dan Wakil Bupati Jember, MB Firjaun Barlaman. (Foto: Istimewa)
Bupati Jember, Hendy Siswanto dan Wakil Bupati Jember, MB Firjaun Barlaman. (Foto: Istimewa)

Walhi Jatim Beri Kartu Merah Pemkab Jember



Berita Baru, Jawa Timur – Walhi Jatim memberikan kartu merah terhadap kinerja kepada Pemerintah Kabupaten Jember karena dinilai tidak memiliki komitmen dalam menjalankan aspirasi masyarakat dan melanjutkan warisan dari pemerintah sebelumnya terkait penolakan tambang.

Walhi melihat sikap Pemkab Jember cukup dingin dalam menyelesaikan persoalan pencabutan Izin Usaha pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT Agtika Dwi Sejahtera (PT ADS). Padahal status izinnya sudah masuk daftar tambang yang direview oleh Kementerian ESDM.

“Apabila Pemerintah Kabupaten Jember memang benar-benar komitmen menolak rencana pertambangan pasir besi seperti yang selama ini disampaikan oleh Bupati dan Wakil Bupati, seharusnya berani mengambil sikap untuk mendorong dan mengawal pencabutan IUP Operasi Produksi PT ADS,” kata Manajer Advokasi Masyarakat WALHI Jawa Timur, Usman dalam keteranganya, Minggu (13/3).

“Sampai hari ini IUP Operasi Produksi PT ADS yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM Kabupaten Jember belum dicabut. Padahal mandat masyarakat tidak pernah hilang meski berganti pemimpin. Belum ada komunikasi atau usaha Pemkab atau DPRD Jember untuk menekan pemerintah pusat mencabut konsesi di Silo dan Paseban,” sambungnya.

Menurut Usman, selain tambang pasir besi di pesisir selatan, Pemkab Jember juga tak terlihat merespons hadirnya pemberian izin usaha pertambangan eksplorasi emas melalui Keputusan Menteri ESDM. Padahal penetapan WIUP memicu demonstrasi besar oleh warga yang menolak keberadaan tambang.

“Pemkab Jember tidak berkomitmen mengawal serius pencabutan izin tambang di Silo yang meskipun WIUP Blok Silo sudah dicabut namun sampai hari ini petanya masih tercantum dalam Minerba One Map Indonesia,” terangnya.

Catatan lain yang diberikan Walhi Jatim, Pemkab Jember juga tidak memiliki visi penertiban dan mereview tambang galian C baik legal maupun ilegal, malahan pernyataan dari bupati mau melegalkan yang ilegal.

“Padahal galian C ini meski kecil tapi masif dan destruktif. Sehingga perlu dilihat dan ditindak, selain itu juga perlu mitigasi dengan mengarahkan masyarakat di pertambangan ke ekonomi non tambang yang lebih hijau,” kata Usman.

Selain itu, Walhi juga mendapati manuver Pemkab dan DPRD dalam pembahasan RPJMD 2021-2026 serta wacana revisi RTRW Kab Jember, yang belum berkomitmen secara penuh menjalankan aspirasi masyarakat terkait penolakan tambang. 

“Mengenai penyusunan RPJMD 2021-2026 dan rencana penyusunan RTRW Kabupaten Jember yang tidak sensitif ruang dan ekologis. Selain itu aneka penyusunan tersebut tidak partisipatif dan sangat teknokratis, karena tidak berangkat dari masyarakat serta situasi kenyataan lapangan,” ujarnya.

Sekalipun ingin bicara ekonomi, kata Usman, seharusnya Pemkab Jember merujuk pada data Pemkab Jember di dalam nilai PDRB 2016-2020 sektor pertanian, kehutanan dan perikanan masih menjadi yang teratas daripada pertambangan. Dimana penghasilannya 30 miliar rupiah per tahun dibandingkan perambangan yang hanya 3 miliar per tahun.

Data ini seharusnya menjadi peta jalan potensi phase out atau keluar dari pertambangan sangat besar melihat potensi ekonomi hijau “green economic” seperti pertanian, pengelolaan hutan berkelanjutan dalam agroforestry, perikanan hingga perkebunan masyarakat.

“Sehingga berbicara Jember menjadi inovator dalam green economic dan green job yang konsekuen dengan rencana perlawanan terhadap perubahan iklim sangat besar,” ujarnya.

“Bahkan dalam pembuatan RPJMD ataupun rencana RTRW belum ada KLHS dan kajian akademis yang komprehensif, partisipatif dan akuntabel (pelibatan, terbuka dan mengedepankan dialog, membangun kritik dan pengakomodasian saran),” tambah Usman.

Pemkab Jember dalam pandangan Usman, cenderung menutup ruang demokrasi. Bahkan kritik dan saran tidak dijalankan dengan sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari setiap proses penyusunan regulasi dan pembuatan kebijakan yang tertutup.

“Akses informasi pun tidak luwes dan cenderung tidak terbuka. Hal ini terlihat dari aneka protes yang dijalankan oleh masyarakat terkait RPJMD dan RTRW, khususnya ancaman aksi besar oleh masyarakat Silo,” urainya.

Ia berharap catatan tersebut  menjadi pelajaran bersama demi mendorong perubahan di Jember yang lebih hijau dan berkelanjutan. Karena persoalan ekologi dan masyarakat adalah yang paling utama daripada sekedar ekonomi elite yang menguntungkan segelintir orang.

“Kami juga mengharapkan Pemerintah Jember lebih terbuka, partisipatif dan berpijak pada realitas, ilmu pengetahuan dan tentu suara masyarakat,” tukas Usman