UU KIA Dinilai Belum Lindungi Perempuan Adat dan Pekerja Informal
Berita Baru, Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil dan Gender, mengkritisi Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang dinilai belum melindungi perempuan adat dan pekerja perempuan di sektor informal, termasuk pekerja rumah tangga (PRT). Jumlah pekerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang atau 55,9 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.
Jumisih dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Federasi Serikat Buruh (FSB) menyatakan bahwa meskipun UU KIA memberikan terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu pekerja hingga enam bulan, implementasinya tidak mudah.
“Hubungan kerja yang tidak pasti itu membuat buruh perempuan selama ini sulit mengakses hak cuti melahirkan. Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan besar bagi kami pada saat UU KIA ini diketok palu, bagaimana impelementasinya,” ujar Jumisih di Jakarta, Sabtu (29/6/2024) lalu.
Ia menekankan bahwa buruh perempuan dengan status kontrak, alih daya (outsourcing), borongan, atau harian lepas saat ini sulit mendapatkan hak cuti melahirkan tiga bulan, apalagi enam bulan. Penerapan cuti melahirkan enam bulan berpotensi mendorong perusahaan untuk tidak mempekerjakan atau memberhentikan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil.
Yeryana dari PEREMPUAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Barito Timur menilai UU KIA tidak mengatur soal kesejahteraan ibu-ibu yang tidak bekerja di sektor formal. “Apakah kesejahteraan itu hanya untuk ibu-ibu yang bekerja formal? Ibu-ibu yang bekerja di sektor swasta? Apakah kami perempuan (yang) ada di kampung bukan ibu yang layak disejahterakan begitu?” tanya Yeryana.
Ia menambahkan bahwa meskipun perempuan adat mungkin tidak meminta hak cuti melahirkan, kebijakan negara harus bisa menjamin mereka bisa hidup sehat sesuai dengan pengetahuan tradisional mereka sebagai perempuan adat.
Nanda dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengungkapkan bahwa pemerintah harus segera mengharmonisasi UU KIA dengan peraturan terkait lainnya, seperti UU Kesehatan, UU Perkawinan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar tidak tumpang tindih. “Undang-undang (Kesejahteraan Ibu dan Anak) ini juga tidak memperhitungkan bagaimana perempuan bisa membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sesuai dengan kebutuhan. Maka kami menyoroti karena ini sudah disahkan, harus segera dicari dalam (aturan) turunannya kondisi-kondisi rentan di mana pemerintah atau negara bisa hadir melindungi perempuan,” tuturnya.
Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga harus mengawasi perusahaan-perusahaan agar mematuhi kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan memastikan tersedianya layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik.