Surat Terbuka Kiai NU Sumenep untuk Presiden Jokowi
Berita Baru, Sumenep – Wakil Ketua PCNU Sumenep, K Dardiri Zubairi merespon kedatangan Presiden Jokowi ke Kabupaten Sumenep, Madura, pada Rabu 20 April 2022 kemarin, berupa surat terbuka yang ditulis dalam postingan beranda Facebook pribadinya.
Pengasuh Pondok Pesantren Ponpes Nasy’atul Muta’allimin, Gapura, Gapura Timur Sumenep ini menyampaikan terima kasih kepada Presiden Jokowi karena telah berkunjung ke Sumenep, dan meresmikan Bandara Trunojoyo serta meninjau pasar tradisional di Sumenep.
Namun demikian, menurut Kiai Dardiri, seandainya Presiden jalan-jalan ke pesisir berdialog dengan buruh garam, nelayan kecil, pasti akan tahu bahwa pembangunan di kabupaten ini tidak sedang baik-baik saja.
Berikut kami kutip secara utuh surat terbuka Kiai Dardiri kepada Presiden Jokowi;
Sekapur Sirih Untuk Presiden
Assalamualaikum
Yang Terhormat Pak Presiden
Selamat datang di Sumenep, kabupaten ujung timur Madura.
Sebagai warga negara izinkan saya melapor pak presiden, meski melalui laman FB yang mungkin pak presiden tak membacanya. Tapi bagi kami menulis surat tertuju kepada Pak Presiden, dalam imajinasi kami, seperti berdialog langsung. Bolehlah dibilang, surat terbuka ini cuma mau menenangkan imajinasi kami.
Tapi gak apa apa, hitung-hitung surat ini sebagai pengimbang dari peresmian Bandara Trunojoyo yang akan dilakukan bapak sendiri, yang mungkin oleh petinggi di Kabupaten ini dianggap sebagai penanda majunya peradaban.
Nah, yang ingin kami sampaikan beda pak presiden, soal sisi “kelam” kabupaten ini.
Pak Presiden.
Inilah kabupaten yang nyaris pesisirnya habis selama lebih kurang 6 tahun. Dengan bangga campur ngeri harus saya katakan, bener kabupaten kami memiliki 138 pulau, tapi keluarga nelayan kecil sudah tak leluasa memanfaatkan sumber kehidupan pesisir. Pesisir sudah nyaris sempurna dialihfungsikan.
Pak presiden, di kabupaten kami sudah ada 5 perusahaan migas, 4 Offshore dan 1 Onshore. Yang offshore, karena berada di lepas pantai, pasti memberi dampak bagi ekosistem laut. Inilah yang dikeluhkan anak nelayan, dimana tangkapan ikan makin berkurang.
Yang onshore lokasinya berada di selatan kota. Ini satu-satunya perusahaan migas onshore. Yang ingin saya sampaikan sebenarnya satu, stop industri ekstraktif (industri keruk) di kabupaten kami. Baik yang Onshore maupun Offshore tak perlu ditambah lagi. Cukup sudah. Toh kehadiran perusahaan migas tak ada korelasinya dengan kehidupan riil kami. Kecuali daya rusaknya bagi lingkungan seperti yang dirasakan dan dialami oleh penduduk sekitar perusahaan migas, terutama para nelayan yang tak lagi mudah memperoleh ikan.
Bukankah tak ada guna pembangunan apapun, jika masyarakat kecil tak bisa lagi memanfaatkan sumber-sumber ekonomi pesisir, dan secara bersamaan di laut ekosistemnya rusak akibat industri ekstraktif?
Baik saya perlu menyandingkan data lak presiden. Tahun 2021 ada 25 desa di kabupaten Sumenep yang masuk penanganan prioritas kemiskinan ekstrem yang melibatkan 1929 (KK atau orang?). Itulah mengapa saya mengatakan, pembangunan yang sudah dan sedang berlangsung di kabupaten ini tidak nyambung dengan kondisi riil masyarakatnya.
Pak presiden, saat ini kabupaten kami ramai dengan isu bakal masuknya industri ekstraktif lagi, yaitu penambangan fosfat. Sebenarnya bukan isu, tapi nyata. Saat ini bahkan segenap kebijakan sedang dirancang (termasuk revisi perda RTRW) untuk menyambut investasi di industri ekstraktif ini.
Kami harus menceritakan bahwa posisi para pemangku pesantren sudah tegas soal industri ekstraktif ini, MENOLAK. Fosfat berada di kawasan batu karst. Penambangan batu karst sebagai tandon air akan mengakibatkan ancaman krisis air. Pada hal, saat ini saja sudah ada 28 Desa setiap tahunnya yang mengalami krisis air. Pada hal industri ekstraktif belum dilakukan.
Alasan lain, di kawasan batu karst banyak terdapat situs penting, di samping sumber-sumber Air juga terdapat maqbarah para wali (buju’ dalam bahasa Madura). Bahkan di setiap desa ada buju’. Jika konsesi penambangan fosfat di 18 kecamatan disahkan, berapa ratus atau bahkan ribu sumber air dan buju’ yang akan habis?
Sebenarnya banyak yang ingin kami sampaikan. Tapi sudahlah, cukup ini saja Pak Presiden, kami ingin hidup nyaman di pulau kami meski mungkin dari sisi fasilitas infrastruktur fisik tak mentereng kayak kabupaten lain. Soal cari duit banyak itu urusan kami, karena kami bisa berangkat ke Jakarta meski bekerja di sektor informal tapi kami mandiri.
Jadi jika ada pejabat bilang bahwa industri yang akan dibangun di kabupaten kami untuk membuka lapangan kerja itu tak seluruhnya benar. Lapangan kerja buat siapa? Toh tanpa disediakan lapangan kerja kami bisa mencipta sendiri, meski kami harus merantau tapi kami mandiri.
Apalagi industri itu akan merusak lingkungan, wah mending jangan deh pak. Buat apa ada lapangan pekerjaan, duit banyak, tapi kualitas lingkungan yang kita diami buruk misalnya rawan banjir, rawan rob, panas, bau, krisis air, gak bahagia juga bukan?
Pak presiden, terimakasih kunjungannya. Di rundown acara yang tersebar di banyak WAG Pak Presiden akan meresmikan bandara dan bagi-bagi minyak goreng di dua pasar tradisional. Seandainya pak presiden jalan-jalan ke pesisir berdialog dengan buruh garam, nelayan kecil, pasti akan tahu bahwa pembangunan di kabupaten ini tidak sedang baik-baik saja.
Tapi saya tahu Pak Presiden sibuk. Di tengah kesibukan yang super padat, berkunjung ke Sumenep saja kami sudah menyampaikan terimakasih. Apalagi Pak Presiden juga disibukkan oleh wacana 3 periode, sesuatu yang bapak “tidak sukai”, tapi justru diwacanakan oleh orang-orang kesayangan pak Presiden.
Terimakasih
Wassalamu’alaikum
Adz